NovelToon NovelToon
Jodoh Pilihan Ibu.

Jodoh Pilihan Ibu.

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama / Tukar Pasangan
Popularitas:1.7k
Nilai: 5
Nama Author: Rinnaya

Dijodohkan dengan pria kaya raya? Kedengarannya seperti mimpi semua perempuan. Tapi tidak bagi Cloe.

Pria itu—Elad Gahanim—tampan, sombong, kekanak-kanakan, dan memperlakukannya seperti mainan mahal.

“Terima kasih, Ibu. Pilihanmu sungguh sempurna.”

Cloe tak pernah menginginkan pernikahan ini. Tapi siapa peduli? Dia hanya anak yang disuruh menikah, bukan diminta pendapat. Dan sekarang, hidupnya bukan cuma jadi istri orang asing, tapi tahanan dalam rumah mewah.

Namun yang tak Cloe duga, di balik perjodohan ini ada permainan yang jauh lebih gelap: pengkhianatan, perebutan warisan, bahkan rencana pembunuhan.

Lalu, harus bagaimana?
Membunuh atau dibunuh? Menjadi istri atau ... jadi pion terakhir yang tersisa?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rinnaya, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

12. Air kolam renang.

Air kolam memantulkan bias cahaya senja yang mulai redup, seperti hatinya yang perlahan kehilangan kehangatan. Cloe duduk di tepi, kedua kakinya terendam hingga betis, namun ketenangan air tak sanggup menenangkan pikirannya yang bergejolak.

Ponselnya masih panas di tangan, sisa dari panggilan yang membuat dadanya terasa lebih sesak daripada biasanya.

“Aku tidak suka ini, Bu. Aku bukan pemeran figuran dalam cerita murahan. Mereka saling mencintai, dan aku ... hanya orang ketiga di antara mereka.”

Suara Aida di seberang begitu tenang, nyaris tanpa emosi.

“Berhenti merengek, Cloe. Kamu sudah terlalu banyak mendapatkan kemewahan dari pernikahan ini. Gunakan sedikit akal sehat. Jangan libatkan perasaan untuk hal yang tidak seharusnya.”

Tut.

Panggilan terputus seperti tamparan dingin yang datang tanpa aba-aba. Cloe memejamkan mata, menarik napas tajam lalu membuangnya kasar.

“Wanita sialan,” gumamnya lirih, nyaris seperti ludah yang ingin ia semburkan ke air kolam.

“Aduh, aku tersinggung.”

Suara itu datang tiba-tiba, diiringi tawa rendah yang terlalu menyebalkan untuk diabaikan. Elad berdiri tak jauh di belakangnya, satu tangan masih dalam gendongan perban, tapi mulutnya tetap sehat untuk menyindir.

Cloe menoleh setengah malas. “Kamu selalu muncul di waktu yang salah.”

“Aku justru merasa waktuku selalu tepat. Seperti sekarang, misalnya.” Elad melangkah mendekat dan tanpa izin, duduk di sebelahnya. Kakinya ikut merendam ke dalam kolam, airnya sedikit menyiprat ke arah Cloe.

Ia bersandar santai, pandangannya lurus ke permukaan air.

“Sudah dapat kabar baru dari ibumu, Ratu Drama?”

Cloe melirik tajam, tapi tak menjawab.

Elad tersenyum miring. “Kupikir, kamu bakal lebih bersyukur. Nggak semua orang bisa nikah tanpa kerja dan tetap hidup di rumah sebesar istana, tanpa harus pusing mikirin tagihan.”

Ia menoleh, menatap wajah Cloe yang mulai memerah karena marah.

“Tugasmu cuma satu: jadi istri. Duduk manis, senyum di depan tamu, pakai baju mahal, dan diam.”

Cloe mencibir. “Diam seperti boneka pajangan? Kamu pikir aku lahir buat jadi badut di panggung rumah tanggamu yang palsu?”

Sejenak hening. Hanya suara gemericik air dan desir angin yang melintas pelan di antara mereka. Lalu Elad bergerak sedikit, kakinya tanpa sengaja membuat cipratan yang cukup keras. Air itu mengenai lengan dan bagian bawah dress tipis Cloe, membasahi sebagian kainnya.

Cloe mendesah pelan, menoleh sebal sambil mencoba menepuk-nepuk air yang menempel. Tapi Elad tak lagi tertawa.

Matanya terpaku. Kain putih yang membalut tubuh Cloe kini menempel, memperlihatkan siluet tubuh yang selama ini hanya ia anggap pajangan belaka. Seketika wajahnya berubah—senyuman itu lenyap, tergantikan oleh ketegangan samar di rahangnya yang mengeras.

“... Maaf,” gumamnya tiba-tiba, serak, matanya buru-buru memaling ke arah lain. Ia mengusap tengkuknya dengan tangan yang bebas, seolah butuh alasan untuk tidak menatap lagi.

Cloe mengangkat alis. “Kenapa? Baru sadar kalau istrimu bukan sekadar hiasan?”

Elad terkekeh, tapi suaranya berat. “Kamu ... seharusnya ganti baju kalau mau duduk di sini. Kolam itu berbahaya.”

“Berbahaya untuk siapa?” Cloe menyipitkan mata, lalu berdiri pelan. Air menetes dari ujung kain bajunya, menambah efek dramatis tanpa ia sadari.

Elad menelan ludah, masih menolak menatap. “Untuk pria yang sedang menahan diri.”

Cloe menatap Elad yang masih berpura-pura sibuk dengan bayangan air, bibirnya melengkung membentuk senyum kecil—bukan senyum bahagia, melainkan senyum seseorang yang baru menyadari kekuatannya sendiri.

“Lucu,” ujarnya pelan. “Kau bisa dengan bangga bermesraan di depanku, tapi goyah hanya karena cipratan air dan sepotong kain tipis.”

Elad menggeram pelan. “Cloe ... jangan mulai.”

“Apa?” Cloe melangkah lebih dekat, berdiri di depannya, membiarkan bayangannya menutupi sebagian wajah Elad. “Kau tidak tahan, ya? Padahal yang ada di hadapanmu cuma istri tak berguna, yang hanya tahu merengek dan menikmati uangmu.”

Elad mendongak, tatapannya bertemu dengan mata Cloe yang menyala—bukan karena marah, tapi karena kemenangan kecil. Sesuatu dalam dirinya seperti retak.

“Kau bermain terlalu dekat dengan api,” bisiknya, nyaris seperti peringatan. “Dan aku ... bukan pria yang selalu bisa menahan diri.”

Cloe berjongkok pelan di depannya, membiarkan kain basah itu makin menempel, makin memancing. Ia mendekat, jaraknya cukup untuk membuat Elad mencengkeram sisi kolam, seperti bertahan dari arus yang tak terlihat.

“Lalu siapa yang harus menahan diri duluan?” gumamnya, matanya menusuk masuk ke dalam hati Elad. “Aku? Istri yang tak diinginkan? Atau kau—suami pura-pura yang justru tak bisa memalingkan wajah?”

Elad berdiri tiba-tiba, menjauh beberapa langkah. Nafasnya berat, matanya gelap menatap Cloe yang masih tenang duduk di tepian.

“Kau akan membuatku menyesal, Cloe,” ucapnya pelan namun tegas.

Elad berdiri di sana, terdiam, sementara napasnya masih tak beraturan. Tapi sebelum ia bisa mengumpulkan kata—atau keberanian—Cloe sudah berdiri.

Gerakannya tenang, nyaris anggun, meski kain bajunya masih basah dan menempel erat. Ia menyibakkan rambut ke belakang bahunya, lalu menatap Elad dengan dagu sedikit terangkat—sikap yang membuatnya terlihat seperti ratu, bahkan dalam keadaan setelanjang perasaan seperti tadi.

"Tenang saja," katanya, suaranya dingin namun terkontrol. "Aku tahu kapan harus berhenti ... sebelum aku membuat pria sepertimu berpikir aku bisa ditaklukkan."

Elad mengerjap, tapi tak membalas. Entah karena kalimat itu terlalu menusuk, atau karena ia tahu, Cloe bukan sedang menggoda—ia sedang memberi batas.

Cloe berbalik tanpa menunggu respon, langkahnya mantap di jalan setapak menuju villa. Air menetes dari ujung gaunnya, meninggalkan jejak, tapi tidak satu pun dari itu mengurangi martabatnya.

Sebelum menghilang di balik pintu, ia menoleh sekali lagi, sekilas, hanya untuk berkata,

“Jangan terlalu cepat merasa menang, Elad. Aku ada di sini bukan karena cinta ... tapi karena kesepakatan. Dan tidak semua kesempatan berakhir sesuai keinginanmu.”

Pintu tertutup, menyisakan Elad di tepi kolam dengan air yang tak lagi terasa sejuk. Hening menelannya bulat-bulat—dan untuk pertama kalinya, pria itu merasakan perasaan yang selama ini ia remehkan: gentar.

Bibirnya mengejek dirinya sendiri. “Aku nyaris melanggarnya.”

Ia duduk kembali di tepian kolam, tangan kiri menyentuh air yang mulai dingin. Dalam diam, pikirannya kembali pada perjanjian awal—kesepakatan dengan keluarga Cloe, dengan ibunya yang lebih tertarik pada saham perusahaan ketimbang kebahagiaan anaknya.

‘Sebulan.’

Itu waktu yang ia berikan—untuk memberi ruang, menunggu, melihat apakah wanita itu bisa menjadi ibu dari anaknya tanpa paksaan, atau Elad terpaksa memaksanya? Akhir yang telah ditentukan, tugas Cloe yang tidak wanita itu tahu ialah melahirkan anak Elad, bukan sekedar pajangan.

Tapi tadi ... Cloe nyaris merobohkan pertahanannya. Dengan sikap angkuh, kemarahan yang setengahnya manja, dan tubuh yang tanpa sadar menggoda dalam gaun tipis yang basah—Elad bukan dewa, dan ia bukan tanpa hasrat. Mungkin, jika bukan karena cidera bahu, dia akan benar-benar menyerang Cloe.

Ia menghela napas panjang, lalu bergumam,

“Jika kau tau keinginan keluargaku, meski kakimu patah, kau akan menyeretnya untuk melarikan diri lagi.”

Bersambung....

1
Rittu Rollin
yuk up nya dtunggu ya thor
Rittu Rollin
/Smile/
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!