"Si4l, apa yang wanita itu rencanakan?
Mengapa setelah surat cerai kutandatangani, dia justru ... berubah?”
...
Lyara Elvera, seorang gadis yang tak merasakan keadilan di keluarganya. Kedua orang tuanya hanya memusatkan kasih sayang pada kakaknya, sementara Lyara tumbuh dengan rasa iri dan keinginan untuk di cintai
Namun, takdir berkata lain. Sebelum kebahagiaan menyentuhnya, Lyara meregang nyawa setelah terjatuh dari lantai tiga sebuah gedung.
Ketika ia membuka mata, sosok misterius menawarkan satu hal mustahil, kesempatan kedua untuk hidup. Tiba-tiba, jiwanya terbangun di tubuh Elvera Lydora, seorang istri dari Theodore Lorenzo, sekaligus ibu dari dua anak.
Namun, hidup sebagai Elvera tak seindah yang terlihat. Lyara harus menghadapi masalah yang ditinggalkan pemilik tubuh aslinya.
“Dia meminjamkan raganya untukku agar aku menyelesaikan masalahnya? Benar-benar jiwa yang licik!”
Kini Lyara terjebak di antara masalah yang bukan miliknya dan kehidupan baru yang menuntut penebusan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon kenz....567, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bibit Perusak
"Kamu masih bertemu dengan wanita itu? Kapan mau berhentinya? Dia sahabatmu, tapi aku capek diduakan. Aku capek, kamu tahu itu, Theo! Kamu gak mau ceraikan aku, tapi kamu juga masih dengan dia. Sampai kapan?! Wanita j4lang itu ...,”
Plak!
Lyara terbangun dengan napas memburu. Ia terduduk sambil memegangi pipinya yang terasa perih. Keringat membasahi keningnya, baru saja ia bermimpi tentang sesuatu yang begitu nyata hingga membuat d4danya sesak.
Wajahnya pun telah basah oleh air mata. Ia menoleh ke arah bantal dan benar saja, lembab. Ia menangis dalam tidurnya.
“Apa-apaan tadi …,” gumam Lyara pelan, menutup mulutnya karena syok. Ia tidak mengerti, mengapa dalam mimpi itu ia berteriak marah pada Theodore.
“Wanita itu … aku sempat menyebut wanita itu?” bisiknya lagi, mencoba mengingat potongan mimpi yang samar.
Cklek!
Lyara menoleh ke arah pintu. Terlihat Eira, putri kecilnya, menampakkan kepala mungil dari balik pintu. Dengan langkah pelan dan ragu, Eira masuk sambil membawa sisir dan sebuah kotak berwarna pink. Rambutnya masih sedikit berantakan, tapi pakaian yang dikenakannya sudah berganti, bukan piyama strawberry seperti semalam.
“Mama lampil,” bisik Eira pelan, seolah takut mendengar suaranya sendiri.
Lyara tersenyum lembut. “Kemari, Sayang. Sekarang jam berapa ini?”
Eira melangkah mendekat, lalu naik ke atas ranjang dan duduk di samping ibunya. Lyara mengambil kotak berwarna pink itu dan membukanya. Di dalamnya penuh dengan jepit rambut dan kunciran berwarna merah muda.
Lyara tersenyum. Eira memang anak yang rapi, bahkan menyimpan aksesorisnya di tempat tersendiri.
“Eira kilaaa Mama lampil jadi monstel lagi,” gumam Eira lirih, membiarkan Lyara mulai menyisir rambutnya.
Tangan Lyara bergerak lembut, sama sekali tidak kasar. “Tentu tidak. Mama akan jadi Mama Eira yang baik. Jadi Eira gak usah takut, oke?” ucap Lyara lembut sambil menguncir rambut sebahu anak itu, membuatnya tampak sangat menggemaskan.
Setelah selesai, Lyara menatap wajah Eira, lalu menangkupnya sedikit dengan kedua telapak tangannya. “Ke mana lemak pipimu, hmm? Harusnya ada lemak di pipi ini, sekarang kurus sekali. Nanti Mama masakin yang banyak, ya,” bisiknya sambil mengadu hidung dengan hidung mungil putrinya.
Namun tanpa keduanya sadari, dari balik pintu, Theodore sedang memperhatikan mereka. Tatapannya tajam namun penuh kebingungan, seolah tak mengenali sikap lembut istrinya. Sebelum Lyara menoleh, Theodore sudah beranjak pergi. Ia kembali ke kamarnya dan menutup pintu dengan perlahan, tenggelam dalam pikirannya sendiri.
Ia menarik napas panjang, lalu meraih ponsel dari atas meja. Dengan wajah tegang, ia menekan sebuah nomor dan menunggu sambungan tersambung.
“Coba kamu cari tahu, apakah ada berkas perceraian antara aku dan istriku di pengadilan,” ucap Theodore dengan nada panik. Setelah menutup telepon, ia menggenggam ponselnya erat-erat.
“Apa yang sedang Elvera rencanakan? Pasti ada sesuatu besar yang ia sembunyikan. Sikapnya berubah drastis … dia bahkan tak lagi membahas soal kedekatanku dengan … Zeya?” gumamnya pelan.
Theodore menggelengkan kepala, mencoba menyingkirkan rasa tidak tenang yang tumbuh di d4danya. Ia pun menuju kamar mandi, bersiap untuk berangkat ke rumah sakit.
Beberapa saat kemudian, ia keluar hanya mengenakan handuk sebatas pinggang. Langkahnya santai menuju lemari, namun tiba-tiba terhenti. Sudut matanya menangkap seseorang yang duduk di tepi ranjang. Ia spontan menoleh dan matanya membulat sempurna saat melihat Lyara.
Wanita itu duduk di sana, tersenyum kepadanya dengan ekspresi yang sulit ditebak. “Kaget banget, Om? Kayak ketemu istri orang aja,” ucap Lyara santai, senyumnya nakal.
“Elvera?! Kenapa kamu di sini, hah?! Kamu sendiri yang usir aku dari kamar, sekarang malah masuk seenaknya?! Sebenarnya apa maumu!” bentak Theodore, wajahnya campuran antara marah dan bingung.
Lyara tersenyum tipis. Ia berdiri, melangkah santai ke arah Theodore yang masih menahan handuknya agar tidak jatuh.
“Menyiapkan pakaian suami, tentunya,” jawabnya tenang, lalu membuka lemari dan mengambil pakaian. Ia meletakkannya di atas ranjang dengan rapi.
Theodore hanya terpaku, matanya tak lepas dari istrinya. Ada sesuatu yang terasa asing, terlalu berbeda.
“Oh iya … kurang kolooor,” ujar Lyara ringan sambil berbalik menuju laci kecil, namun Theodore segera menahannya.
“Sudah! Biar aku saja. Keluar dari kamarku, sekarang juga!” bentaknya lagi.
Lyara tertawa pelan. “Oke, Om. Rawwrr,” katanya sambil mengangkat kedua tangannya seperti cakar kucing, lalu keluar sambil menahan tawa.
Theodore menatap punggung wanita itu dengan wajah lelah dan kesal. “Apa dia sengaja mau bikin aku frustrasi?” gumamnya.
Sementara itu, Lyara melangkah riang menuju dapur. Namun langkahnya terhenti ketika melihat pintu kamar Keisya terbuka. Ia melangkah masuk, melihat gadis kecil itu tengah berusaha mengikat dasinya dengan wajah kesal.
“Ada yang bisa Mama bantu?” tanya Lyara dengan senyum lembut.
Keisya menoleh cepat. Tatapannya membulat, namun bukan karena terkejut, melainkan marah.
“Apa yang kamu lakukan di kamarku?! Pergi! Pergi!” teriaknya penuh amarah.
Rasa sesak tiba-tiba menjalari d4da Lyara. Ia tak tahu apakah rasa itu miliknya sendiri atau milik raga yang kini ia tempati. Air matanya jatuh tanpa ia sadari. Ia cepat-cepat mengusapnya dan memaksa tersenyum.
“Mama gak tahu kenapa kamu membenci Mama. Tapi Mama cuma ingin bantu. Kalau kamu gak mau, cukup bilang baik-baik. Apa Mama pernah menyakitimu sebelumnya?” ucapnya dengan suara pelan namun penuh getaran.
Keisya terdiam. Matanya berkaca-kaca, seolah ada sesuatu yang ingin ia katakan tapi tertahan di tenggorokannya. Ia memalingkan wajah, menolak menatap Lyara. Melihat itu, Lyara hanya menghela napas dan berbalik pergi.
“Mama udah siapkan sarapan, turun dan makan, ya,” ucapnya lembut.
Namun langkah Lyara terhenti ketika mendengar teriakan Keisya dari belakang.
“Aku gak mau sarapan! Tante Zeya bakal bawain sarapan untukku! Pergi sana, sama pria itu!” seru Keisya tajam.
“Pria?” Lyara menoleh, menatap anak itu dengan bingung. Tapi sebelum ia sempat bicara lagi, Keisya sudah mendorongnya keluar dan menutup pintu dengan keras.
Lyara mengepalkan tangan, ingin mengetuk keras-keras, tapi ia menahan diri.
“Sabar, Lyara … sabar. Oh, astaga …,” desisnya sambil memegangi keningnya yang terasa pening.
Ia melangkah ke arah dapur, namun langkahnya kembali terhenti saat melihat seseorang baru saja masuk ke rumah. Seorang wanita dengan rambut terurai rapi, membawa paper bag berisi makanan.
“Elvera ...,” sapa wanita itu pelan yang tak lain dan tak bukan adalah Zeya.
Keduanya saling terpaku. Lyara menatap Zeya dari ujung rambut hingga ujung kaki. Ada sesuatu yang bergolak di d4danya, bukan sekadar kebencian, tapi seperti emosi yang diwariskan oleh raga Elvera dalam tubuh ini.
“Tante Zeyaaa!” seru Keisya yang berlari dari kamarnya, langsung memeluk Zeya dengan riang.
Melihat itu, Lyara mulai memahami, potongan mimpi, amarah, dan rasa sakit di d4danya mengarah pada wanita di hadapannya saat ini.
“Oh, jadi ini penyebabnya,” batin Lyara dingin.
“Mungkin jiwa Elvera gak kuat menghadapi pelakor, makanya aku yang dikirim ke raganya ini. Tapi hei, aku masih delapan belas tahun, belum punya pengalaman ngusir perebut suami orang. Tapi kalau untuk yang satu ini,”
Senyumnya menyeringai.
“ ... aku bakal jadi singa yang siap mengaum.”
Zeya tersenyum manis, menatap Lyara sopan. “Ayo kita sarapan. Tante udah bawain makanan. Mana Papa? Masih mandi, ya?”
Lyara tertawa, tawa yang membuat ruangan seketika hening. Zeya dan Keisya sama-sama menatapnya, bingung. Lyara melipat kedua tangannya di dada dan menatap Zeya dari ujung kepala hingga kaki.
“Oh, tolong siapapun. Ada wanita tidak tau malu yang menanyakan suami orang di depan istri sahnya."
Tatapannya tajam, suaranya dingin. “Apa muka kamu itu letaknya di b0k0ng, Nenek Zeya?”
"Kamu—"
________________________________
Alian: Hempaaaaskan thoooool
apa lagi anak bryan 🤦♀️
masih mblundeeetttt
apalagi ini ditambah kondisi Ara yg menimbulkan tanda tanya
semoga saja gak isi
klo isi bisa jadi masalah besar
takutnya di curigai anak orang lain
q yakin El tidak seburuk ituuuu
pengakuan Bryan cuma untuk memprovokasi Theo