“Kuberi kau uang satu miliar dalam sebulan. Tapi, kau harus tinggal jauh dariku!” ucap Blue Rivero pada Red Forstrom—gadis desa nan polos yang dijodohkan oleh ayah mereka.
*
*
Blue Rivero, seorang pewaris dari pengusaha terkemuka, terpaksa menjalani perjodohan yang diatur oleh sang ibu demi memenuhi ayahnya.
Dia dijodohkan dengan Red Forstrom, gadis desa sederhana yang begitu polos namun cerdas.
Kedua ayah mereka, yang bersahabat sejak kecil dan berasal dari panti asuhan yang sama, telah membuat kesepakatan agar anak-anak mereka menikah suatu hari nanti.
Meski jarak usia mereka terpaut jauh—Blue berusia 30 tahun dan Red 23 tahun—itu dianggap usia ideal untuk menikah.
Namun, Blue menolak perjodohan ini karena dia sudah memiliki kekasih. Blue menganggap Red pasti kolot dan tak menarik karena berasal dari desa meskipun dia tak pernah berjumpa dengan gadis itu sebelumnya.
Terpojok oleh ancaman ayahnya yang menolak menandatangani hak warisnya, Blue akhirnya menikahi Red.
Dalam keputusasaan, dia membuat kesepakatan dengan Red yaitu wanita itu harus pindah ke luar negeri dengan imbalan uang bulanan SATU MILIAR.
Namun, apakah rencana ini akan berjalan mulus?
Atau justru membuka babak baru dalam kehidupan mereka yang penuh kejutan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon zarin.violetta, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Tiga Hari Tanpa Kabar (Back To The Reality)
Layar ponsel Red menyala untuk kesekian kalinya hari itu. Tidak ada notifikasi baru. Tidak ada pesan. Tidak ada panggilan terjawab dari Blue.
Hanya wallpaper kosong dan deretan aplikasi yang tak pernah disentuhnya sejak tiga hari terakhir.
Dia memejamkan mata, mencoba mengingat detik-detik terakhir Blue bersamanya—wangi aftershave-nya dan parfumnya yang tajam, suaranya yang serak ketika mendesah di tengah malam itu.
Dan sejak itu, dia merasakan tubuhnya berdesir setiap mengingatnya.
Ada keinginan terpendam di dalam hatinya ‘Kapan dia datang lagi?’
*
Red membuka mata sebelum alarm berbunyi. Apartemennya yang kecil masih gelap, hanya diterangi cahaya kota London yang menyelinap lewat tirai tipis.
Dia meraih ponsel di samping bantal—masih kosong.
“Dia tak akan ke sini lagi. Aku tahu itu, tapi … kenapa aku mengharapkan dia datang lag?” bisiknya.
Dia memotong alasan-alasan itu dengan menghela nafas panjang. Hari ini, kuliah paginya dimulai pukul sembilan, tapi tubuhnya terasa berat seperti dibebat besi yang berat.
Padahal, dia biasanya sangat semangat untuk pergi kuliah.
*
*
*
Red duduk di baris belakang aula kuliah, jarinya mengetik catatan tanpa semangat di laptopnya.
Suara profesor mengabur menjadi white noise di telinganya.
"Red? Kau baik-baik saja?"
Suara Claire—teman satu kelompoknya—membuatnya tersentak.
"Ya, hanya ... kurang tidur."
Claire mengerutkan kening. "Kau jadi jarang keluar dan selalu menolak jika kita berkumpul. Ada masalah?"
Red menggigit bibir bawahnya. “Tak apa, hanya sedang ingin di apartemen saja. Dan aku harus banyak belajar. Ujian tengah semester sebentar lagi," bohongnya sambil menutup buku catatan.
*
*
*
Bau kertas tua dan kopi instan menyambut Red ketika dia menyusuri rak-rak buku sastra.
Tangannya meraih sebuah buku karya J.D. Salinger, tapi matanya tetap tertuju pada ponsel di saku jaketnya.
‘Oohhh … aku bisa gila karena memikirkannya terus. Aku tak boleh begini. Tak boleh mengharapkannya!’ batin Red kesal pada dirinya.
*
*
Red kemudian berpindah rak dan berdiri di depan rak novel-novel thriller, jari telunjuknya menyentuh punggung buku yang familiar.
Ini buku yang sama yang pernah direkomendasikan Emma minggu lalu—The Silent Patient.
"Kau mau beli atau cuma memandanginya sepanjang malam?"
Suara kasar penjaga toko membuatnya tersentak.
"Ah, ya. Aku mau membelinya ..."
Dia mengambil buku itu lalu membayarnya di meja kasir. Setelah itu, dia berbalik ke arah pintu keluar.
Udara malam yang dingin menyergapnya ketika dia berjalan cepat menuju apartemen yang tak jauh dari sana.
*
*
Lampu neon di dapur berkedip-kedip ketika Red memanaskan daging yang dia beli di sebuah supermarket tadi.
TV menyala dengan volume rendah, menayangkan berita lokal tentang beberapa kriminalitas yang terjadi sepanjang bulan itu.
Dia mematikan TV.
Tak lama, ponselnya akhirnya berbunyi. Dan itu pesan dari Blue.
[Datanglah ke mansion bersama supir. Mommy dan daddy akan datang besok]
Dada Red berdetak kencang. Dia menggigit bibirnya lalu kemudian segera bersiap untuk pergi ke mansion Blue.
Ketika sedang berada di kamar mandi, Red memandang wajahnya di cermin. “Apakah dia ada di mansion? Atau aku hanya akan sendirian seperti biasanya? Atau … apakah kami akan melakukan itu lagi?” bisiknya pelan.
Red menghela napasnya. Dia memutuskan untuk mandi, agar membuat tubuhnya wangi dan segar.
Dia tahu bahwa mereka tak akan bertemu nanti, tapi entah mengapa dia masih berharap bahwa Blue akan menunggu kehadirannya.