Alisha Alfatunnisa, putri dari pemilik pondok pesantren yang populer di kotanya. Belum menikah meski menginjak umur 29 tahun. Hati yang belum bisa move on karena Azam sang pujaan hati, salah melamar kembaran nya yaitu Aisha.
Peperangan batin dilalui Alisha. Satu tahun dia mengasingkan diri di tempat kakeknya. Satu tahun belum juga bisa menyembuhkan luka hati Alisha. Hingga datang sosok Adam, senior di kampusnya sekaligus menjadi rekan duet dalam menulis.
Apakah kehadiran Adam bisa menyembuhkan luka hati Alisha? Atau masih ada luka yang akan diterima Alisha? Cerita yang menguras air mata untuk kebahagiaan sang kembaran.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Erni Handayani, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 16
Semilir angin malam memainkan rambutku yang entah sejak kapan menipis. Mengalami kerontokan yang luar biasa meski aku telah ganti bermacam shampo.
Aku meraih novel Rembulan Tanpa Malam, yang telah kusut karena aku jadikan bantal. Membuka lembarannya untuk mengeja rasa yang disampaikan lewat aksara.
Pahitnya buah simalakama masih bisa aku tahan, bisa aku tawarkan dengan gula. Awan pekat menutupi cahaya rembulan.
Malam ini kembali aku sampaikan maafku, walau kadang aku tak tahu sampai atau tidak. Berbagi hati ternyata tidak mudah. Pantas saja, jika lelaki belum bisa mengatur dengan baik hati jugai iman akan gagal jika berpoligami.
Aku yang tidak poligami saja tidak bisa mengatur hatiku. Untuk mencintai satu wanita. Rasaku padamu begitu kuat, Mir! Membuat aku merasa bersalah pada Elsa secara tidak langsung aku selingkuhi cintanya.
Nyaris gila aku tiga purnama ini untuk menimbang rasa, juga menerima takdir.
Aku tak bisa berkata apa-apa. Kamu hadir didalam pikiranku, Elsa dia ada di depan mataku.
"Apa kamu benar-benar mencintai aku, Mas?" pertanyaan polos Elsa menampar keras hatiku, Mir! Bagaimana aku mengatakan padanya jika semua ini ada kesalahpahaman. Diammu membuat semua ini terjadi dan menusuk ulu hatimu. Mundurnya kamu menciptakan lorong kesedihan terdalam di hidupku. Meninggalkan kekosongan hidup. Membuatku semakin terjebak dalam sandiwara cinta dan aku-lah pemeran tunggal dalam kisah ini.
Kau tahu, Mir apa yang aku rasa?
Tak sanggupku memikirkannya lagi, separuh hatiku telah pergi. Bayanganmu selalu menghantui, menyesakkan dada. Terbayang saat bersama, menciptakan melodi yang indah dalam irama kebersamaan. Namun, kini tak ada lagi yang tersisa selain rindu yang menggelora. karena aku dan kamu tak bisa bersama bagai syair lagu tak berirama. Selamat tinggal kenangan denganmu.
Menetes air mataku membaca lara-nya Ahkamil. Tersayat sembilu yang berulang kali. Cinta tak mengenal pria atau wanita dia akan membuat sang pujangga lara se-laranya saat benang cinta itu diputus.
Drtt, ponselku bergetar. Aku menutup novel Rembulan Tanpa Malam. Banyak pesan yang masuk. Ternyata ponselku dalam mode getar pantas dari tadi tidak berbunyi deringnya.
[Jika Adam bisa membuatmu bahagia, menikahlah dengannya, Neng! Biar aku tenang.]
Pesan dari Azam sukses membuat aku membulatkan mata. Sudah gilakah dia?menyuruh aku jadi istri kedua?
Aku tidak mengerti, apa yang sebenarnya ada di pikiran Azam. Sepertinya dia merasa lelah dan terganggu denganku yang masih lajang. Bahkan hari ini saja sudah tiga orang yang menanyakan kapan aku menikah, Inayah, Kak Adam terakhir Azam. Apa mereka pikir semudah itu? Terlebih aku yang masih terluka karena cinta.
Diamku semakin merongrong kekebalan tubuhku. Tidak adakah yang paham tentang aku?
Mataku masih menatap lekat layar ponsel yang berisi pesan dari Azam. Apa yang ada di pikirannya? Jelas-jelas dia tahu bahwa Kak Adam memiliki anak dan istri. Ingin aku membalas pesan Azam bertanya apa maksudnya? Namun, urung aku lakukan. Bagaimana jika Aisha yang membaca pesanku? Akan tambah kacau dan rumit semuanya. Bisa jadi akan ada perang dunia ketiga.
Allah lapangkan dadaku, dekatkan jodohku. Aku lelah terombang-ambing di lautan kekecewaan. Aku memang butuh waktu untuk menyembuhkan lukaku. Namun, jika begini hanya satu doaku. Pertemukan aku dengan jodohku atau tutup mata juga telingaku untuk selamanya.
"Kenapa kamu menangis, Alisha? Bukankah itu sudah keputusanmu?"pertanyaan mengintimidasi dilemparkan Kak Adam untukku. Aku tak bisa menjawab pertanyaan yang aku sendiri tak tahu jawabannya apa. Aku memilih mundur tapi nyatanya aku kalah dengan hatiku. Sakit itu yang aku terima.
"Jika cinta kenapa tidak kamu perjuangkan?"kembali Kak Adam menyergapku dengan pertanyaan yang susah. Dadaku sesak udara sukar mendekat padaku. Kak Adam menatap lekat mataku hingga aku tak bisa berkutik.
"Lalu aku harus apa, Kak? Merebut Azam dari Aisha, hah?" jawabku sedikit emosi karena Kak Adam mencercaku dengan pertanyaan yang menguras emosi.
"Telat. Jika kamu benar-benar mencintai Azam tak akan kamu biarkan Azam menikah dengan Aisha. Kamu terlalu takut untuk jujur, Alisha!" kembali Kak Adam memberikan pertanyaan yang membuat aku bungkam.
Aku dan Kak Adam beradu pandang saling mengunci, mata lelaki sipit itu memerah. Napasnya memburu, mengapa dia bisa seemosi itu? Ini masalahku tak ada hubungannya dengaku.
"Kamu terlalu memimirkan hati orang lain, lalu adakah yang memikirkan hatimu?" Kak Adam kembali membuka mulutnya untuk menyudutkan aku. Napasku tersenggal, satu tahun aku menutup semua. Dan aku baik-baik saja, mengapa kini Kak Adam datang setelah lima tahun tak bersua, mempermasalahkan keputusanku untuk mundur dari Azam dan memilih diam tidak meluruskan kesalahpahaman.
"Apa urusannya dengan Kak Adam? Apa aku paling tertindas HAM-nya sehingga perlu dibela?"tanyaku balik pada Kak Adam. Lelaki itu membuang pandangan. Menerawang jauh ke depan.
"Iya ada urusannya, kamu tahu betapa aku kacau mendengar kabar itu?" ucap Kak Adam dengan suara bergetar.
Deg, jantungku berdetak hebat. Darah mengalir begitu cepat. Apa maksud Kak Adam? Kacau kenapa dirinya? Kak Adam kembali menatap lekat aku. Suasana mendadak tegang, semilir angin tak bisa memberi kesejukan hanya memainkan jilbabku. Iya saat ini kami sedang menemani Sila bermain ke wahana anak-anak yang cukup terkenal di Cirebon.
Aku tak tahu jika Kak Adam mengajakku ke balkon bangunan lantai dua ini untuk mengintrogasiku.
"Tak perlu repot-repot ikut campur masalahku, Kak Adam kan sudah ada istri juga anak?" ucapku setelah lama terdiam.
Aku bisa melihat melihat ada sorot kesedihan dimata Kak Adam, rahangnya pun mengeras pertanda ada ada ucapan yang ditahan juga urat leher yang terlihat jelas.
"Iya..aku punya Sila juga Alisha. Hanya itu kan yang kamu tahu? Lalu kamu punya siapa setelah melepas Azam?"tanya Kak Adam lagi.
Sepertinya ucapanku salah, membuat aku semakin terjebak dalam pertanyaan Kak Adam.
"Aku masih punya Allah, aku hanya kehilangan Azam bukan Allah,"ucapku lirih. Jika aku nge-gas Kak Adam akan bertanya yang lebih lagi.
"Kamu tahu apa yang paling membuatku sakit, Alisha?"tanya Kak Adam yang juga melirih suaranya. Tidak keras lagi.
Aku hanya menggeleng, takut jika berucap akan dicecar kembali dengan pertanyaan.
"Yang membuatku paling sakit. Saat aku kehilangan istri dan bersamaan dengan itu, aku mendengar berita jika orang yang aku cinta terpuruk, hatinya terluka!" ucap Kak Adam menatap lekat aku.
Lidahku kelu, kerongkongan pun terasa kering. Dengan susah payah aku menelan saliva.
Otakku lambat mencerna apa yang baru saja aku dengar. Kehilangan istri? Kak Adam kehilangan istrinya? Apa yang membuat aku dia seemosi ini ketika tahu aku tidak memperjuangkan Azam?