Calon suaminya direbut oleh sang kakak kandung. Ayahnya berselingkuh hingga menyebabkan ibunya lumpuh. Kejadian menyakitkan itu membuat Zara tidak lagi percaya pada cinta. Semua pria adalah brengsek di mata gadis itu.
Zara bertekad tidak ingin menjalin hubungan dengan pria mana pun, tetapi sang oma malah meminta gadis itu untuk menikah dengan dosen killernya di kampus.
Awalnya, Zara berpikir cinta tak akan hadir dalam rumah tangga tersebut. Ia seakan membuat pembatas antara dirinya dan sang suami yang mencintainya, bahkan sejak ia remaja. Namun, ketika Alif pergi jauh, barulah Zara sadar bahwa dia tidak sanggup hidup tanpa cinta pria itu.
Akan tetapi, cinta yang baru mekar tersebut kembali dihempas oleh bayang-bayang ketakutan. Ya, ketakutan akan sebuah pengkhianatan ketika sang kakak kembali hadir di tengah rumah tangganya.
Di antara cinta dan trauma, kesetiaan dan perselingkuhan, Zara berjuang untuk bahagia. Bisakah ia menemui akhir cerita seperti harapannya itu?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon UQies, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
EPISODE #10
Naufal Wijaya, pria berusia 24 tahun yang baru saja menyelesaikan pendidikan magister di bidang farmasi klinik. Saat ini dia juga baru saja diterima menjadi dosen farmasi di Universitas Aksara seperti Anda.
Dia sudah mengenal Nona Zara sejak dua tahun lalu. Dia juga sering mengantar jemput Nona Zara kuliah. Menurut orang di sekitarnya, dia menyukai Nona Zara, tetapi hubungannya dengan Nona Zara tak ada yang tahu.
Alif mengepalkan tangannya usai membaca pesan singkat yang ia terima dari Joe-asisten pribadinya. "Jadi pria malam itu adalah Naufal," ucapnya sambil mengingat beberapa kali ia melihat Naufal mendekati Zara sebelumnya, termasuk pada hari pertama pernikahan mereka.
Saat ini, Alif sedang berada di kampus, begitu pun dengan Zara yang memiliki sedikit urusan bersama kedua sahabatnya. Namun, mengetahui bahwa pria yang mengantar sang istri pulang kemarin adalah Naufal yang kini juga sudah menjadi di dosen di kampus yang sama, hatinya mulai tidak tenang.
"Aku harus menghubungi Jasmine. Mulai saat ini dia tidak boleh lagi kerja. Naufal akan selalu cari kesempatan mendekatinya."
.
.
.
Sementara itu, Zara yang saat ini sedang berada di kantin kampus terkejut ketika melihat nomor sang suami sedang meneleponnya. Matanya melirik ke dua sahabatnya secara bergantian, lalu kembali menatap layar ponsel.
"Siapa yang telepon, Zar? Kenapa kamu tak angkat?" tanya Akira ketika melihat Zara tampak bingung menatap ponselnya yang sejak tadi berbunyi.
"Kalau kamu tak mau angkat, biar aku yang angkat," celetuk Ilona hendak merampas ponsel Zara, tetapi ia kalah cepat dari si empunya ponsel yang langsung pergi mencari tempat aman untuk menerima telepon.
Raut wajah Zara tampak terkejut kala mengetahui bahwa sang suami memintanya untuk berhenti bekerja. Awalnya, Zara sedikit keberatan karena ia butuh uang untuk membiayai kuliah serta kebutuhan nenek dan ibunya. Namun, mendengar perkataan sang suami yang siap membiayai semuanya karena sejatinya pria itulah yang kini menjadi kepala keluarga, hati Zara pun tenang dan lega.
Usai mengakhiri panggilan tersebut, Zara kembali ke tempat ia berkumpul di kantin tadi bersama dua sahabatnya. Sebenarnya hari ini, Zara, Akira, dan Ilona ingin mengurus pembayaran untuk pendaftaran KKP jurusannya. Namun, karena yang bertugas di bagian pembayaran belum datang karena ada sedikit kendala, alhasil mereka memilih menikmati bakso bersama sambil menunggu.
Zara kembali memakan baksonya sambil berbincang dengan kedua sahabatnya yang tak pernah kehabisan cerita. Sesekali mereka tertawa dan sesekali mereka memasang wajah serius. Namun, perbincangan mereka seketika terhenti manakala Ilona tak sengaja melirik ke arah empat pria tampan yang baru saja duduk di meja tidak jauh dari tempat mereka.
“Kenapa matamu, Lon?” tanya Akira membuat Zara ikut menatapnya sambil menyeruput susu rasa buah kesukaannya.
Tanpa langsung menjawab, Ilona mendekat ke arah dua sahabatnya, lalu berbisik, “Ehh, ehh, lihat deh, di meja nomor tiga itu ada cowok ganteng banget, loh! Gimana kalau kita gabung? Siapa tahu jodoh ye, 'kan? Lumayan, kalian masing-masing satu, aku dua deh, gapapa. Hitung-hitung berhadiah gimana?”
Mata Ilona berkedip-kedip sambil menampilkan cengiran jahil, sementara Akira langsung menatap kesal ke arahnya.
“Dih, kau kata ciki zeky, kau kocok-kocok ketahuan hadiahnya . Gila!” seru Akira menoel kepala Ilona yang mulai korslet.
“Ya, nggak papa, 'kan? Namanya juga orang usaha. Kalau dapat dua lumayan buat simpenan satunya. Masa iya aku terus yang jadi simpanan … awsssh, apaan sih, Zar. Sakit tahu!”
Zara langsung menyentil dahi Ilona. Bukan tanpa alasan, suara Ilona yang lumayan cempreng terdengar begitu nyaring di seluruh penjuru kantin. Belum lagi pembahasannya yang sedikit di luar nalar. Bahkan, Keempat pria tadi pun ikut tertawa mendengar kehaluan sang sahabat.
"Heh? Kamu jadi simpenan, Lon?" tanya Akira tidak percaya.
"Iya, simpenan kalian ... Awwsh, sakit woy!" protes Ilona lagi karena Akira menyentil dahinya. "Nah, ini, jadi simpenan kalian itu sengsara, bisa-bisa dahiku makin kebar karena kalian. Mending memiliki simpenan dua atau tiga cowok, sejahtera hidupku."
“Sejahtera palamu peang! Kamu punya pasangan satu aja bikin pusing. Tidak tidak, bahkan tak memiliki pasangan pun hidup sudah rumit, ini lagi mau punya tiga. Ingat! Hidup ini tak seindah cerita novel!” sahut Zara mengingat nasibnya saat ini.
“Cihhh, sirik aja jomblo!” cibir Ilona kepada dua sahabatnya.
“Jomblo bilang jomblo, malu!” balas Akira kembali mencibir hingga terjadi perdebatan kecil di antara Ilona dan Akira dan membuat suara mereka semakin berisik.
Zara yang menyadari semua orang di kantin kini sedang menatap mereka langsung menyumpal mulut kedua sahabatnya dengan bakso tenes utuh. Benar saja mereka langsung diam mengunyah bakso itu walau sedikit kesulitan.
Belum sempat mereka menelan baksonya dengan baik, suara deringan ponsel kembali membuat mereka saling menatap. Kali ini giliran ponsel Akira yang berbunyi. Usai menelan baksonya, ia langsung menerima panggilan tersebut. Tampak beberapa saat Akira kembali dalam mode serius berbicara dengan seseorang melalui ponselnya.
Beberapa saat kemudian, Akira menatap Zara dan Ilona dengan wajah serius. "Kalian berdua harus temani aku ke ruangan dosen sekarang!"
"Ngapain? Jangan bilang kau mau cari jodoh di sana ...."
"Ish, mulutmu itu, loh, Lon. Nanti ada dosen yang dengar gimana?" kata Zara menegur sahabatnya.
"Canda, Zar, canda." Ilona hanya tertawa pelan menampilkan deretan giginya yang rapi, sementara Zara maupun Akira hanya bisa geleng-geleng kepala melihat sikap absurdnya.
"Ayo jalan aja! nanti aku jelasin." Mereka bertiga pun langsung menyelesaikan makannya, lalu pergi menuju ke ruangan para dosen. "Jadi, aku diminta sama Paman Sukro buat ambilin berkas di mejanya terus kasi ke Pak Alif," lanjutnya saat mereka telah tiba di ruangan dosen.
"Pak Alif?" kata Zara mengulanginya karena terkejut.
"Iya, si SBK," jawab Akira berbisik. "Ayo masuk!"
Meski terasa berat untuk bertemu dengan sang suami di kampus, Zara tak memiliki pilihan lain dan pada akhirnya ia hanya pasrah mengikuti kedua sahabatnya.
Dengan menjaga sopan-santun dan mengucapkan salam, ketiga wanita itu masuk dan langsung menuju ke ruang kerja paman Akira yang juga adalah dosen. Setelah itu, mereka langsung melanjutkan perjalanan ke ruangan Alif yang berada di sebelahnya. Sayangnya, ruangan pria itu kosong. Dosen lain yang ada di sana mengatakan bahwa Alif telah pulang lebih dulu karena ada urusan penting.
"Simpan aja di mejanya, Kir," ucap Zara memberi saran.
"Nggak bisa, Zar. Kata Paman, berkas ini harus sampai ke Pak Alif hari ini," ujar Akira bingung.
"Ya, udah, langsung ke rumahnya aja." Kali ini giliran Ilona yang memberikan saran.
"A-apa?"
.
.
#bersambung#