Ayla tidak pernah menyangka bahwa hidupnya akan berubah karena sebuah kalung tua yang dilihatnya di etalase toko barang antik di ujung kota. Kalung itu berpendar samar, seolah memancarkan sinar dari dalam. Mata Ayla tertarik pada kilauannya, dan tanpa sadar ia merapatkan tubuhnya ke kaca etalase, tangannya terulur dengan jari-jari menyentuh permukaan kaca yang dingin.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Worldnamic, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 16: Dilema di Hati
Langit senja memerah saat Ayla kembali ke istana, langkahnya terasa lebih berat dari sebelumnya. Setiap inci perjalanan membawa perasaan yang semakin membebani hatinya. Ia tahu, pertarungan dengan Noir akan segera mencapai puncaknya, namun kekhawatirannya yang lebih besar bukan hanya soal ancaman yang akan datang. Ketika ia menatap Kael dan Arlen yang berjalan di belakangnya, ia merasa ada sesuatu yang tidak bisa ia hindari—sesuatu yang berdiam di dalam hatinya, sesuatu yang terus mengusiknya.
Kael berjalan dengan keheningan yang dalam, ekspresinya keras namun penuh perhatian. Sesekali ia memeriksa Ayla, memastikan ia tidak terlalu lelah setelah perjalanan panjang mereka. Arlen, meskipun lebih tenang dan terkesan misterius, tidak bisa menyembunyikan tatapan tajamnya yang tertuju pada Ayla. Ada ketegangan yang tak terucapkan antara keduanya, ketegangan yang semakin jelas dirasakan Ayla.
“Malam ini kita harus merencanakan langkah selanjutnya,” kata Kael saat mereka mencapai balkon istana, tempat yang biasa mereka gunakan untuk berbicara lebih pribadi. “Ayla, apa yang kau rasakan tentang rencana Noir?”
Ayla menatap ke kejauhan, tubuhnya terasa lelah tetapi pikirannya terus berputar. “Aku merasa... dia tidak akan menyerah. Kita hanya melihat sebagian kecil dari apa yang dia rencanakan.”
Arlen yang berdiri agak jauh dari mereka mengangguk setuju. “Noir selalu punya rencana cadangan. Dia tahu bagaimana mengecoh kita.”
Kael mengalihkan pandangannya kepada Arlen, dan Ayla bisa merasakan ketegangan di antara keduanya. Arlen, meskipun bersikap tenang, jelas memiliki agenda sendiri. Ayla merasa seperti berada di tengah-tengah dua dunia yang saling bertentangan—Kael yang sudah lama ia percayai, dan Arlen yang membawa misteri dan daya tarik yang sulit diungkapkan.
“Ayla,” kata Kael lembut, matanya menatapnya dengan penuh perhatian. “Aku tahu ini bukan waktu yang mudah untukmu, tapi aku ingin kau tahu satu hal—apa pun yang terjadi, aku akan selalu melindungimu.”
Ayla merasa jantungnya berdegup lebih cepat. Kata-kata itu menenangkan sekaligus membangkitkan perasaan yang lebih dalam dari yang ia inginkan. Kael selalu ada untuknya, sejak pertama kali mereka bertemu hingga saat ini. Namun, di sisi lain, ada Arlen, yang meskipun lebih dingin, memberikan tantangan yang tidak bisa ia abaikan. Setiap tatapan Arlen, setiap perkataannya, seakan mengundang Ayla untuk lebih mendalami misteri yang menyelubungi dirinya.
“Aku tahu, Kael,” jawab Ayla dengan suara yang hampir tak terdengar, matanya bertemu dengan mata Kael yang penuh keteguhan. “Dan aku akan berjuang bersama-sama denganmu. Aku tidak akan mundur.”
Namun, sebelum Kael bisa memberikan respons, Arlen maju, berdiri di samping mereka. “Kael, Ayla... mungkin kita juga harus mulai memikirkan kemungkinan lain. Noir bukan satu-satunya ancaman yang kita hadapi. Kita harus lebih waspada.”
Ayla melihat Arlen, matanya tak bisa lepas dari ketajaman tatapannya. “Apa maksudmu?”
Arlen menarik napas panjang, seolah memikirkan kata-katanya dengan hati-hati. “Aku tidak ingin menambah bebanmu, Ayla. Tapi kita semua tahu, apa yang ada di hati seseorang bisa mempengaruhi pertempuran ini. Ketika kita tidak tahu apa yang kita inginkan, kita justru bisa menjadi senjata yang lebih lemah. Dan aku tidak ingin melihatmu terjebak dalam dilema yang bisa membahayakanmu.”
Ayla terdiam, kata-kata Arlen seperti pisau yang menusuk langsung ke jantungnya. Ia sudah merasakannya, keraguan yang tumbuh dalam dirinya. Dilema antara Kael dan Arlen bukan hanya sekadar tentang pilihan hati. Ini adalah sesuatu yang jauh lebih dalam. Ayla merasa seolah-olah harus memilih antara dua dunia, dua cinta yang berbeda, yang masing-masing menawarkan hal yang berbeda pula.
Kael melangkah lebih dekat, membelai lembut rambut Ayla yang tertiup angin. “Ayla, kau tidak perlu memilih sekarang. Aku hanya ingin kau tahu bahwa aku di sini, dan aku akan selalu ada untukmu.”
Namun, Arlen menatap mereka dengan pandangan yang sulit diartikan. “Terkadang, kita tidak bisa menunggu sampai semuanya jelas. Terkadang, kita harus mengikuti apa yang hati katakan.”
Ayla merasa terjebak, hatinya berdebar kencang. Kael dan Arlen, keduanya adalah pria yang berbeda, masing-masing membawa dunia mereka sendiri. Dan sementara ancaman Noir terus mendekat, Ayla menyadari bahwa pertempuran yang lebih besar mungkin bukan hanya melawan kegelapan yang mengintai, tetapi juga melawan perasaan yang membingungkan di dalam dirinya sendiri.
Malam semakin larut, dan ketiganya berdiri di balkon, tenggelam dalam kesunyian yang penuh ketegangan. Ayla tahu, perjalanan ini belum berakhir, dan keputusan yang harus ia buat akan membawa dampak yang lebih besar daripada yang bisa ia bayangkan.
Dengan satu pandangan terakhir kepada keduanya, Ayla memutuskan untuk tidak terburu-buru membuat pilihan. Namun, dalam hatinya, ia tahu satu hal—apapun yang terjadi, ia harus melawan kegelapan yang ada dalam dirinya, dan juga di luar dirinya.
Keheningan malam semakin menebal di antara mereka bertiga. Ayla merasa sebuah kehampaan yang mendalam, seolah dunia sekelilingnya semakin jauh dan hanya menyisakan ketegangan yang tidak bisa ia lepaskan. Kael dan Arlen, meskipun berdiri begitu dekat, tampaknya berada dalam dunia mereka masing-masing. Tidak ada kata-kata yang dapat meredakan kecanggungan ini.
Ayla menarik napas panjang, mencoba menenangkan diri. Malam ini, selain ancaman Noir yang semakin nyata, ada kekosongan dalam hatinya yang lebih sulit untuk dihadapi. Ia merasa bingung, terjebak dalam dua pilihan yang datang dari dua hati yang berbeda. Kael yang setia, yang selalu ada untuknya sejak awal, dan Arlen, dengan tatapan penuh misteri dan keteguhan yang membuat Ayla merasa tertarik pada dunia yang lebih luas daripada yang pernah ia bayangkan.
“Ayla,” suara Kael memecah keheningan, lembut namun penuh makna. “Apa pun yang terjadi, kita akan menghadapi semuanya bersama. Aku tidak ingin kau merasa sendirian dalam ini.”
Ayla menoleh ke arahnya, bertemu dengan mata Kael yang penuh perhatian. Ada sesuatu yang tenang dalam tatapan itu, seakan Kael sudah menerima semua yang terjadi antara mereka, tanpa mengharapkan lebih. Namun, Ayla tahu bahwa itu hanya salah satu sisi dari cerita. Ada bagian lain dalam hatinya yang masih menggantung, tidak terjawab.
“Aku tahu, Kael,” jawab Ayla pelan, suaranya hampir terbungkam oleh emosi yang membuncah di dadanya. “Tapi... aku merasa ada sesuatu yang hilang dalam diriku. Sesuatu yang belum aku temukan.”
Arlen, yang sejak tadi diam, akhirnya melangkah maju. “Kadang kita harus berhenti mencari jawaban dan membiarkan hati kita berbicara, Ayla.” Ucapannya terdengar dalam dan misterius. “Mungkin jawabanmu sudah ada dalam dirimu sendiri, hanya saja kau takut untuk menemukannya.”
Ayla merasakan guncangan di dalam dirinya, sebuah perasaan yang sulit dijelaskan. Arlen berbicara dengan ketegasan yang berbeda dari Kael. Ia menawarkan perspektif yang baru, cara pandang yang lebih luas, yang meskipun menantang, terasa lebih menggugah hatinya. Arlen bukan hanya menawarkan dukungan, tapi juga tantangan. Sesuatu yang Kael, meskipun selalu mendukung dan menjaga, tidak pernah benar-benar hadirkan.
“Aku tidak tahu apakah aku bisa menemukan jawabannya sendiri, Arlen,” ujar Ayla, suaranya semakin serak. “Aku hanya tahu, aku tidak ingin ada yang terluka.”
Kael menatap Ayla, sorot mata penuh dengan perasaan yang sulit diungkapkan. “Aku mengerti, Ayla. Dan aku juga tidak ingin melihatmu terluka. Tapi kita semua punya peran dalam hal ini. Ini bukan tentang siapa yang lebih baik, atau siapa yang harus kau pilih. Ini tentang kita semua berjuang bersama.”
Ayla merasa hatinya semakin berat. Kael dan Arlen, keduanya menawarkan dunia mereka sendiri, dunia yang berbeda dalam banyak hal. Kael, yang telah ada sejak awal, dengan cintanya yang tulus dan pengorbanannya yang tidak terhitung. Arlen, yang meskipun misterius, membangkitkan rasa ingin tahunya dengan cara yang belum pernah ia rasakan sebelumnya.
Setelah beberapa detik penuh keheningan, Ayla akhirnya berbisik, “Aku merasa seperti terjebak di antara dua dunia yang tidak bisa kubawa bersamaan.”
Kael mendekat sedikit, dengan tatapan lembut namun penuh keteguhan. “Ayla, kau tidak terjebak. Aku percaya padamu. Kita akan melewati semua ini, bersama-sama.”
Namun, sebelum Ayla bisa memberikan respons, Arlen berbicara lagi, suaranya lebih rendah dan penuh penekanan. “Tidak ada yang terjebak, Ayla. Kau hanya perlu mendengarkan suara hatimu dan mengikuti jalanmu sendiri, meskipun itu berarti kita harus berpisah.”
Ayla terdiam, perasaan yang tertahan kini mulai meluap. Mungkin Arlen benar, mungkin jalan yang harus ia pilih bukanlah jalan yang mudah, dan mungkin itu berarti ia harus membuat keputusan yang akan mengubah segalanya.
Namun, saat pandangannya beralih antara Kael dan Arlen, Ayla menyadari sesuatu yang lebih penting daripada perasaannya sendiri. Ancaman Noir semakin dekat, dan ia tidak bisa membiarkan perasaan ini menghalanginya untuk bertindak. Ini bukan tentang memilih antara dua pria, ini tentang bagaimana ia bisa melindungi dunia yang ia cintai.
Ayla mengangkat kepala, matanya bersinar dengan keteguhan yang baru. “Aku tahu apa yang harus aku lakukan.”
Kael dan Arlen menatapnya dengan perhatian yang mendalam. Ayla tersenyum kecil, meskipun hatinya masih ragu. “Aku akan melawan Noir, untuk Eradel, untuk kita semua. Dan apapun yang terjadi, aku akan menghadapi jalan ini dengan kekuatan yang ada dalam diriku.”
Dengan kata-kata itu, Ayla merasa beban di pundaknya sedikit berkurang. Keputusan yang sulit masih harus ia buat, tetapi untuk saat ini, ia tahu bahwa ia tidak sendirian. Ia memiliki Kael dan Arlen, meskipun keduanya berjalan di jalan yang berbeda. Namun, apapun yang terjadi, Ayla sudah memutuskan untuk maju—untuk melindungi dunia yang ia cintai, dan untuk menemukan jalannya sendiri.
Ketiganya berdiri bersama di balkon, menatap langit yang semakin gelap, tanda bahwa malam akan segera datang. Perjalanan mereka masih panjang, dan ancaman Noir semakin nyata, tetapi Ayla tahu satu hal—ia tidak akan pernah menyerah.