Arka, detektif yang di pindah tugaskan di desa terpencil karena skandalnya, harus menyelesaikan teka-teki tentang pembunuhan berantai dan seikat mawar kuning yang di letakkan pelaku di dekat tubuh korbannya. Di bantu dengan Kirana, seorang dokter forensik yang mengungkap kematian korban. Akankah Arka dan Kirana menangkap pelaku pembunuhan berantai?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Faustina Maretta, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Hubungan yang semakin mendalam
Setelah memastikan Riko telah ditangkap dan diamankan oleh polisi, Arka, Kirana, dan Bayu kembali ke markas mereka untuk menyusun langkah selanjutnya. Meski Riko telah tertangkap, ancaman yang ia tinggalkan sebelum dibawa pergi masih terngiang di benak Arka.
"Kita harus tetap waspada," ujar Arka kepada timnya. "Riko mungkin sudah tertangkap, tapi kemungkinan besar, dia masih memiliki kaki tangan di luar sana yang bisa melanjutkan rencananya."
Bayu mengangguk setuju. "Kita harus memeriksa kembali semua data yang kita miliki. Mungkin ada petunjuk yang kita lewatkan tentang operasi mereka."
Kirana, yang tengah memeriksa dokumen-dokumen lama, menambahkan, "Aku akan meminta tim intelijen untuk memperbarui laporan mereka. Kita perlu tahu siapa saja yang masih beroperasi dan lokasi-lokasi potensial yang bisa mereka gunakan."
Beberapa jam kemudian, Kirana kembali dengan informasi penting. "Arka, tim intelijen menemukan bahwa salah satu gudang yang dulu digunakan oleh kelompok Riko memiliki jalur bawah tanah yang belum kita selidiki. Kemungkinan besar, mereka masih menggunakan jalur itu untuk menyelundupkan barang atau melarikan diri."
Arka berdiri, menatap peta yang menunjukkan lokasi gudang tersebut. "Kita harus ke sana. Ini bisa menjadi kunci untuk menghentikan sisa operasi mereka."
Bayu mengambil perlengkapannya. "Aku akan memimpin tim menuju jalur bawah tanah itu. Kita akan menyelidiki dan mengamankan area tersebut."
Arka mengangguk. "Aku akan ikut. Ini misi yang berisiko, dan aku ingin memastikan semuanya berjalan lancar."
Malam itu, tim mereka berangkat ke lokasi yang dimaksud. Gudang tua itu terlihat sepi dari luar, tetapi mereka tahu bahwa di dalamnya mungkin tersembunyi aktivitas yang tidak terlihat.
Saat mereka menemukan pintu masuk ke jalur bawah tanah, Bayu memberikan instruksi kepada tim. "Kita akan bergerak dengan hati-hati. Jangan ada suara yang bisa menarik perhatian."
Mereka memasuki jalur bawah tanah, yang gelap dan penuh dengan bau lembap. Cahaya senter mereka memantul di dinding-dinding sempit, memberikan pandangan terbatas ke depan.
Beberapa menit berjalan, mereka mulai mendengar suara langkah kaki dan bisikan dari arah depan. Arka memberi isyarat untuk berhenti. "Siapkan senjata kalian. Kita harus siap menghadapi apa pun."
Mereka mendekati sumber suara dengan perlahan. Di balik sudut jalur, mereka melihat sekelompok orang sedang membongkar barang-barang dari peti besar. Arka mengenali beberapa dari mereka sebagai kaki tangan Riko yang masih bebas.
"Kita tangkap mereka hidup-hidup," bisik Arka. "Mereka bisa memberi kita informasi tentang rencana besar yang mungkin masih berlangsung."
Dengan isyarat dari Arka, tim mereka menyerbu. Para kaki tangan Riko terkejut, tetapi tidak sempat memberikan perlawanan yang berarti. Dalam hitungan menit, mereka semua sudah dilumpuhkan dan diborgol.
Arka mendekati salah satu dari mereka yang terlihat sebagai pemimpin kelompok itu. "Siapa yang memimpin kalian sekarang? Apa yang sedang kalian rencanakan?"
Pria itu menatap Arka dengan tajam, tetapi akhirnya menyerah pada tekanan. "Riko mungkin sudah tertangkap, tapi ada seseorang yang lebih berbahaya yang mengambil alih. Dia punya rencana besar, dan ini hanya bagian kecil darinya."
Arka menatap pria itu dengan serius. "Siapa orang itu? Di mana kita bisa menemukannya?"
Pria itu tersenyum tipis. "Kalian tidak akan bisa menghentikannya. Dia selalu selangkah lebih maju."
Arka menegaskan, "Kita akan lihat tentang itu."
Mereka membawa para tahanan kembali ke markas untuk diinterogasi lebih lanjut. Meski ancaman dari Riko telah berakhir, Arka tahu bahwa mereka sekarang menghadapi musuh yang lebih besar dan lebih licik. Pertarungan mereka belum selesai, dan mereka harus siap untuk menghadapi tantangan berikutnya.
---
Di ruang interogasi, suasana tegang menyelimuti. Riko, dengan luka-luka yang masih segar di wajahnya, duduk diam, menatap lantai dengan tatapan kosong. Arka berdiri di hadapannya, mencoba sekali lagi menggali informasi.
"Kau tahu ini hanya akan memperburuk keadaanmu jika kau terus bungkam, Riko," ujar Arka dengan nada yang tajam. "Kami tahu kau bukan bekerja sendirian. Beri kami nama, dan mungkin kau akan mendapat keringanan."
Riko mengangkat kepalanya perlahan, menatap Arka dengan senyum sinis. "Aku lebih baik mati daripada mengkhianati mereka."
Arka mendesah, frustrasi. Ia menoleh ke Kirana, yang berdiri di sudut ruangan, mengamati dengan mata penuh perhatian. Kirana kemudian melangkah mendekat, meletakkan tangan di bahu Arka, memberikan isyarat bahwa sudah saatnya berhenti.
Di luar ruang interogasi, Arka bersandar di dinding, menatap lantai dengan mata yang penuh kebingungan. "Dia tidak akan berbicara. Dia lebih memilih mati daripada mengkhianati komplotannya."
Kirana, dengan senyum lembut, berdiri di samping Arka. "Kita tidak bisa memaksakan sesuatu yang dia tidak mau beri. Tapi kita bisa mencari cara lain. Kita tidak boleh menyerah, Arka."
Arka menatap Kirana, melihat keteguhan dalam matanya. "Aku tahu. Tapi ini begitu sulit. Kita sudah begitu dekat."
Kirana menepuk bahu Arka dengan lembut. "Kau sudah melakukan yang terbaik. Kita akan menemukan cara lain. Sementara itu, kenapa kau tidak beristirahat? Ini sudah larut malam."
Arka mengangguk pelan. "Kau benar. Aku butuh waktu untuk mencerna semua ini."
Kirana tersenyum lagi, kali ini lebih hangat. "Kalau begitu, kenapa kau tidak datang ke apartemenku? Kita bisa mendiskusikan ini lebih lanjut di sana, dalam suasana yang lebih santai. Mungkin itu bisa membantu kita menemukan solusi."
Arka tampak terkejut, tetapi kemudian tersenyum kecil. "Itu tawaran yang baik. Terima kasih, Kirana. Aku akan datang."
Malam itu, di apartemen Kirana, suasana jauh lebih santai. Mereka duduk di sofa, dengan secangkir kopi di tangan masing-masing. Kirana menyalakan lampu meja yang redup, menciptakan suasana hangat dan nyaman.
"Jadi, apa yang ada di pikiranmu sekarang?" tanya Kirana, menatap Arka dengan penuh perhatian.
Arka menghela napas panjang. "Aku hanya berpikir, jika Riko tidak akan bicara, kita harus menemukan bukti lain. Mungkin ada seseorang di jaringan mereka yang lebih lemah, seseorang yang bisa kita bujuk."
Kirana mengangguk. "Itu mungkin. Kita harus menelusuri lebih dalam, mencari tahu siapa yang mungkin punya hubungan lebih longgar dengan mereka."
Arka menatap Kirana, merasa beban di pundaknya sedikit berkurang. "Terima kasih, Kirana. Kau selalu tahu bagaimana memberikan semangat."
Kirana tersenyum lembut. "Kita tim, Arka. Dan tim selalu mendukung satu sama lain. Kita akan menemukan cara untuk menyelesaikan ini bersama."
Malam terus berlanjut dengan diskusi mereka, berusaha menemukan solusi dan rencana baru untuk mengungkap jaringan kejahatan yang selama ini mengintai dari bayang-bayang.
Keduanya sampai di apartemen Kirana. Di sana, Arka menyandarkan tubuhnya di sofa panjang yang empuk dan nyaman. Sementara Kirana, mengambil minum untuk mereka berdua.
Wanita berambut panjang itu memijat bahu Arka. "Kamu terlihat tegang."
Arka menoleh dan menatap Kirana. "Kirana ... bagaimana jika kita ... melakukan ... itu?"
To be continued ...