Kimberly alias Kimi, seorang perempuan ber-niqab, menjalani hari tak terduga yang tiba-tiba mengharuskannya mengalami "petualangan absurd" dari Kemang ke Bantar Gebang, demi bertanggungjawab membantu seorang CEO, tetangga barunya, mencari sepatu berharga yang ia hilangkan. Habis itu Kimi kembali seraya membawa perubahan-perubahan besar bagi dirinya dan sekelilingnya. Bagaimana kisah selengkapnya? Selamat membaca...
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Andi Budiman, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Nyaris Kecurian
Adi mengembalikan ponsel Kimi setelah melakukan panggilan. Bajaj kembali bergerak, kali ini melintasi jalanan perumahan yang cukup lebar. Beberapa menit kemudian, mereka memasuki Jalan Pijar.
Kimi memberi tahu Adi bahwa mereka sudah dekat dengan Jalan Raya Mabes Hankam yang dituju. Namun, saat Kimi melihat peta, ia tidak menemukan jalan untuk menyeberang karena terhalang oleh jalur-jalur besar dan ruas tol. Jalan Raya Mabes Hankam terletak di ujung timur, sementara mereka di sebelah barat.
Adi mengambil alih ponsel Kimi, lalu mengamati peta. Dari Jalan Pijar, ia melihat ada jembatan yang melintasi di atas ruas-ruas jalan yang sibuk di bawahnya. Ia menoleh ke luar, dan benar saja, jembatan itu ada di sebelah kanan mereka—kecil dan tampak agak menyeramkan.
"Kamu yakin, Di? Kita akan menyeberangi jembatan kecil itu?" tanya Kimi dengan nada ragu.
“Tak ada pilihan lain. Ini yang tercepat. Aku harus segera sampai di tujuan,” jawab Adi seraya mengembalikan ponsel Kimi, sementara matanya fokus ke jalan.
Bajaj diarahkan ke sebelah kanan, melewati jalan paving block yang sempit dan masuk ke jembatan. Beberapa orang yang sedang bersantai di warung tampak kebingungan melihat bajaj yang tiba-tiba melintas di jembatan sempit itu.
Tiba-tiba, ponsel Kimi berbunyi nyaring, menandakan panggilan masuk dari nomor tak dikenal. Kimi merasakan firasat tidak enak, tapi tetap mengangkat panggilan itu.
"Halo, assalamu'alaikum!" sapa Kimi, suaranya berusaha menandingi deru bising jalan raya di bawah.
"Loh, siapa kamu?" suara perempuan dari seberang terdengar tajam. "Mana Adi?"
"Kamu sendiri siapa?" Kimi berteriak sedikit, berusaha mengatasi kebisingan di sekitar.
"Saya tunangan Adi! Mana Adi? Saya mau ngobrol sama Adi sekarang juga!"
"Oh, oke… tapi Adi lagi sibuk sekarang, dia nggak bisa diganggu," jawab Kimi cepat, melirik Adi yang sibuk mengendalikan bajaj di atas jembatan beton sempit itu.
Jembatan itu panjang dengan permukaan lintasan tidak rata. Ketinggiannya sangat mengerikan dengan jalanan lebar yang ramai di bawahnya. Bajaj mereka berguncang hebat, membuat Kimi memegang pegangan erat-erat agar tidak terlempar.
"Apa kamu bilang? Kamu berani-beraninya bicara seperti itu sama saya? Lagi pula, siapa kamu? Selingkuhan Adi? Cepat berikan teleponnya ke Adi sekarang juga!"
"Bukan! Saya bukan selingkuhan Adi! Jangan sembarangan kamu ya!" ucap Kimi tegas, darahnya mulai mendidih.
"Lalu siapa kamu? Pantas saja Adi nggak bisa dihubungi, ternyata dia lagi sama perempuan murahan! Cepat berikan teleponnya!"
Kimi tak tahan lagi. Dengan marah, ia memutus panggilan itu, lalu mematikan SIM card-nya. Ia menghela napas panjang, berusaha meredam emosinya, lalu kembali memantau peta Google dalam mode offline.
"Siapa tadi?" tanya Adi, matanya sesekali melirik Kimi di sela-sela usahanya menjaga setang bajaj tetap stabil di jalan yang tidak rata.
"Tunangan kamu," jawab Kimi, suaranya datar, berusaha menahan kekesalan.
"Karin? Oh tidak… Dia pasti meminta nomormu dengan paksa ke Mira. Maafkan aku, Kimi. Kamu jadi terlibat dalam masalah pribadiku,” ucap Adi sambil meringis, tangan kirinya mulai pegal menahan getaran setang bajaj.
Mata Kimi berkaca-kaca. Ia sangat tersinggung disebut sebagai perempuan murahan. Kimi menyeka air matanya dengan cepat. Dia tahu siapa dirinya, dan dia tidak akan membiarkan kata-kata kasar itu merusak suasana hatinya.
Bajaj terus melaju. Di peta offline Kimi melihat bahwa jembatan itu menuju percabangan dua jalan bernama pintu 1 TMII. Sebuah percabangan yang masih menjadi misteri. Sayang sekali Kimi tidak bisa memeriksa lebih jauh karena jaringan yang dinonaktifkan sementara waktu.
Sepanjang jembatan beberapa kali mereka berpapasan dengan pejalan kaki. Setiap kali berpapasan, bajaj harus berhenti untuk memberi ruang kepada pejalan kaki yang melongo melihat mereka. Beberapa pejalan kaki bahkan memperingatkan mereka bahwa jembatan itu bukan jalur bajaj. Namun, sudah terlanjur, jembatan kecil itu tidak memungkinkan mereka untuk berbalik arah.
"Aduuuh, pegel, setang bajaj ini bergetar terus," keluh Adi dengan senyum getir, setelah bajaj kembali melaju.
"Ya iyalah, kamu lihat sendiri jalannya rusak gitu! Dan kamu denger juga kan omongan orang-orang tadi? Jalur ini sepertinya memang bukan untuk kendaraan," ucap Kimi sambil berpegangan, berusaha meredam guncangan.
“Mau bagaimana lagi, kita tidak mungkin putar balik, jembatan ini sempit.”
Setelah melewati jembatan yang panjang dan sempit itu, mereka tiba di sebuah pertigaan jembatan yang membuat hati keduanya makin ciut.
Di sisi mereka ada dua pilihan: turunan tangga naik yang tampak rusak di sebelah kanan, atau tangga tembok turun di sebelah kiri. Baru saat itu Adi dan Kimi menyadari dengan jelas bahwa mereka memang benar-benar salah jalan—ini bukan jalur untuk kendaraan, melainkan jembatan penyeberangan untuk pejalan kaki.
"Astahgfirlloohaladziim! Bagaimana ini Di?” tanya Kimi panik sambil melirik ke kiri dan ke kanan.
“Kita nggak mungkin bisa putar balik, pertigaan ini langsung menuju tangga." kata Adi, suaranya terdengar frustasi.
Kimi menarik napas dalam-dalam. "Kita pilih kiri aja, Di. Kayaknya tembok di tengah tangga itu bisa kita pakai untuk menurunkan bajaj ini. Setidaknya dengan tembok tengah itu ban depan masih bisa bergerak normal."
Adi mengangguk, meskipun tidak sepenuhnya yakin dengan ide Kimi. Tapi ia tahu, tidak ada lagi pilihan. Dengan hati-hati, Adi mengarahkan bajaj ke jalur kiri.”
“Tunggu, aku turun saja! Aku tidak mau ikut, aku turun saja!” kata Kimi. Tapi begitu Kimi membuka pintu bajaj, pintu itu terbentur pagar jembatan, tak bisa terbuka sempurna. “Ya Allah, astaghfirullooh, susah, Di,” lanjut gadis itu dengan panik.
“Ya sudah, mau bagaimana lagi, tutup lagi pintunya dan cepat pegangan!” suruh Adi setengah berteriak.
"Bismillah... Semoga kita selamat," gumam Kimi sambil menutup matanya sesaat, berusaha meredakan ketegangan dalam dirinya.
Adi mencoba menuruni tangga yang sempit dengan bantuan tembok datar di tengah. Suara decitan rem terdengar nyaring saat Adi berusaha mengendalikan kecepatan bajaj yang nyaris mustahil dikendalikan di atas tangga itu.
"Pegangan yang erat!" seru Adi, giginya terkatup rapat karena tegang.
Kimi memegang erat-erat pegangan kursi, wajahnya pucat. Setiap kali bajaj meluncur turun dari satu anak tangga ke anak tangga berikutnya, Kimi merasa jantungnya melonjak.
Bajaj itu seperti meluncur dengan gaya bebas, terjun dari satu anak tangga ke anak tangga lain dengan suara dentuman yang membuat nyali siapa pun menciut. Setiap kali ban belakang bajaj menghantam permukaan tangga, seluruh tubuh mereka terguncang hebat.
"Ini sama sekali di luar dugaan, Kimi," keluh Adi, suaranya sedikit gemetar seraya berusaha mengendalikan bajaj sehati-hati mungkin.
"Aku nggak mau seperti ini lagi!" jawab Kimi dengan nada putus asa. “Aku nggak mauuu…!!!”
“Aku juga!” sahut Adi.
Mereka sampai di belokan tangga berikutnya yang langsung mengarah ke jalan raya. Adi memegang setang bajaj lebih erat, mengatur napas, dan mengerem sekuat tenaga saat mereka menuruni setiap anak tangga.
Suasana semakin menegangkan ketika mereka hampir terjun langsung ke jalan raya yang ramai. Namun Adi dengan sigap menekan tuas rem lebih dalam lagi.
Akhirnya roda depan bajaj mencapai permukaan jalan dengan mulus. Adi menghela napas panjang, dan Kimi merasa seluruh tubuhnya lemas seketika. Mereka selamat, meskipun dengan adrenalin yang masih menderu.
"Kimi," Adi memecah kesunyian dengan suara penuh penyesalan, "kita baru saja menyeberangkan bajaj di jalur pejalan kaki."
“Memang… dan jangan diulangi lagi.”
Bajaj kembali meluncur di jalan yang benar. Mereka menghela napas panjang, dan perjalanan berlanjut di Jalan Taman Mini I. Namun, mereka dihadapkan pada tantangan baru. Mereka harus tiba di sisi lain jalan itu untuk bergerak ke selatan menuju Jalan Raya Mabes Hankam, tetapi terhalang pembatas jalan yang membuat mereka harus terus melaju ke utara, mencari jalan untuk memutar arah.
Setelah beberapa puluh meter akhirnya mereka menemukan belokan untuk memutar balik ke selatan. Dengan lega, Adi segera mengarahkan bajaj ke jalan yang benar, kembali melaju di Jalan Taman Mini I sisi berikutnya menuju arah selatan, dengan tujuan yang sudah di depan mata.
“Lihat plang di depan, Di! Kita sudah hampir tiba di Jalan Mabes Hankam!” ujar Kimi bersemangat.
“Akhirnya…” sahut Adi, terharu.
Namun, tiba-tiba bajaj mulai melambat. Laju kendaraan yang tadinya lancar berubah menjadi tersendat-sendat, hingga akhirnya berhenti sama sekali di tengah jalan.
"Oh, jangan lagi!" gumam Adi, jelas terlihat panik.
Kimi menatap Adi dengan wajah cemas. "Apa yang terjadi? Mesinnya rusak lagi?"
Adi menggeleng sambil menghela napas panjang. "Tidak tahu! Kita harus meminggirkan dulu bajaj ini!" kata Adi seraya bergegas turun.
Kimi menyusul keluar. Mereka segera mendorong bajaj ke pinggir jalan. Kemudian Adi memeriksa mesin. Ia tidak melihat tanda-tanda apa pun sampai ia memeriksa selang bensin yang tersambung ke karburator. Selang itu kosong, memberi petunjuk bahwa mesin mati kali ini karena kehabisan bensin.
Mereka pun memutuskan untuk memarkir bajaj dan meninggalkannya. Sementara mereka mulai mencari-cari pedagang bensin eceran, meskipun tampak sia-sia karena di sepanjang jalan itu tidak ada satu pun yang terlihat.
Setelah berkeliling cukup lama, mereka akhirnya menemukan seorang penjual bensin di pinggir jalan. Namun, kebahagiaan mereka tidak berlangsung lama saat menyadari satu hal: mereka tidak punya wadah untuk menampung bensin itu.
Adi melihat sekeliling dengan cepat, matanya tertuju pada tempat sampah di dekat situ. "Tunggu di sini, aku coba cek dulu," katanya sambil berlari ke arah tempat sampah. Dengan sedikit berharap, Adi mengaduk-aduk isi tempat sampah itu dan menemukan sebuah botol plastik bekas.
"Ini dia!" Adi berkata sambil membawa botol itu ke penjual bensin. Setelah memasukkan bensin ke dalam botol dan membayar, mereka segera berlari kembali ke tempat bajaj diparkir.
Namun, ketika mereka sampai di sana, bajaj itu sudah tidak ada. Adi dan Kimi saling berpandangan, panik.
"Di mana bajajnya?" Kimi bertanya, suaranya terdengar penuh kekhawatiran.
Adi dengan cepat memindai area sekitar dan tiba-tiba melihat sesuatu di kejauhan. "Lihat! Itu bajaj kita!" Adi menunjuk ke arah sekelompok anak berandalan yang sedang mendorong bajaj mereka masuk ke sebuah gang.
Tanpa berpikir panjang, Adi dan Kimi segera menyusul mereka. Ketika mereka mendekat, mereka melihat bahwa anak-anak berandalan itu sudah berjongkok di sebuah sudut gang yang sepi, sepertinya bermaksud mempreteli bajaj, mungkin untuk menjual onderdilnya.
"Jangan! Itu bajaj sewaan, bukan milik kami!" Adi berteriak, mencoba menghentikan mereka.
Anak-anak berandalan itu tampak terkejut, tetapi salah satu dari mereka segera mengeluarkan pisau lipat, seakan siap untuk menyerang. Melihat itu, Adi merasa jantungnya berhenti sejenak, tapi ia berusaha untuk tetap tenang.
"Tunggu, kita bisa berdamai, oke?" kata Adi, mencoba meredakan situasi. Sebenarnya, ia sendiri sangat takut. "Kami tidak akan melaporkan kalian, kita selesaikan ini dengan baik-baik."
Kimi memandang Adi dengan cemas, berharap Adi bisa mengendalikan situasi. "Sekarang lebih baik kalian terima uang dari saya daripada membongkar bajaj itu," lanjut Adi. "Saya akan beri kalian uang... 200 ribu."
Anak-anak berandalan itu saling berpandangan, tampak tidak puas. Mereka menggeleng.
"Oke, bagaimana dengan 300 ribu?" Adi berusaha bernegosiasi.
Namun, mereka tetap menolak. "500 ribu," kata Adi dengan suara yang lebih tegas. "Tidak ada tambahan lagi. Kalau kalian menjual onderdil bajaj ini, belum tentu kalian dapat uang 500 ribu dengan cepat."
Anak-anak itu akhirnya mengangguk, setuju dengan tawaran Adi.
“Lihat ini uang beneran, kalian bisa melihatnya?” Adi dengan cepat menggulung uang 500 ribu itu, mengikatnya dengan serpihan tali rami yang ia temukan di dekat tong sampah lalu melemparkannya jauh ke ujung gang.
Anak-anak berandalan itu segera berlari mengejar uang tersebut, memberi Adi dan Kimi kesempatan untuk mengambil kembali bajaj mereka.
Dengan cepat Kimi masuk ke dalam bajaj. Sementra Adi memasukkan bensin ke tangki, menutup tangki itu lagi lalu masuk ke ruang kemudi, menyalakan mesin dan segera membawa bajaj kabur dari tempat itu.
Namun, ketika mereka tiba di Jalan Raya Mabes Hankam, jalan itu sudah macet total. Jalan yang tadi masih lengang kini dipenuhi kendaraan yang bergerak lambat. Adi menghela napas panjang, sementara Kimi hanya bisa menggeleng pelan.
“Ada apa lagi ini?” gumam Adi panik.
Kimi melihat ke belakang. “Di, kita harus segera pergi, kalau tidak kita akan terjebak.”
Adi segera mengambil tindakan, ia membelok arah menuju ruas jalan menuju utara. Mereka kembali ke Jalan Taman Mini I jalur utara.
“Kimi, sepertinya kita butuh rute alternatif lagi.”
“Google Maps?” tanya Kimi, memastikan.
“Ya!” jawab Adi setengah berteriak.
Dengan terpaksa Kimi mengaktifkan kembali SIM card-nya untuk mendapatkan jaringan. Ia membuka Google Maps mencoba membaca situasi real time untuk menentukan target.
“Ada, Di!” teriak Kimi.
“Kemana target kita sekarang?”
“Jalan Raya Hankam.” Jawab Kimi.
“Kemana kita harus bergerak sekarang?” Adi mengedarkan pandang sejenak sambil tetap melajukan bajaj. “Apakah ke jalur masuk TMII bisa?”
Kimi terkejut, lalu memeriksa peta. “Sepertinya bisa, dan sepertinya paling singkat. Tapi… serius kamu kamu melintas ke sana?” tanya Kimi memastikan.
“Kalau itu paling singkat, kenapa tidak!”
Terima kasih memberikan cerita tentang keteguhan seseorang dalam mempertahankan keyakinannya.
Bravo selamat berkarya, kuharap setiap hari up.