Dirga sangat mencintai Maya. Ia tidak ingin bercerai meski Maya menginginkannya. Ia selalu memaklumi Maya yang bertingkah seenaknya sejak Dirga kehilangan pekerjaan dan membuat keluarga mereka terpuruk.
Tapi suara desahan Maya di ponsel saat ia menghubunginya merubah segalanya.
Apa mereka akan tetap bercerai atau -lagi lagi- Dirga memaafkan Maya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dian Herliana, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 16
Dengan rasa gundah dan gusar yang menghimpit dadanya, Dirga berjalan ke rumah Juwita.
"Anak - anak sedang tidur siang." Juwita berbisik menyambutnya dengan telunjuk di depan bibirnya.
"Ini udah hampir ashar, Bu." Dirga ikut berbisik.
"Mereka baru tidur. Oh ya, Kamu udah makan belum?" Juwita membelai wajah Dirga yang terlihat tertekan. Dirga pasti kehilangan banyak berat badannya karena wajahnya terlihat cekung.
"Sudah, Bu." Dirga menunduk. Mendapat kelembutan sang ibu membuat hatinya nelangsa. Airmatanya langsung mengalir turun.
Juwita terkejut.
"Kamu nggak papa, Sayang?" Dirga memeluk Juwita. Ia sudah tidak tahan lagi.
"Aku sudah gagal jadi suami, Bu. Aku gagal.." racaunya dalam sedu sedannya. Terekam kuat dalam pikirannya suara desahan Maya tadi. Desahan yang sering ia dengar dulu saat mereka bermain cinta.
Maya melakukannya dengan siapa? Siapa?
Juwita mengusap bahu Dirga dan membiarkan menangis.
'Lepaskan kesedihanmu, Nak. Lepaskan!' hatinya menjerit.
Dirga menangis cukup lama. Sudah hampir 1,5 tahun Maya selalu menolaknya. Sejak Maya selalu marah karena keterpurukannya.
Setelah melihat Dirga lebih tenang, Juwita melepaskan pelukannya.
"Ibu bikinin Kamu teh hangat."
"Nggak usah, Bu." tolak Dirga.
Juwita tidak menerima penolakan. Ia meninggalkan Dirga untuk membuat teh hangat.
Dirga mengeringkan sisa airmatanya dengan kaos yang ia kenakan lalu berjalan menuju kamar.
Raka dan Rania terlihat begitu damai.
'Maafin Papa, Nak. Sepertinya Papa tidak bisa mempertahankan Mama Kalian lagi.' Dirga duduk di sisi tempat tidur.
Juwita mengantarkan teh hangat yang ia buat.
"Diminum dulu, Sayang. Biar hatimu lebih tenang." Dirga menurut. Diteguknya teh yang dibuat dengan cinta itu.
"Makasih, Bu." Dirga mencoba tersenyum.
Juwita tidak ingin bertanya apa yang menghimpit dada Dirga hingga membuatnya begitu sesak dan tidak tahan untuk menangis.
"Dirga dan anak - anak boleh tinggal di sini untuk sementara waktu, Bu?"
"Tentu saja boleh." kembali Juwita tak ingin bertanya.
"Dirga udah gagal, Bu."
"Kamu anak Ibu. Selamanya akan begitu."
Mata Dirga kembali berkaca - kaca.
"Aku akan segera mengurus perceraianku, Bu." Juwita menyembunyikam rasa terkejutnya. Ia tahu ini pasti akan terjadi, tapi ia tetap menyayangkannya.
"Kamu sudah pikirkan, Nak?"
"Aku akan jual rumah itu, Bu. Aku akan cari rumah yang lebih kecil untukku dan anak - anak. Aku nggak tahan lagi, Bu.." bahu Dirga kembali berguncang. Ia sangat mencintai Maya dan Maya sudah menendangnya dari kehidupannya.
"Dirga, yang sabar ya, Nak." airmata Juwita ikut mengalir. Sejak kanak - kanak Dirga jarang menangis. Meskipun sebagai adik, ia dapat melindungi Safira, kakak perempuannya.
Dan sekarang ia menangis karena cinta. Karena harga diri yang terbanting.
Azan ashar berkumandang,
"Ayok ke masjid." tiba - tiba Dedi sudah berada di pintu kamar. Sudah rapi dan wangi. Sebenarnya sudah lama berdiri di depan kamar dan mendengar semua pembicaraan mereka.
"Biar anak - anak sholat di rumah, Pak. Kasihan, mereka belum lama tidurnya." ucap Juwita seraya menoleh pada Dirga.
"Kamu berangkat sama Bapak, ya?" Dirga mengangguk dan segera mengganti kaosnya yang sudah kotor dan mengg8antinya dengan baju koko yang ia miliki.
"Dirga nggak sempat mandi, Pak." ucap Dirga malu.
"Nggak papa. Ayok jalan." Dedi merengkuh bahu Dirga untuk memberinya kekuatan.
"Kamu banyak - banyak minta petunjuk sama Allah setelah sholat nanti."
"Iya, Pak." Dirga merasa kembali menjadi anak - anak.
****************
"Sudah Bapak bilang, ceraikan perempuan itu."
Dirga menundukkan kepalanya. Kali ini ia tidak ingin membantah lagi meski masih berat terasa.
"Apa yang Kamu beratkan?" Dedi mengerti jalan pikiran Dirga.
"Kami sudah bersama lebih dari 10 tahun, Pak." ucap Dirga lemas.
Juwita meletakkan 2 gelas kopi dan sepiring pisang goreng yang sisanya masih digoreng Rania.
"Ngopi dulu. Jangan ngomong terus nanti giginya yang garing." Juwita mencoba mencairkan suasana dengan tawanya.
"Ini Rania yang goreng, lho."
Dirga tersenyum. Rania mengalami banyak kemajuan setelah tinggal bersama Eyangnya.
"Raka kemana?"
"Tuh, di depan." Juwita menunjuk halaman depan rumah.
Dirga berpikir sejenak.
"Sebaiknya Aku pulang dulu, Bu."
"Ngapain pulang, sih?" ketus Dedi tak suka.
"Jangan bilang Kamu mengurungkan niatmu bercerai!"
"Aku cuma ingin ngambil kunci cadangan rumah, Pak. Aku jadi nggak perlu nungguin Maya pulang. Aku bisa pulang kapan aja."
Dedi mengepalkan tangannya.
"Baiklah. Jangan lama - lama. Nanti Kamu berubah pikiran, lagi."
Dari balik pintu dapur Rania memegang piring di tangannya dengan kuat. Ia mendengar semuanya.
'Sudah Aku duga.' hatinya berusaha untuk kuat. Ia juga sudah tidak ingin melihat Mamanya meneriaki Papanya setiap saat. Lalu ia keluar seolah tidak mendengar apa - apa. Diletakknnya piring berisi pisang goreng di atas meja.
"Ini yang terakhir, Eyang." Juwita tersentak dan menatapnya penuh selidik.
"Udah Kamu matiin kompornya?" Rania terlihat biasa - biasa saja.
"Udah dong, Eyang. Rania kan belum pikun."
"Eh, ngeledek, ya?" Rania tertawa. Diam - diam Juwita, Dedi dan Dirga merasa lega.
"Papa, coba tiap hari Papa udah pulang jam segini." cetus Rania.
"Hari ini Papa nggak keluar kota. Jadi bisa pulang cepat."
"Bilangin dong, Om Tiknonya, Pah. Jangan keluar kota mulu!"
Mereka tertawa. Mereka senang Rania kembali ceria.
"Gimana kalau Om Tiknonya, Eyang cubit?"
"Boleh, tuh!" mereka kembali tertawa.
Dirga merasa keceriaan Rania menghangatkan hatinya.
Mereka menikmati pisang goreng pada sore menjelang maghrib dengan bersenda gurau. Bahkan Raka tertarik ikut bergabung mendengar tawa mereka.
Maya pulang menjelang maghrib. Ia mendapati rumahnya yang gelap gulita karena ia pergi sejak siang tadi.
Tas - tas belanjaannya ia letakkan di kursi teras agar ia dapat membuka pintu dengan kuncinya.
"Ngeborong, May?" tanya bu Ranti yang kepo habis.
"Menikmati hidup, Bu." jawab Maya seraya meraih tas - tas belanjaannya. Ia langsung masuk rumah tanpa bicara lagi.
Bu Ranti berdecak,
"Sombong amat! Amat aja nggak amit - amit!" katanya kesal.
Maya meletakkan tas - tas belanjaannya di atas kasur dan bergegas ke kamar mandi karena kebelet ingin buang air kecil.
Tingtong! Tingtong!
"Siapa, sih?"
Tingtong - tingtong! Tingtong - tingtong!
"Waah.. Ngajakin berantem, nih!" seru Maya gusar. Ia keluar setelah urusan basuh membasuh selesai.
Tingtong - tingtong! Tingtong - tingtong!
"Astaganaga!" jerit Maya seraya membuka pintu.
Dirga menyerobot masuk tanpa memandangnya lagi. Ia langsung menuju lemari pakaiannya dan membuka laci.
Diambilnya serangkaian kunci dan memasukkannya ke dalam saku celananya. Ia juga mengambil surat berharga yaitu sertifikat rumah.
"E - eh! Ngapain sertifikat rumah Kamu bawa?"
"Aku mau jual rumah ini." Maya terkejut.
"Lalu Aku tinggal dimana?" tanyanya bodoh.
"Terserah. Kamu kan udah punya selingkuhan. Minta aja sama Dia." geram Dirga. Ia terbakar oleh cemburu karena ia memang sangat mencintai Maya.
*********************