Dibesarkan oleh kakeknya yang seorang dokter, Luna tumbuh dengan mimpi besar: menjadi dokter bedah jantung. Namun, hidupnya berubah pada malam hujan deras ketika seorang pria misterius muncul di ambang pintu klinik mereka, terluka parah. Meski pria itu menghilang tanpa jejak, kehadirannya meninggalkan bekas mendalam bagi Luna.
Kehilangan kakeknya karena serangan jantung, membuat Luna memilih untuk tinggal bersama pamannya daripada tinggal bersama ayah kandungnya sendiri yang dingin dan penuh intrik. Dianggap beban oleh ayah dan ibu tirinya, tak ada yang tahu bahwa Luna adalah seorang jenius yang telah mempelajari ilmu medis sejak kecil.
Saat Luna membuktikan dirinya dengan masuk ke universitas kedokteran terbaik, pria misterius itu kembali. Kehadirannya membawa rahasia gelap yang dapat menghancurkan atau menyelamatkan Luna. Dalam dunia penuh pengkhianatan dan mimpi, Luna harus memilih: bertahan dengan kekuatannya sendiri, atau percaya pada pria yang tak pernah ia lupakan
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Seraphine E, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 35
Hari pertama sebagai mahasiswi kedokteran, dan Luna merasakan sebuah sensasi yang aneh. Di satu sisi, ada kegembiraan yang menyala-nyala di dalam dirinya, namun di sisi lain, ada ketegangan yang menggelitik sepanjang jalan menuju laboratorium anatomi yang terletak di sudut kampus.
Setibanya di sana, Luna mendapati dirinya berada di hadapan sebuah kelas yang dipenuhi oleh wajah-wajah cemas dan penasaran. Beberapa di antaranya tampak tergesa-gesa menatap buku catatan, berusaha mengingat segala informasi yang telah diberikan selama orientasi, sementara yang lain lebih memilih untuk bersandar, seolah menunggu bencana yang pasti akan datang.
Di depan kelas, berdiri seorang pria dengan rambut putih seperti salju, yang tampaknya sangat puas dengan dirinya sendiri. Dengan jas lab yang sedikit kusut, dan mata yang berbinar penuh semangat, ia tampak lebih seperti seorang ilmuwan eksentrik daripada seorang profesor anatomi. Tidak heran jika beberapa mahasiswa langsung saling berbisik, mencoba menebak-nebak apakah pria ini sebenarnya adalah seorang jenius atau hanya seorang peneliti yang sedang mencari perhatian.
"Baiklah," kata Profesor Quirell, matanya bersinar penuh kebanggaan. "Hari ini, kita akan memulai perjalanan kita untuk mempelajari keajaiban tubuh manusia. Biasanya, kalian semua akan mempelajari teori terlebih dahulu, tetapi karena kita memiliki seorang top scorer di sini," ucapnya dengan nada yang hampir penuh ejekan, mengarahkan pandangannya kepada Luna yang duduk dengan tenang di barisan depan. "Maka, hari ini saya membuat sesuatu yang sangat spesial untuk kalian!"
Dengan satu gerakan dramatis, ia menarik selimut besar yang menutupi sesuatu di atas meja. Hening sejenak, lalu beberapa mahasiswa mulai mual dan wajah mereka berubah menjadi pucat pasi. Tak sedikit dari mereka yang menutup hidung, menghindari bau yang mulai menyeruak ke udara.
Luna menahan napas, tetapi di dalam hatinya, ada rasa takjub yang muncul. Kadaver itu tergeletak di atas meja, tubuhnya terkulai dalam keadaan yang lebih mengerikan daripada yang pernah ia bayangkan. Namun, alih-alih merasa jijik, Luna merasakan sesuatu yang berbeda—sesuatu seperti kekaguman terhadap keajaiban biologis yang ada di hadapannya.
"Ho...ho...ho!" Profesor Quirell tertawa kecil, menatap dengan sinis kepada para mahasiswa yang tampak lemas di sudut ruangan. "Baru seperti ini saja kalian sudah muntah? Bagaimana jika kalian benar-benar harus melakukan diseksi nanti?" katanya dengan nada mengejek. "Kalian tidak akan bertahan lama di sini."
Di tengah ruangan, Clara dan Jackie sudah tampak pucat dan terhuyung, mencoba menahan diri agar tidak muntah. Tetapi Luna hanya memandang dengan tenang. Memang, pemandangan itu tidaklah indah, tetapi ini adalah bagian dari kehidupannya yang baru sebagai seorang mahasiswi kedokteran.
Profesor Quirell melirik ke arah Luna, tampak menilai seberapa besar kecakapannya dalam bidang ini. "Luna Harrelson," panggilnya dengan suara menggema, memecah kesunyian ruangan. "Kamu yang terbaik di antara mereka, kan? Jika begitu, tunjukkan pada kami, di manakah letak vena jugularis interna pada kadaver ini?"
Luna menghela napas perlahan, melepaskan ketegangan yang sedikit terasa. Dengan gerakan yang tenang, ia melangkah maju, mendekat pada kadaver yang terbaring di atas meja. Dengan tangan yang mantap, ia menunjuk ke sisi leher kadaver tersebut, menjelaskan dengan jelas letak vena jugularis interna, menandai dengan ketelitian yang hanya bisa dimiliki oleh seseorang yang tidak hanya belajar dari buku, tetapi juga menyukai apa yang dipelajari.
"Vena jugularis interna terletak di sepanjang sisi lateral leher," ujar Luna dengan suara yang tenang namun penuh kepastian. "Vena ini mengalirkan darah dari otak dan kepala ke dalam vena brachiocephalica."
*(ps : *Vena Jugularis dan Vena Brachiocephalica adalah dua pembuluh darah yang terlibat dalam sirkulasi darah di bagian atas tubuh, khususnya di area kepala, leher, dan dada)
Profesor Quirell menatapnya sejenak dengan ekspresi yang tak terbaca, namun yang jelas, ada sedikit keterkejutan di matanya. "Hmm, sangat baik," katanya singkat, seolah tidak menyangka Luna akan menjawabnya dengan begitu tepat dan lugas. "Kamu tidak hanya cerdas, Luna, tetapi juga terlihat kompeten."
Di belakangnya, Clara dan Jackie menatap Luna dengan campuran kekaguman dan kekesalan. Clara, yang sudah berusaha keras menahan diri agar tidak jatuh pingsan, sekarang tampak sedikit cemburu pada keahlian Luna. Jackie hanya bisa mengerling dengan rasa ingin tahu yang sama, meskipun ia masih terlihat sedikit mual.
Profesor Quirell tampaknya semakin menikmati tantangan yang diberikannya kepada Luna. Dengan mata yang berbinar penuh rasa ingin tahu, dia melangkah lebih dekat, memberikan tatapan yang menggoda. "Bagaimana kalau kita mulai dengan sesuatu yang lebih... menantang?" ucapnya sambil tersenyum tipis, seolah menguji batas kemampuan Luna.
Luna, yang tidak terpengaruh oleh atmosfer tegang itu, hanya memandang profesor dengan tatapan tenang. "Apapun itu katakan saja Profesor" jawabnya dengan santai, suaranya bergetar samar namun tetap penuh keyakinan. Meskipun suasana di sekitarnya mulai terasa canggung, Luna tetap merasa tenang, bahkan seperti berada di luar dirinya sendiri, dalam suasana yang tak pernah dia bayangkan sebelumnya.
Profesor Quirell, dengan ekspresi yang sulit dibaca, kemudian membuka selimut lainnya, memperlihatkan jantung yang sudah terlepas dari tubuh kadaver. "Mari kita lihat apakah kamu benar-benar siap untuk tantangan ini, Luna," katanya, menatap Luna dengan penuh perhatian.
Tanpa ragu, Luna mendekatkan dirinya pada meja diseksi, memperlihatkan prof Quirell mengeluarkan jantung dari dalam tubuh kadaver, dan memberikannya pada Luna.
Luna memegang jantung tersebut. Jantung itu, yang seharusnya menjadi sesuatu yang menakutkan, terasa seperti benda biasa baginya. Tanpa memperlihatkan tanda ketegangan sedikit pun, Luna menggenggamnya dengan tangan yang mantap, seolah itu adalah sebuah bola yang baru saja dilemparkan kepadanya di tengah lapangan olahraga.
Melihat Luna yang dengan santai memegang jantung itu, seolah tidak ada yang aneh, beberapa mahasiswa yang masih bertahan di dalam ruangan mulai merasakan perut mereka bergejolak. Clara, yang sejak tadi berusaha untuk tidak kehilangan kesadaran, kini mulai tampak pucat. Jackie, yang tampaknya cukup kuat, tak bisa menahan dirinya lebih lama. Mereka mulai mundur, satu per satu, meninggalkan ruangan dengan wajah pucat dan langkah terburu-buru, sebelum akhirnya semuanya menghilang dari pandangan, pergi untuk menyegarkan diri dan menghindari 'keajaiban' yang sedang dipertontonkan Luna.
Profesor Quirell hanya tertawa terbahak-bahak melihat pemandangan itu. Dengan tatapan penuh kekaguman yang tidak dapat disembunyikan, dia bertepuk tangan pelan. "Sungguh luar biasa, Luna," ucapnya sambil menepuk-nepuk tangannya. "Kamu benar-benar kompeten! Kurasa kuliah hari ini sudah cukup."
Luna, yang masih memegang jantung itu dengan santai, hanya tersenyum tipis, seolah tidak ada yang aneh dengan seluruh situasi ini. "Terima kasih profesor untuk kuliah hari ini" jawabnya dengan nada ringan, meletakkan jantung kembali ke tempatnya dengan hati-hati.
...****************...
Sementara itu di dalam bilik toilet yang sepi, Clara berdiri dengan wajah penuh amarah, dikelilingi oleh dinding putih yang tampak semakin menekan perasaannya. Dengan kedua tangan yang terlipat di dada, ia menatap bayangannya di cermin dengan tatapan tajam yang penuh kebencian. Teringat akan kejadian tadi di ruang kuliah, hatinya terasa seperti diremas, dan sebuah perasaan yang sulit dia akui menggelayuti pikirannya. Luna, lagi-lagi, menjadi pusat perhatian, sementara dirinya hanya dapat menyaksikan dari belakang.
"Dia lagi... dia lagi," geram Clara pelan, bibirnya bergetar menahan amarah yang semakin membuncah. Rasanya seperti seluruh dunia sedang berputar mengelilingi Luna, dan dia hanya menjadi penonton yang terpaksa menyaksikan. Luna yang tenang, Luna yang jenius, Luna yang selalu bisa mencuri perhatian dengan mudah—Seolah semuanya dirancang untuk mengundang iri hati yang mendalam di hati Clara.
Clara, yang terbiasa mendapatkan segala perhatian dengan mudah, kini merasa posisinya tergeser, terpinggirkan oleh seseorang yang tampaknya tak berusaha lebih dari sekadar menjadi dirinya sendiri. "Dia tidak pantas mendapatkan semua perhatian dan ketenaran ini. Semua itu seharusnya milikku," gumam Clara dengan suara pelan, seolah berbicara pada dirinya sendiri, berusaha meyakinkan dirinya bahwa Luna tidak lebih dari sekadar keberuntungan semata.
Namun, semakin dia berpikir, semakin sulit untuk menyangkal kenyataan bahwa Luna memang memiliki sesuatu yang tak dimilikinya. Sesuatu yang membuatnya berbeda, membuat semua orang mengaguminya, bahkan yang paling sulit dipahami sekalipun—ketenangan dan kecerdasannya yang hampir tak tergoyahkan.
Tapi Clara tidak ingin mengakui itu. Tidak. Ia menatap dirinya di cermin lagi, berusaha menenangkan dirinya. "Tidak, aku tidak akan membiarkan dia menonjol lebih dari ini," pikirnya dengan tekad yang bergejolak di dalam dadanya. "Aku akan menemukan caraku sendiri. Dia tidak akan mendapatkan semua perhatian itu."
Dengan napas yang semakin berat, Clara akhirnya keluar dari bilik toilet, mencoba menata kembali senyum di wajahnya.
...****************...