Raika, telah lama hidup dalam kesendirian sejak kematian ayahnya. Dunia yang berada diambang kehancuran memaksanya untuk bertahan hidup hanya dengan satu-satunya warisan dari sang ayah; sebuah sniper, yang menjadi sahabat setianya dalam berburu.
Cerita ini mengisahkan: Perjalanan Raika bertahan hidup di kehancuran dunia dengan malam yang tak kunjung selesai. Setelah bertemu seseorang ia kembali memiliki ambisi untuk membunuh semua Wanters, yang telah ada selama ratusan tahun.
Update: Dua hari sekali.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ahril saepul, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 16 Blue tower.
"Sepertinya aman, tidak ada apa-apa," ucapku sambil memantau menara tersebut.
"Menara itu dijaga oleh Guardians, kan?" kata Yuto, matanya tetap waspada.
"Dulu ada rumor tentang seseorang yang menemukan menara biru, tapi sebelum ada yang sempat menyelidikinya lebih jauh, menara itu menghilang tanpa sebab," jelas Mio.
"Aku juga tidak menyangka akan melihatnya langsung. Jadi, apa kita akan pergi ke sana?" tanya Yuya.
"Tunggu dulu, Yuya. Bagaimana jika ada bahaya lagi ..." Yuto berseru dengan nada gugup.
"Ah, kau ini. Takut, ya?" Mio tersenyum nakal, meletakkan tangannya di pundak Yuto, "hiii ...."
Yuto menepis tangan Mio dengan kasar. "Berisik! Ayo!" serunya, berjalan lebih dulu ke arah menara dengan wajah kesal. "Kalau ada apa-apa, jangan harap aku menolongmu!"
Mio tertawa kecil melihat tingkahnya.
"Kau ini, tidak ada bosan-bosannya," Yuya menghela nafas. "Ayo, kita juga harus pergi."
"Baik! ...."
Menara biru yah. Aku pernah mendengar desas-desus menara itu sejak kecil. Setiap kali aku bertanya pada ayah, ia selalu mengalihkan pembicaraan, seberapa keras pun aku mencoba hasilnya tetap sama. Hingga akhirnya, aku berhenti bertanya dan perlahan mulai melupakan itu.
Selama ini aku baru sadar, ternyata ayah berusaha menyembunyikan sesuatu tentang menara itu. Tapi kenapa?
Saat kami semakin mendekati menara, sebuah bola transparan berdiri di tengah-tengahnya. Bebatuan di sekitar sini juga mengambang memancarkan aura biru yang bersinar.
Ketika Yuya dan yang lain sudah masuk duluan, aku baru melangkahkan kaki ke dalam ... mendadak Cahaya biru dari garis-garis di setiap sisi menara menyala sendiri, menerangi semuanya seperti lampu.
"Apa yang sebenarnya terjadi? Kalian semua baik-baik saja?" seru Yuya.
"Aku baik-baik saja," jawab Mio.
"Yah, aku juga," sahut Yuto.
Berjalan mendekati mereka, "Um, tidak terjadi apa-apa," ucapku.
Kami melanjutkan langkah sampai bola transparan itu kini berada tepat di hadapan kami. Perlahan, cahayanya semakin terang, lalu berubah menjadi hitam pekat.
Di dalam bola itu, muncul aksara asing satu per satu. Aneh, aku bisa memahami arti tulisan itu, meski Yuya, Mio, Yuto, tampak kebingungan.
Aku terdiam, menelan kembali kata-kata yang ingin kuucapkan. Ragu. Apa mereka akan menganggapku aneh jika aku bisa membaca ini?
Mengepalkan tangan, mencoba tenang sambil membaca kalimat yang muncul dari dalam bola:
{Cahaya kecil terbebas dari sangkar, dunia tenggelam dalam kegelapan, ingkari janji, petaka dan peraturan.}
'Apa maksudnya, cahaya, petaka, ingkar janji dan peraturan? Dunia tenggelam dalam kegelapan. Apakah ini berkaitan dengan keadaan dunia sekarang? ... tidak,' menggelengkan kepala. 'Masih belum pasti.'
"Hey, Yuya, cahaya-cahaya di sini aneh. Lebih baik kita pergi dari sini, yuk," kata Mio, suaranya tegang.
"Tunggu, aku masih ingin memahami apa yang ada di dalam bola ini," balas Yuya.
"Sekali ini saja, aku setuju dengan Mio. Ayo kita pergi," ujar Yuto, wajahnya pucat dan tubuhnya berkeringat dingin.
"Tidak, beri aku waktu sebentar saj—uh!" Yuya ditarik paksa oleh Mio dan Yuto. "Kita harus pergi dari sini! Raika, kamu juga!" teriak Mio.
"Baik!"
***
Kami berlari sejauh mungkin dari menara itu, sekarang bersembunyi di bawah bukit yang miring. Anehnya tidak ada satu pun Wanters yang terlihat sedari tadi. Seharusnya, satu atau dua dari mereka muncul karena populasi mereka yang begitu banyak.
"Untung kita selamat dari sana. Kalau tidak, apa yang akan terjadi jika ada Wanters kuat lagi?" kata Mio, gemetar ketakutan.
"Untuk kali ini saja, aku setuju denganmu," sahut Yuto, yang sama-sama ketakutan.
"Apa yang Kalian berdua takutkan. Tidak ada apa-apa di sana, bahkan sekarang tidak ada Wanters yang muncul," ujar Yuya dengan nada menenangkan.
"Diam!" jawab mereka serempak.
Setelah cukup beristirahat, kami melanjutkan perjalanan, mempercepat langkah. Melewati medan terjal, melintasi sungai dangkal, dan menghadapi beberapa Wanters sebelum akhirnya tiba di sebuah danau yang luas dan sunyi. Bayangan bulan dan bintang-bintang memantul di permukaan air yang jernih.
"Wow, aku tidak tahu ada tempat seperti ini di sini," ucap Mio, terpesona.
Meskipun di sekeliling kami hanya ada pohon-pohon tanpa daun, pemandangan ini masih terasa indah—suasana yang sepi, tidak ada Wanters yang terlihat, dan angin berhembus lembut, menyentuh kulit kami.
"Semuanya, coba lihat itu," Yuto menunjuk ke sebuah gubuk kayu di dekat danau. "Apa ada orang yang tinggal di sini?"
"Ayo kita periksa," ajak Yuya tegas.
Yuto meraih bahu Yuya. "Oi, tunggu sebentar. Mungkin kita tidak perlu ke sana," katanya, masih tampak ketakutan.
"Apa kau lupa tentang kejadian bar-bwrwh ..." omongan Yuto berantakan saat Mio menepuk punggungnya.
"Kau takut, ya? Hihihi, aku duluan," gurau Mio sambil melangkah lebih dulu.
Yuya mengabaikan ketakutan Yuto dan berjalan menuju gubuk, begitu juga denganku.
"Oi ..." Yuto akhirnya mengikuti, meski ketakutan masih jelas terlihat di wajahnya.
Di depan gubuk itu, kami tak merasakan kehadiran siapa pun. Yuya mencoba membuka pintu yang macet, lalu mendobraknya.
Di dalam, gubuk itu kosong. Kayunya yang rapuh berderit di bawah kaki kami. Ruangannya hanya satu, tanpa perabot apa pun. Yuya menunjukkan bercak darah kering di sudut ruangan, sementara Mio menemukan secarik kertas yang terselip di lantai, berisi catatan seseorang.
...Hari pertama setelah penyelidikan, kami tidak menemukan apa-apa ... hari keenam, kami berhasil menemukan lokasi yang dimaksud Elbuto. Namun, tidak ada yang berani menyelam lebih jauh, jadi kami memaksa beberapa Crusemark untuk menyelam....
...Selama 730 jam, kami terus merekrut mereka, tapi tidak ada satu pun dari mereka yang berhasil keluar dari air....
...Elbuto sialan! Kau hanya bisa memerintah sesuka hatimu. Kalau saja kau bukan seorang profesor … aku sudah muak dengan semua ini. Aku akan menyelam sendiri dan menyelesaikan semuanya....
...Di akhir surat, yang ternoda bercak darah, tertulis: Bajingan kau, Elbuto. Mereka mati. Tidak ada yang selamat. Kabut .......
...Surat itu berhenti dengan tulisan yang belum selesai....
"Apa maksud surat ini?" tanya Mio.
"Mungkin di sini, Eldritch melakukan sesuatu lagi. Terlihat jelas mereka dipaksa oleh seseorang bernama Elbuto," jelas Yuya.
"Menurutku, Elbuto punya kedudukan lebih tinggi dari mereka. Orang yang menulis surat ini sepertinya tidak bisa menentangnya," tambahku.
"Di sini berbahaya. Ayo kita pergi sebelum terjadi sesuatu," kata Yuto.
"Tidak, aku sudah lelah. Kita istirahat di sini dulu yuk, Yuya," bujuk Mio.
"Tidak! Kita harus pergi sekarang," bantah Yuto.
"Baiklah, kita istirahat dulu beberapa jam," kata Yuya.
"Yuya, ayolah, kau pasti bercanda?"
Yuya tertawa kecil bersama Mio, menikmati kekhawatiran Yuto.
"Jangan khawatir, aku tahu di sini berbahaya. Lebih baik kita melanjutkan perjalanan sekarang, ayo," kata Yuya, melangkah keluar gubuk.
baru saja melangkah tidak jauh dari gubuk, mendadak angin bertiup kencang. Kami pikir itu hanya angin biasa dan mengabaikannya, sampai sebuah kabut tebal perlahan menutupi pandangan kami.
Suara yang lain tidak ada yang kudengar satupun, meski aku sudah berteriak memanggil mereka. Siluet samar perlahan muncul dari tepi danau, semakin aku mendekati siluet itu perlahan-lahan mulai nampak seperti Yuya dan yang lain.
Mendadak mereka berjalan ke depan tidak mempedulikan tubuh yang perlahan terbenam air, meski aku telah meneriaki mereka berkali-kali.
End Bab 16
gabung yu di Gc Bcm..
caranya Follow akun ak dl ya
untuk bisa aku undang
terima kasih.