Di kota Plaguehart, Profesor Arya Pratama melakukan eksperimen berbahaya untuk menghidupkan kembali istrinya, Lara, menggunakan sampel darah putrinya, Widya. Namun, eksperimen itu gagal, mengubah Lara menjadi zombie haus darah. Wabah tersebut menyebar cepat, mengubah penduduk menjadi makhluk mengerikan.
Widya, bersama adiknya dan beberapa teman, berjuang melawan zombie dan mencari kebenaran di balik wabah. Dengan bantuan Efri, seorang dosen bioteknologi, mereka menyelidiki lebih dalam, menemukan kebenaran mengerikan tentang ayah dan ibunya. Widya harus menghadapi kenyataan pahit dan mengambil keputusan yang menentukan nasib kota dan hidupnya.
Mampukah Widya menyelamatkan kota dengan bantuan Dosen Efri? Atau justru dia pada akhirnya ikut terinfeksi oleh wabah virus?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Widya Pramesti, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pom Bensin Terbengkalai
Sementara itu, Di perjalanan yang sunyi, gelap, dan hanya di terangi cahaya bulan serta sorot lampu motor Harley yang menyoroti jalanan yang rusak. Widya, melihat sebuah pom bensin yang terbengkalai di sisi jalan. Dia berbelok, dan berhenti di sana.
Di pom bensin yang terbengkalai, terdapat gedung kecil yang di dalamnya seperti mini market, serta ada toilet umum di sebelahnya.
(Hanya Ilustrasi)
Motornya berhenti di depan. Widya, turun terlebih dahulu, menyuruh Anna untuk tetap berada di sisi motor karena dirinya akan memastikan gedung kecil pada pom bensin aman.
"Anna, kamu tetap di sini," kata Widya, dengan nada lembut, menatapnya dengan wajah tenang. "Aku harus memastikan, jika di dalam sana aman."
Anna, tampak ragu namun perlahan mengangguk. "Baiklah, Widya. Tapi, jika ada zombie di dalam sana... bagaimana?" sahut Anna, bertanya dengan wajah cemas.
Widya tersenyum tipis, sedikit membungkuk. "Itu tidak akan terjadi. Tapi, jika memang ada zombie lagi. Aku akan melawan mereka semua demi keselamatan kita," jawabnya, meyakinkan Anna.
Tanpa menunggu kata-kata Anna selanjutnya. Widya, mengelus kepala Anna, dan segera melangkah masuk ke gedung kecil, memeriksa sekeliling untuk memastikan tidak ada zombie atau manusia yang akan menjebak mereka lagi.
Sedangkan Anna, hanya bisa tersenyum, duduk di atas motor Harley, matanya melihat punggung Widya yang masuk ke dalam gedung kecil. "Semoga di dalam sana tidak ada zombie," gumam Anna, dengan nada lemah dan menahan rasa sakit, perih pada lengannya.
Sesampainya di dalam gedung kecil. Widya, melihat banyak makanan berserakan di lantai pada gedung itu yang seperti mini market. Selain makanan, ada beberapa obat-obatan terpajang di rak. Namun, di dalam tidak menemukan tanda-tanda zombie atau manusia lain yang menguasai tempat tersebut.
"Sepertinya aman," ujarnya. Melangkah keluar, kembali ke tempat Anna. Sementara itu, Anna tersenyum saat melihat Widya berlari ke arahnya.
Widya tiba dihadapan Anna kembali. Dengan nafas terengah-engah, dia mengajak Anna untuk segera masuk ke dalam sana. "Anna, di dalam sana aku sudah pastikan aman. Di sana juga ada beberapa makanan serta obat-obatan yang bisa kita gunakan," ujarnya.
Tanpa berpikir panjang, Anna turun dari motor Harley dan menarik lengan Widya. "Baiklah. Aku percaya perkataanmu," ucapnya dengan cepat. "Ayo, kita masuk ke dalam."
Sementara itu, Widya mengernyitkan dahinya, merasa heran dengan sikap Anna yang penakut tadi, seketika berubah dalam sekejap dan mencoba bertanya. "Tunggu sebentar!" serunya, dengan cepat Widya memegangi dan memeriksa dahi Anna. "Apa kamu sedang demam? Kenapa sikapmu berubah? Bukankah tadi.. kamu kelihatan seperti ketakutan, Anna?
Anna melihat ekspresi wajah Widya cemas dan bingung, hanya bisa tertawa geli. "Widya, aku tidak demam. Dan aku tidak berubah," jawabnya dengan cepat. "Aku sebenarnya masih takut, dan mengajakmu untuk segera masuk ke dalam karena aku takut ada zombie berkeliaran sekitar sini, tiba-tiba menyerang kita."
Widya mengangguk. "Baiklah. Aku paham maksudmu," ucapnya. "Ayo, masuk! Sebelum zombie di sekitar sini melihat keberadaan kita."
Mereka berjalan perlahan secara bersama menuju gedung kecil. Begitu masuk, mereka memutuskan untuk beristirahat sejenak. Anna duduk di sudut ruangan, menyenderkan tubuhnya ke dinding. Sementara itu, Widya mengambil beberapa makanan yang berserakan serta jenis obat yang diketahuinya.
Di dalam ruangan gedung itu, tidak terlalu gelap karena ada cahaya bulan yang masuk melalui dinding yang bolong, runtuh, serta setengah atapnya sudah copot.
Awalnya, Widya merasa heran dan bertanya-tanya di dalam hati: Bukankah pom bensin dan gedung ini terlihat terbengkalai sejak lama dari luar dan dalam? Tapi, kenapa ada beberapa makanan yang berserakan dan masih layak di konsumsi di tempat ini? Dan anehnya, kenapa ada beberapa obat-obatan tersedia di tempat ini? Siapa yang pernah singgah di tempat ini?
Pertanyaan itu yang terus terlintas saat dirinya hendak meraih sebuah obat di rak. Widya meraih obat anti biotik dan nyeri agar bisa meredakan rasa sakit pada luka tembakan di lengan Anna, namun ada salah satu tabung Vacutainer terselip di rak obat tersebut.
"Apa ini?" ucap Widya, bertanya sambil meraih tabung Vacutainer yang berisi cairan berwarna hijau.
Tapi, tiba-tiba Anna menghampirinya. "Widya!" serunya, melangkah lebih dekat. "Apa kamu perlu bantuan?" tanyanya, menawarkan bantuan karena melihat tangan Widya penuh dengan makanan dan memegang beberapa obatan.
Widya menggeleng. "Tidak perlu, Anna. Kamu, cukup duduk tenang di sini. Karena, aku akan segera memberikan kamu obat," jawabnya dengan nada rendah.
Anna tidak menanggapinya lagi, dan hanya memberi senyuman tipis. Lalu, berbalik ke tempat semula. Dengan cepat, Widya memasukan tabung Vacutainer itu ke saku celananya. Dan, mengikuti langkah Anna dari belakang.
Sesampainya di sudut ruangan, Widya memberikan Anna makanan, minuman, serta obat anti biotik dan nyeri. Tak lupa, dia menggantikan kain robekan bajunya di lengan Anna yang sudah penuh darah dengan perban yang juga tersedia di tempat tersebut.
"Maafkan aku, Anna. Karena diriku, kamu bisa terluka seperti ini," ucap Widya, dengan suara yang menahan tangisan. "Aku juga bersalah, karena tidak bisa menyelamatkan Alexa."
Anna terdiam sejenak. Dia berusaha menahan air matanya, mendengarkan ucapan Widya saat nama ibunya disebut. "Ini bukan salahmu, Widya," katanya menggenggam tangan Widya. Dengan cepat, dia melanjutkan perkataannya. "Ini sudah takdir, dan aku juga sudah berusaha mengikhlaskan kehilangan Ibu."
Widya menundukkan wajahnya. Buliran air matanya terus mengalir, berusaha menahan suara tangisannya. "Tapi, ini semua salahku. Ini salah keluargaku. Terutama, Ayahku," balasnya. "Ini pasti ulah Ayahku, karena ekperimen tak masuk akalnya ini di ciptakan tanpa sepengatahuan aku."
Seketika dia mengangkat wajahnya, menatap Anna dan melanjutkan perkataannya. "Alexa, pernah menceritakan kepadaku. Jika, ayahku dulu melakukan eksperimen untuk menghidupkan aku kembali akibat penyakit langka yang aku alami. Ekperimen itu berhasil," ujarnya. "Namun, kemungkinan Ayahku juga melakukan eksperimen yang sama kepada Ibuku yang sudah dinyatakan mati pada satu tahun lalu. Dan ekperimen itu gagal, Anna!"
Anna mendengar itu terdiam sejenak,. mencoba mencerna kalimat yang baru ri ucapkan Widya. "Apa maksudmu? Aku sama sekali tidak mengerti, Widya?" tanyanya lagi.
Widya menghela nafas panjang, memejamkan matanya sejenak, dan menyeka air matanya. "Aku Juga tidak mengerti, Anna. Aku juga tidak terlalu pasti, soal ekperimen itu," jawabnya dengan nada parau. "Tapi, saat aku ke laboratorium perusahaan Reviva Labs milik Ayahku. Aku melihat Ibuku, hidup kembali namun dengan wujud yang berbeda seperti zombie yang sudah kita temui."
Anna, langsung menutup mulutnya dan sulit mempercayai cerita Widya. "Jadi, ibumu adalah makhluk pertama yang berubah jadi zombie?" tanyanya, dengan terkejut.
Widya mengangguk pelan. "Kemungkinan seperti itu, Anna. Aku juga tidak punya bukti, apakah ini benar atau tidak," jawabnya. "Tapi, jika itu benar... aku akan menyalahkan diriku seumur hidup."
"Tidak!" sahut Anna dengan suara lantang. Dengan gerakan pelan, lembut, tangannya meraih pipi Widya, menatap matanya dengan sangat dalam. "Semua ini bukan salahmu. Aku dan Ibuku, berterimakasih kepadamu karena telah menyelamatkan kami saat itu. Walau... Ibuku, harus menjadi makhluk yang sama seperti Ibumu."
Mendengarkan itu, air kata mata Widya mengalir lagi dan lebih deras. Dia memeluk tubuh Anna dengan sangat erat, dan berkata. "Maafkan aku, Anna. Kamu masih terlalu kecil untuk kehilangan seorang ibu, dan aku berjanji akan merawatmu, menjagamu, dan membawamu tempat yang indah tanpa makhluk seperti mereka."
Anna ikut menangis, terharu, memeluk Widya dengan erat. Dia hanya bisa merasakan kehangatan dari pelukan Widya. "Iya. Asal kamu akan selalu bersamaku. Karena aku tidak punya siapa-siapa selain kamu, Widya," katanya, merasakan kenyaman setelah mengenal Widya lebih dekat.
Mereka pun, melepaskan pelukannya dan tersenyum sambil menyeka air mata masing-masing. Tanpa penawaran, mereka berdua mulai mengisi perut kosong yang sudah berbunyi dengan makanan dan minuman agar tenaganya pulih kembali.
Namun saat itu, Widya merasakan kepalanya pusing. Dia menghentikan suapannya, meminum seteguk air mineral. Lalu, berdiri sejenak menatap ke arah toilet yang ada di di luar gedung tersebut.
"Ada apa?" tanya Anna, dengan mulut yang penuh makanan. Widya menggeleng lemah, memberi isyarat kepada Anna untuk tetap di dalam gedung ini. "Anna, kamu tetap disini. Aku harus ke toilet sebentar," katanya.
Anna mengangguk pelan, namun terlihat ragu. "Jangan lama. Aku takut sendirian disini," balasnya.
Tanpa berkata apa-apa, Widya melangkahkan kakinya ke toilet umum yang ada di luar, sebelah gedung kecil pada pom bensin terbengkalai.
Sesampainya di pintu toilet. Kepalanya semakin terasa pusing, keringat dingin mulai membahasi pelipisnya. Dia meletakkan tangannya di gagang pintu, dan perlahan pintu itu terbuka.
Namun, tubuhnya terasa lemah. Mulai menutup pintu dengan perlahan, dan meraba-raba dinding toilet untuk menyeimbangkan tubuhnya. "Ada apa dengan diriku?" gumamnya, bertanya di dalam hati.
Tanpa disadarinya. Darah mulai mengalir deras dari hidungnya, menetes ke lantai. Denyut, pusing sangat terasa menjalar di kepalanya semakin berat. Penglihatannya mulai berkunang-kunang, namun matanya menangkap sebuah cermin yang ada di wastafel pada sudut toilet.
Dengan langkah sempoyongan, dia mencoba melangkah ke arah wastafel. Namun, tubuhnya terasa lemah, terjatuh, dan darah dari hidung terus mengalir dan menggenang di lantai.
Widya, mencoba bangkit namun gagal. Dan tanpa pikir panjang, dia menyeretkan tubuhnya, berusaha untuk duduk, dan menyandarkan diri pada dinding toilet.
"Kenapa? Kenapa tubuhku bisa selemah ini?" tanyanya dengan suara terbata-bata. Tanpa menunggu lama, dia mencoba berdiri dengan sisa tenaganya. Tangannya memegangi dinding, melanjutkan langkahnya yang semakin sempoyongan.
Widya akhirnya mencapai wastafel, dan terus menggenggam wastafel, mencoba untuk tetap berdiri tegak. Dia segera menyeka darah yang menetes dari hidungnya. Saat matanya terangkat, bertemu dengan cermin. Widya terkejut, melihat wujud wajahnya berubah menyeramkan.
Kulit wajahnya mulai pucat, warna bola matanya yang biasanya coklat gelap kini telah sepenuhnya berubah menjadi hitam pekat, kosong. Urat-urat biru-ungu berkelok di sekitar wajahnya, dan tiba-tiba Widya merasakan sesuatu yang bergerak dalam dirinya. Dia mengerang, menatap ke cermin, melirik ke sebuah gigitan pada bahunya kini tampak hitam seperti jaringan kulit yang mulai membusuk.
Dengan gemetar, Widya, perlahan menurunkan pandangannya ke kedua lengannya. Terkejut, saat melihat urat-urat yang sama muncul, menonjol ke permukaan kulitnya, membentuk pola yang menyeramkan pada seluruh tubuhnya.
Panik, gelisah, dia menggelengkan kepalanya sambil berteriak histeris. "Tidak!" katanya. "Tidak... ini tidak mungkin..." pikirnya.
Widya melangkah mundur, meraba wajah, tangan dan seluruh tubuhnya dengan bergetar. Namun perlahan, gerakan aneh dalam tubuhnya semakin menjalar ke otak. Dan membuat, kepalanya semakin pusing, pandangannya semakin buram.
Sementara itu, di luar pintu toilet. Anna sudah berdiri, menggedor pintu, memanggil namanya dengan cemas karena sejak tadi Widya tak kunjung kembali ke gedung tersebut. "Widya, apa kamu baik-baik saja?" tanyanya mulai merasa khawatir karena sudah cukup lama Widya tidak keluar.
Dengan gerakan pelan, dan mulai kaku. Widya membalikkan punggungnya, menatap ke arah pintu. Dia mencoba melangkah ke pintu, namun tubuhnya terhuyung dan kembali terjatuh ke lantai toilet.
Namun, Anna terus mengetuk pintu dari luar dengan sangat keras. "Widya, jawab aku!" serunya. Sementara itu, wajah Widya menyentuh permukaan dingin. Berusaha mengangkat tubuhnya namun gerakannya semakin kaku, dan pendengarnya kini mendengarkan suara Anna yang semakin terputus-putus.
Widya tak mampu merespons. Dengan frustasi, dan sisa tenaganya mencoba mengangkat tangan, berusaha untuk memanggil nama Anna, namun suaranya terdengar serak dan hampir tak terdengar. "Anna... tolong aku... aku... sudah tidak bisa... bertahan lagi..."
Anna yang mendengar suara Widya terdengar samar-samar memanggil namanya. Segera menggedor-gedor pintu dengan lebih keras, berteriak cemas. "Widya! Buka! Tolong, buka pintunya!" serunya, panik dan sangat khawatir.
Namun, kini tidak ada suara dan respon dari dalam toilet. Karena, tubuh Widya telah terkulai di lantai toilet, terperangkap dalam tubuh yang sudah berubah menjadi zombie.
Btw FIGHTING!!