Ini bukan kisah istri yang terus-terusan disakiti, tetapi kisah tentang cinta terlambat seorang suami kepada istrinya.
Ini bukan kisah suami yang kejam dan pelakor penuh intrik di luar nalar kemanusiaan, tetapi kisah dilema tiga anak manusia.
Hangga telah memiliki Nata, kekasih pujaan hati yang sangat dicintainya. Namun, keadaan membuat Hangga harus menerima Harum sebagai istri pilihan ibundanya.
Hati, cinta dan dunia Hangga hanyalah untuk Nata, meskipun telah ada Harum di sisinya. Hingga kemudian, di usia 3 minggu pernikahannya, atas izin Harum, Hangga juga menikahi Nata.
Perlakuan tidak adil Hangga pada Harum membuat Harum berpikir untuk mundur sebagai istri pertama yang tidak dicintai. Saat itulah, Hangga baru menyadari bahwa ada benih-benih cinta yang mulai tumbuh kepada Harum.
Bagaimana jadinya jika Hangga justru mencintai Harum saat ia telah memutuskan untuk mendua?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yeni Eka, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 29
Mereka masuk ke resto pilihan Nata. Sebuah resto brand lokal yang berada di dalam mal tersebut.
Nata memilih meja segi empat dengan empat buah kursi yang terletak di paling sudut, dekat jendela. Harum dan Hangga menurut saja dengan pilihan Nata.
Menarik kursi, mereka mengambil posisi duduk. Nata duduk bersebelahan dengan Hangga, sementara Harum duduk tepat segaris di depan Nata. Setelahnya, mereka memesan menu pilihan yang tersedia di resto tersebut.
“Yang, itu kayaknya si Arya deh,” ujar Nata saat tengah menunggu menu pesanan datang.
“Mana?” Hangga melemparkan pandang ke arah yang ditunjuk istri keduanya.
“Itu di sana.” Nata menunjuk seorang pria berkemeja hitam yang baru masuk ke dalam restoran.
“Bener si Arya deh,” kata Nata yakin.
“Aku panggil ya.” Nata berdiri lalu meneriakkan nama pria tersebut sembari melambaikan tangan.
Pria yang dipanggil Arya itu langsung menoleh dan menghampiri meja mereka.
“Ya salam, kok bisa ketemu couple goals di sini,” ujar pria yang bernama Arya sembari memeluk Hangga, kemudian menyalami Nata.
“Apa kabar, Ya?” sapa Hangga usai melepas pelukan Arya.
“Kabar ghue selalu baik dong. Kabar kalian gimana? Kapan putus?” gurau Arya yang langsung mendapat tonjokan kecil dari Nata.
“Hahahaha, bercanda, Nat.” Arya tertawa terbahak.
“Lu kok ada di sini, Ya? Bukannya lu kerja di Jakarta?” lontar Nata.
“Ghue udah resign dari tempat kerja dulu,” sahut pria dengan dialek Jawa yang kental.
“Gue, Ya. Bukan ghue,” ledek Nata.
“Dari dulu enggak bisa banget sih bilang ‘gue. Hahahaha.” Nata tertawa terpingkal.
“Jangan ngeledek!” protes Arya.
"Terus sekarang kegiatan lu apa?"
"Pengangguran banyak penggemarnya. Hahahaha," gurau Arya.
Hangga ikut tertawa mendengar gurauan Arya. Teman Nata itu dulu saat kuliah memang banyak teman perempuannya. Saking banyaknya, Hangga bingung yang mana pacar Arya.
“Btw kenapa lu resign? Jangan bilang lo resign gara-gara putus sama si Christy,” tukas Nata.
“Eh, enak aja. Putus gimana lah wong aku sama dia ndak pacaran," kilah Arya.
“Alah, sedih lu pasti. Si Christy 'kan udah merit," seloroh Nata.
“Sedih itu justru lihat lu sama Hangga pacaran lama, tapi enggak nikah-nikah,” balas Arya.
“Enak aja, kita udah nikah loh.”
“Hah, masa sih? Bohong pasti,” sahut Arya tidak percaya.
“Kalian enggak bisa ngobrol sambil duduk apa,” sela Hangga saat melihat Nata dan Arya asyik berbincang dalam posisi berdiri.
“Eh, iya. Ghue duduk ya ghaes.” Arya mengambil posisi duduk di sebelah Harum.
Saat itulah, pria berkulit putih dengan mata agak sipit itu baru menyadari keberadaan Harum di sana.
Arya menatap perempuan ayu berjilbab itu sembari tersenyum ramah.
“Nat, ini siapa?” tanyanya pada Nata.
“Oya kenalin, Rum. Ini teman kuliahku dulu. Teman Hangga juga.” Nata memperkenalkan Arya yang tidak lain adalah teman kuliahnya.
Arya mengulurkan tangannya kepada Harum. “Arya,” ucapnya sembari melemparkan senyum termanisnya.
“Harum,” balas Harum dengan menautkan kedua tangan di depan dada.
Arya yang sudah mengulurkan tangan, menarik kembali tangannya lalu menggaruk kepalanya yang berpura-pura gatal. “Cantik sekali nama mbaknya, sama seperti orangnya.”
Harum memaksakan senyum mendengar ucapan Arya yang berani-beraninya menggombal.
Arya memandang Harum untuk beberapa saat. Seketika bibirnya tersenyum lebar karena teringat sesuatu.
“Perasaan kayak pernah ketemu loh,” tukas Arya dengan tidak melepas tatapannya pada Harum. “Tapi, di mana ya?” sambungnya.
Harum menanggapi ucapan Arya dengan menggelengkan kepala.
Arya masih belum melepas tatapannya pada Harum. Tingkah Arya membuat Harum salah tingkah dan memilih untuk mengalihkan pandangan pada jendela di sampingnya.
Resto tersebut terletak di lantai dua, sehingga dari jendela, pengunjung dapat melihat indahnya binar lampu jalanan dan keramaian kota.
“Hey!” Nata memukul punggung tangan Arya yang berada di atas meja.
“Aduh.” Arya terjingkat karena pukulan Nata.
“Mata tuh mata!” seru Nata sebab Arya tidak juga melepas tatapannya pada Harum.
Selorohan Nata sontak memutus tatapan Arya pada Harum, lalu mengalihkan tatapannya pada Nata.
“Oya, serius kalian udah nikah?” Arya bertanya pada Nata.
Nata mengangguk sembari tersenyum ceria. “Udah dong.”
“Mas Bro, serius udah nikah sama Nata?” Arya ganti bertanya pada Hangga sebab merasa tidak yakin dengan apa yang diucapkan Nata.
“Iya,” jawab Hangga dengan santai.
Arya menatap Hangga dan Nata bergantian. Ia yang mengetahui bahwa hubungan Nata dan Hangga terbentur perbedaan, ingin sekali bertanya lebih lanjut tentang bagaimana proses pernikahannya. Tetapi, ia memilih untuk mengurungkannya sebab ada Harum di sana. Dan Arya belum tahu Harum itu siapanya mereka.
Melirik Harum yang duduk di sebelahnya, Arya mengalihkan topik obrolan. “Oya, Harum ini siapanya Hangga? Enggak mungkin saudaranya Nata ‘kan?”
Melihat penampilan Harum dengan jilbab syar’i, pria berambut cepak itu menerka bahwa Harum bukanlah teman atau saudara dari Nata.
“Harum ini adiknya Hangga.” Nata yang menjawab pertanyaan Arya.
Mendengar jawaban Nata sontak membuat Harum dan Hangga mengalihkan pandangan kepada Nata dengan tatapan penuh tanya.
“Kalau begitu, boleh dong ghue pedekate,” seloroh Arya yang kemudian mendapat tatapan tajam dari Hangga.
“Eh, ta’aruf maksudnya,” ralat Arya yang salah mengartikan tatapan tajam dari Hangga.
Harum memutar bola matanya menanggapi ucapan pria tengil yang duduk di sebelahnya.
Tidak lama kemudian, menu pesanan mereka datang. Menu pesanan Arya juga dibawakan ke meja tersebut.
Saat bersiap akan makan, sorot mata Arya jatuh pada punggung tangan Harum yang terdapat bekas luka. Seketika ia mengingat sesuatu.
“Mbaknya ini pasti gadis yang pernah tidak sengaja terserempet motor aku, iya ‘kan?” lontar Arya tiba-tiba.
Matanya memindai wajah Harum dengan saksama. Kemudian ia membuka resleting tas selempang miliknya dan mengambil sesuatu dari sana.
“Ini.” Arya menunjukkan sebuah plester luka. “Mbaknya nyuruh aku beli ini. Tapi pas aku balik, mbaknya udah ndak ada di tempat. Aku mutar-mutar mencari di sekitar kompleks, ndak ketemu juga,” lanjutnya.
sungguh nikmat kn mas Hangga poligami itu 😈
yg bener nggak sadar diri
perempuan yang merendahkan diri sendiri demi cinta yg akhirnya di telan waktu