NovelToon NovelToon
Jejak Langkah Menuju Dunia

Jejak Langkah Menuju Dunia

Status: sedang berlangsung
Genre:CEO / Kehidupan di Sekolah/Kampus
Popularitas:1.5k
Nilai: 5
Nama Author: avocado lush

Dina, seorang pelajar dari kota kecil dengan mimpi besar, memiliki hasrat yang kuat untuk menjelajahi dunia dan mengembangkan diri. Ketika sekolahnya mengadakan lomba sains tingkat provinsi, Dina melihat ini sebagai kesempatan emas untuk meraih impian terbesarnya: mendapatkan beasiswa dan melanjutkan studi ke luar negeri. Meskipun berasal dari keluarga sederhana dan di hadapkan pada saingan-saingan dari sekolah sekolah-sekolah elit, Dina tak gentar. Dengan proyek ilmiah tentang energi terbarukan yang dia kembangkan dengan penuh dedikasi, Dina berjuang keras melampaui batas kemampuannya

Namun, perjalanan menuju kemenangan tidaklah mudah. Dina Harus menghadapi keraguan, kegugupan, dan ketidakpastian tentang masa depannya. Dengan dukungan penuh dari keluarganya yang sederhana namun penuh kasih sayang, Dina berusaha membuktikan bahwa kerja keras dan tekad mampu membuka pintu ke peluang yang tak terbayangkan.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon avocado lush, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Langkah di Negeri Asing

Singapura menyambut Dina dengan hiruk-pikuk kota modern yang berbeda jauh dari keheningan Jatiroto. Bangunan pencakar langit menjulang tinggi, memantulkan sinar matahari ke segala arah, dan suasana bandara yang ramai membuat Dina merasa seperti memasuki dunia lain. Ini adalah pertama kalinya ia bepergian ke luar negeri, dan meskipun ia berusaha tetap tenang, ada rasa gugup yang tak bisa ia abaikan.

“Fokus, Dina,” ia berbisik pada dirinya sendiri saat melangkah keluar dari bandara, menyeret koper kecilnya.

Pak Bimo, mentor yang selalu mendukung proyeknya, sudah menunggu di luar. Ia melambaikan tangan sambil tersenyum lebar.

“Selamat datang, Dina!” sapa Pak Bimo.

Dina membalas senyum itu, merasa lega melihat wajah yang familiar di tengah kota yang asing.

“Kamu sudah siap untuk presentasi besok?” tanya Pak Bimo sambil membantu membawa kopernya ke mobil.

Dina mengangguk meskipun ada sedikit keraguan di hatinya. “Aku sudah mempersiapkan semuanya, Pak. Tapi jujur, rasanya sedikit menakutkan. Ini forum besar, dan aku tidak ingin mengecewakan siapa pun.”

Pak Bimo tertawa kecil. “Itu wajar. Tapi ingat, Dina, kamu ada di sini karena kerja kerasmu. Jangan terlalu banyak memikirkan apa yang bisa salah. Fokus saja pada apa yang ingin kamu sampaikan.”

 

Esoknya, Dina berdiri di belakang panggung sebuah auditorium besar. Para peserta forum sudah memenuhi ruangan, kebanyakan dari mereka adalah pemimpin perusahaan, ilmuwan, dan aktivis energi terbarukan dari berbagai negara. Dina merasa kecil di tengah kerumunan itu, tetapi ia mengingat kata-kata Pak Bimo.

Ketika namanya dipanggil, Dina melangkah ke atas panggung dengan penuh keyakinan. Ia memulai presentasinya dengan bercerita tentang Jatiroto, sebuah desa kecil yang berhasil membuktikan bahwa energi angin bisa mengubah hidup. Dengan gambar, data, dan kisah nyata, Dina memaparkan bagaimana kincir angin pertama mereka tidak hanya memberikan listrik, tetapi juga harapan dan kesempatan baru bagi warganya.

“Kami percaya bahwa teknologi bukan hanya milik kota besar atau negara maju,” kata Dina, menutup presentasinya. “Teknologi adalah milik semua orang, termasuk mereka yang tinggal di desa kecil seperti Jatiroto. Kami hanya perlu angin—dan sedikit keberanian untuk memulai.”

Ruangan itu sunyi sejenak sebelum tepuk tangan bergemuruh memenuhi auditorium. Dina menarik napas lega, merasa seperti beban besar telah terangkat dari pundaknya.

 

Setelah presentasi, Dina dikelilingi oleh beberapa peserta yang tertarik dengan proyeknya. Mereka bertanya tentang teknis kincir angin, keberlanjutan proyek, dan bahkan menawarkan kolaborasi.

Namun, di antara kerumunan itu, seorang pria paruh baya dengan jas rapi mendekatinya. Ia memperkenalkan diri sebagai Mr. Anderson, seorang pengusaha dari perusahaan energi besar di Eropa.

“Ms. Dina, presentasi Anda sangat menginspirasi,” katanya dengan aksen Inggris yang kental. “Saya tertarik untuk mendukung proyek Anda, tetapi saya ingin mendengar lebih banyak tentang rencana ekspansi Anda.”

Dina dengan tenang menjelaskan visinya untuk memperluas jaringan kincir angin ke desa-desa lain, melibatkan komunitas lokal dalam setiap tahapnya, dan membangun sistem yang berkelanjutan. Mr. Anderson mendengarkan dengan penuh perhatian, lalu mengangguk puas.

“Kami mungkin bisa bekerja sama,” katanya akhirnya. “Saya akan menghubungi tim saya untuk menyusun rencana lebih lanjut. Terima kasih sudah berbagi kisah luar biasa ini.”

 

Malam itu, Dina duduk di balkon kamar hotelnya, menatap pemandangan kota yang dipenuhi cahaya. Ia merasa lega sekaligus terinspirasi. Perjalanan ini bukan hanya tentang memperkenalkan proyeknya ke dunia, tetapi juga tentang membuktikan pada dirinya sendiri bahwa ia mampu menghadapi tantangan apa pun.

Tiba-tiba ponselnya berbunyi. Itu pesan dari Mira.

“Din, gimana presentasimu? Aku yakin kamu bikin semua orang kagum.”

Dina tersenyum, lalu mengetik balasan.

“Berjalan lancar, Ra. Aku nggak akan sampai sejauh ini tanpa kamu.”

Beberapa detik kemudian, pesan lain masuk.

“Aku bangga banget sama kamu, Din. Pulang cepat, ya. Semua di Jatiroto kangen kamu.”

Dina menutup ponselnya dengan senyum yang lebih lebar. Ia tahu, meskipun ia berada jauh dari rumah, Jatiroto akan selalu menjadi tempat ia kembali.

 

Ketika hari terakhir forum tiba, Dina menerima penghargaan khusus untuk inovasinya di bidang energi terbarukan. Dalam pidato singkatnya, ia mengungkapkan harapannya agar proyek Angin Desa bisa menjadi inspirasi bagi lebih banyak komunitas untuk memanfaatkan sumber daya yang mereka miliki.

Di pesawat dalam perjalanan pulang, Dina merenungkan semua yang telah ia lalui. Tantangan masih menunggu di depan, tetapi ia merasa lebih siap dari sebelumnya.

Langit di luar tampak cerah, dan angin yang mendorong pesawat itu mengingatkannya pada kincir-kincir yang terus berputar di Jatiroto. Dina tahu, perjalanan ini baru saja dimulai.

 

Kereta berhenti di stasiun kecil Jatiroto tepat menjelang senja. Dina turun dengan langkah mantap, koper kecil di tangan, sementara angin lembut menerpa wajahnya. Di peron, Mira bersama beberapa warga desa menunggu dengan wajah penuh antusiasme. Mereka melambai dengan semangat, membawa papan bertuliskan, “Selamat Datang, Dina!”

“Kamu bikin kita bangga, Din!” teriak Pak Karim dari belakang kerumunan.

Dina tersenyum lebar, rasa lelah dari perjalanan panjangnya seolah lenyap. Ia memeluk Mira erat, lalu mengangguk kepada semua warga yang berkumpul.

“Terima kasih sudah menyambutku. Aku rindu kalian semua,” katanya dengan suara yang sedikit bergetar.

“Kami juga rindu, Din,” jawab Mira. “Tapi kami tahu kamu ke sana untuk tujuan besar. Dan, lihat, desa ini tambah semangat sejak dengar ceritamu di Singapura!”

 

Malam itu, Dina diundang ke balai desa untuk berbagi pengalamannya selama di forum internasional. Ruangan itu penuh sesak oleh warga yang ingin mendengar langsung cerita Dina.

Dina berdiri di tengah, wajahnya memancarkan semangat. “Di Singapura, aku hanya berbagi cerita tentang desa kita. Tentang bagaimana kita memanfaatkan angin untuk menghasilkan listrik dan harapan baru. Banyak orang terinspirasi oleh apa yang kita lakukan di sini. Bahkan, ada yang ingin membantu kita memperluas proyek ini.”

Warga bersorak, beberapa bahkan bertepuk tangan dengan antusias.

“Tapi,” lanjut Dina, suaranya lebih serius, “ini artinya kita harus lebih kompak. Bantuan yang datang harus kita manfaatkan dengan bijak. Semua yang kita bangun di sini harus tetap melibatkan kalian semua, agar manfaatnya dirasakan bersama.”

Pak Karim mengangguk dari barisan depan. “Kami percaya padamu, Dina. Apa pun yang kamu butuhkan, kami akan bantu.”

Mira, yang berdiri di samping Dina, menambahkan, “Yang penting kita tetap saling mendukung, seperti biasa.”

Dina tersenyum lega. Dukungan ini membuatnya semakin yakin bahwa ia tidak sendiri dalam perjalanan ini.

 

Keesokan harinya, Dina duduk di bawah kincir angin pertama mereka bersama Mira. Angin yang berhembus membuat baling-baling berputar pelan, menciptakan suara yang menenangkan.

“Din,” kata Mira, memecah keheningan, “kamu yakin bisa menangani semuanya? Aku tahu proyek ini besar, dan kamu luar biasa, tapi aku juga tahu kamu nggak pernah istirahat.”

Dina menatap sahabatnya dengan lembut. “Aku nggak punya pilihan, Ra. Ini bukan cuma tentang mimpiku. Ini tentang Jatiroto dan desa-desa lain yang membutuhkan. Tapi aku janji, kalau ada sesuatu yang terlalu berat, aku akan bilang.”

Mira menghela napas panjang. “Kamu harus ingat, Din, kamu nggak perlu mengangkat semuanya sendirian. Aku, warga desa, bahkan orang-orang di luar sana, semuanya ada untuk bantu kamu.”

Dina mengangguk. Kata-kata Mira selalu menjadi pengingat penting baginya.

 

Beberapa hari kemudian, Dina menerima email resmi dari Mr. Anderson, pengusaha dari forum Singapura. Ia menyatakan kesediaannya untuk mendanai tiga kincir angin tambahan di Jatiroto, tetapi ada syarat yang harus dipenuhi: Dina harus bekerja sama dengan tim teknis mereka untuk menyusun rencana implementasi.

Saat berita itu diumumkan ke warga, suasana di balai desa menjadi riuh. Sebagian besar merasa senang dan bersyukur, tetapi ada juga yang mulai mengajukan pertanyaan.

“Kalau proyek ini tambah besar, apa kita bisa tetap mengelola semuanya sendiri?” tanya Bu Nur.

“Kita harus pastikan nggak ada pihak luar yang mengambil alih, Dina,” tambah Pak Karim.

Dina berdiri di depan mereka, berusaha menenangkan. “Kita akan tetap menjadi inti dari proyek ini. Tim teknis mereka hanya akan membantu mempercepat pembangunan dan memastikan semuanya sesuai standar. Tapi keputusan akhir selalu ada di tangan kita.”

Warga akhirnya setuju, meski tetap ada sedikit kekhawatiran. Dina tahu, ini adalah tanggung jawab besar yang harus ia pikul dengan hati-hati.

 

Malam terakhir sebelum pembangunan dimulai, Dina kembali duduk di teras rumahnya bersama Mira.

“Kamu tahu,” kata Mira tiba-tiba, “meskipun aku sering khawatir, aku juga bangga banget sama kamu. Kamu udah membawa nama Jatiroto ke dunia luar.”

Dina tersenyum kecil. “Aku nggak akan bisa sejauh ini tanpa kamu, Ra. Kamu selalu jadi pengingatku untuk tetap rendah hati dan dekat dengan asal-usulku.”

Mira tertawa pelan. “Itu karena aku tahu kamu keras kepala. Kadang kamu perlu diingatkan supaya nggak lupa istirahat.”

Dina tertawa juga, merasa bahwa persahabatan mereka adalah hal yang paling berharga di tengah semua kesibukan dan tekanan.

Angin malam bertiup pelan, membawa suara baling-baling kincir angin yang terus berputar. Dina menatap ke langit, merasa yakin bahwa langkah-langkah kecil yang ia ambil hari ini akan membawa perubahan besar di masa depan.

 

1
Sisca Audriantie
good keren banget😊
avocado lush: terima kasih /Pray//Whimper/
total 1 replies
elayn owo
Gak bisa berhenti baca deh! 🔥
ADZAL ZIAH
semangat menulisnya ya kak ❤ dukung juga karya aku
avocado lush: makasih kak dukungan nya /Heart/ siap kak
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!