Diaz, CEO yang menjual bunga dan coklat setiap hari Sabtu. Dia mencari wanita yang cocok dengan sepatu kaca biru milik ibunya. Apa sebenarnya tujuan mencari wanita itu? Memangnya tidak ada wanita lain? Bukankah bagi seorang CEO sangat mudah mencari wanita mana pun yang diinginkan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon El Nurcahyani, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Leri Bertemu Diaz dan Ayahnya
Bab 11
Pagi itu di kediaman megah Tuan Gunawan, suasana sudah terasa tegang. Tuan Gunawan yang duduk di ruang makan dengan setelan jas kasual memandang istrinya, Melinda, yang masih enggan melaksanakan permintaannya.
"Bangunkan Diaz," perintah Gunawan dengan nada tegas.
Melinda mendengkus, menolak mentah-mentah. "Aku tidak mau. Diaz membenciku, sayang. Dia bahkan menatapku seolah aku ini musuhnya. Kau tahu kan kenapa?"
Gunawan menghela napas panjang. "Dia anak keras kepala, Melinda. Tapi kau harus sabar. Sebagai seorang ibu, kau harus mampu menahan emosi. Kalau Diaz nekad pergi, kau tahu apa yang akan terjadi pada perusahaan ini. Kakak-kakaknya tak bisa diandalkan. Yang pandai dalam bisnis hanya Diaz."
Melinda menatap Gunawan tajam. "Tapi dia bukan anak kandungku. Aku tidak punya kewajiban bersikap seperti seorang ibu padanya."
Kemarahan Tuan Gunawan memuncak. "Jangan bicara soal anak kandung atau bukan di depanku! Atau kau ingin aku mengingatkan dari mana asalmu?"
Melinda terdiam. Wajahnya memerah. Ia menelan kekesalannya, beranjak dengan berat hati menuju kamar Diaz.
Dalam perjalanan, ia berpapasan dengan Hanafi, mantan suaminya, yang kini bekerja sebagai sopir di rumah itu. Lebih tepatnya, Hanafi sudah dianggap anggota keluarga, meski tetap ada jarak antara dirinya dan tuan rumah.
“Kenapa? Dimarahi lagi?” tanya Hanafi santai, tanpa nada mengejek.
Melinda mendelik. "Bukan urusanmu," jawabnya ketus.
Hanafi tersenyum tipis. Ia tak pernah merasa sakit hati melihat Melinda yang kini menjadi nyonya rumah. Kebahagiaan sejati baginya tak pernah diukur dengan harta.
Namun, belum sempat Melinda sampai di kamar Diaz, suara sindiran tajam membuat langkahnya terhenti.
“Nyonya Melinda yang terhormat, Anda tidak perlu repot-repot ke kamarku.”
Melinda yang baru saja selesai menaiki anak tangga terakhir, terkejut melihat Diaz yang sudah berdiri di depannya.
“Kau sudah bangun?” tanyanya kaku.
Diaz menatapnya dingin. "Urus saja suamimu. Jangan urus hal lain di rumah ini. Termasuk aku," ucapnya ketus sambil berlalu melewati Melinda.
Di ujung tangga, Diaz memanggil Hanafi. "Paman, bisa antar aku ke kantor sekarang?"
"Siap, Tuan," jawab Hanafi sopan, lalu mengikuti langkah Diaz keluar rumah.
Melinda hanya bisa memandangi kepergian mereka dengan tatapan pedih yang penuh kebencian. Dalam hatinya, ia tahu akan dimarahi Gunawan lagi karena gagal membuat Diaz sarapan bersama.
###
Berbeda dengan kediaman Tuan Gunawan, rumah Pak Wahyu pagi itu terasa hangat dan penuh suka cita. Pak Wahyu duduk di ruang tengah, menatap bangga putrinya, Leri, yang tengah bersiap untuk pergi bertemu Tuan Asher.
Penampilan Leri kali ini sungguh berbeda dari biasanya. Rambut panjang legamnya dibiarkan terurai rapi. Ia mengenakan blouse putih elegan dengan sentuhan renda di bagian kerah, dipadukan dengan rok panjang warna pastel yang menonjolkan kesederhanaannya.
Wajah Leri yang manis tampak semakin bercahaya dengan sentuhan makeup tipis. Sepasang sepatu hak rendah melengkapi penampilannya, membuatnya tampak seperti putri dari keluarga kaya.
Bu Mirna tak henti-hentinya memuji Leri. "Nak, kamu seperti bidadari hari ini. Bapak dan Ibu sampai kagum. Kamu benar-benar pantas jadi anak orang kaya."
Pak Wahyu mengangguk setuju. "Bapak bangga padamu, Leri. Apa pun yang kau lakukan nanti, ingatlah, kami selalu mendoakan mu."
Leri tersenyum, menggenggam tangan ayahnya. "Terima kasih, Pak, Bu. Aku akan melakukan ini sebaik mungkin. Doakan aku, ya."
Dengan penuh rasa haru, Pak Wahyu dan Bu Mirna mengantar Leri ke depan rumah. Meski berat melepasnya, mereka tahu, keputusan ini adalah langkah besar untuk masa depan putri mereka.
"Pak, Bu, tidak perlu diantar sampai jalan. Di sana sudah ada sopir tuan Asher menunggu. Kalian jangan terlalu khawatir," ucap Leri. Tangannya masih terus menggenggam tangan Bu Mirna.
"Baiklah. Jaga diri ya, Nak," ucap Pak Wahyu, kemudian mencium kening Leri, disusul Bu Mirna melepas kepergian putrinya.
Sebuah mobil hitam mewah sudah menunggu di depan gerbang TPU, dengan sopir Tuan Asher berdiri, siap membukakan pintu mobil untuk Leri.
"Selamat pagi, Nona. Saya ditugaskan oleh Tuan Asher untuk menjemput Anda," ucap sopir itu sopan.
Leri hanya mengangguk kecil, lalu masuk ke dalam mobil. Mereka melaju menuju sebuah kafe eksklusif di pusat kota, tempat pertemuan bisnis yang sering digunakan oleh para konglomerat karena suasananya yang elegan dan tenang di pagi hari.
###
Di Cafe.
Leri turun dari mobil dengan penuh percaya diri, meskipun jantungnya berdebar kencang. Ia tahu pertemuan ini akan mengubah jalan hidupnya.
Di dalam kafe, Tuan Asher sudah menunggu di sebuah meja dengan posisi strategis, menghadap taman kecil yang asri. Di meja yang sama, Diaz dan Hanafi juga hadir sebagai perwakilan dari perusahaan Tuan Gunawan.
Tuan Asher berdiri menyambut Leri dengan senyum lebar. "Akhirnya kau datang, Lili. Kemari, kenalkan dirimu."
Tuan Asher belum berani memeluk Lili, sebagaimana seorang ayah pada putrinya.
Leri yang kini dipanggil Lili melangkah mendekat. Setiap gerakannya memancarkan pesona yang membuat orang di ruangan itu tak bisa mengalihkan pandangan.
"Lili," ucap Tuan Asher memperkenalkan, "Dia memang bukan anak kandungku. Tapi, dia akan menjadi pewaris bisnisku di masa depan."
Diaz, yang duduk berseberangan, menatap Leri sekilas. Ada sesuatu yang terasa familiar, namun ia tidak bisa memastikan. Bagi Diaz, Leri hanyalah gadis cantik berpenampilan sempurna, tidak lebih.
Hanafi, yang duduk di sebelah Diaz, juga tak menyadari bahwa gadis itu adalah putrinya sendiri. Baginya, gadis itu hanyalah calon pewaris dari salah satu konglomerat ternama.
“Senang berkenalan dengan Anda semua,” ujar Leri dengan senyum sopan, menyembunyikan kegugupan di balik penampilannya yang anggun.
Diaz mengangguk kecil tanpa banyak bicara, seperti biasanya. Ia bukan tipe yang langsung akrab dengan orang baru, apalagi di pertemuan bisnis.
Tuan Asher melanjutkan percakapan, membahas rencana kerja sama mereka dengan penuh semangat. Sementara itu, Leri hanya duduk mendengarkan, sesekali mencatat hal penting. Dalam hatinya, ia merasa lega bahwa Diaz dan Hanafi tidak mengenalinya.
Namun, Leri juga merasa perih. Ayahnya sendiri duduk begitu dekat dengannya, tetapi tidak tahu bahwa gadis yang sedang diperkenalkan itu adalah darah dagingnya. Tapi ia sadar, inilah jalan yang dipilihnya.
Percakapan terus berlanjut, membahas peluang besar yang akan datang. Namun, di sela-sela obrolan itu, mata Diaz sempat terpaku pada Leri lebih lama dari biasanya. Ada sesuatu yang terasa aneh—bukan karena kecantikan Leri, tetapi seolah-olah ia pernah melihatnya di suatu tempat.
Namun, Diaz segera mengalihkan pandangannya. Baginya, urusan bisnis lebih penting daripada memikirkan hal-hal yang tak masuk akal.
Pertemuan itu berakhir dengan kesepakatan awal yang memuaskan. Leri melangkah keluar dari kafe bersama Tuan Asher, sementara Diaz dan Hanafi menyusul beberapa saat kemudian.
Saat keluar, Leri sempat melirik ke arah Diaz dan Hanafi yang berjalan menuju mobil mereka. Ia menarik napas dalam, berusaha mengusir rasa sedih yang tiba-tiba menghampirinya. Ini baru permulaan, dan ia harus tetap kuat.
Bersambung...