NovelToon NovelToon
Keluarga Untuk Safina

Keluarga Untuk Safina

Status: sedang berlangsung
Genre:Beda Usia / Cinta Seiring Waktu / Menikah Karena Anak / Ibu Tiri / Istri ideal
Popularitas:4.8k
Nilai: 5
Nama Author: Windersone

Secara kebetulan aku bertemu dengan keluarga kecil itu, hadir sebagai seorang istri terutama ibu pengganti untuk anak pria itu yang berstatus duda saat menikahiku.

Sungguh berat ujiannya menghadapi mereka, bukan hanya satu, tapi empat. Namun, karena anak bungsunya yang paling menempel padaku, membuatku terpaksa bersabar. Mungkinkah aku akan mendapatkan cintanya mereka semua? Termasuk Ayah mereka?

Kami menikah tanpa cinta, hanya karena Delia, anak bungsu pria itu.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Windersone, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Berubah karena Dia!

🌻🌻🌻

Untuk pertama kalinya aku menjalin interaksi baik dengan anak ketiga suamiku. Bocah laki-laki itu mendengarkanku ketika aku memberikan penjelasan mengenai soal Matematika yang sedang kami kerjakan. Kami berinteraksi selayaknya seorang ibu dengan seorang anak. Nada suara dan caranya menatapku tidak seperti sebelumnya. Mungkin sang pemilik hati telah menunakan hatinya.

Ketika sedang berusaha untuk membuatnya memahami penjelasanku, sedikit candaan aku selipkan sampai membuat bocah laki-laki itu tersenyum dan tertawa ringan.

Mungkin suara tawa kami terdengar hingga ke kamar Zien. Remaja laki-laki itu sudah tiba-tiba berdiri di pintu kamarnya dengan tubuh bersandar di salah satu tiang pintu dengan kedua tangan menyilang di dada. Kedua bola matanya memperhatikan kami dengan seksama, memperlihatkan raut wajah angkuh, sama seperti sebelumnya.

“Kenapa berdiri di sana saja? Ikut bergabung,” ajakku, berusaha memboyong Zien ikut duduk bersama kami.

“Pasti baterai ponselnya habis. Jadi gak bisa main game,” ledek Revan.

Baru dua kalimat itu yang dilontarkan oleh Revan, Zien emosi menghampiri adiknya itu dengan tangan ingin menepuk kepala Revan. Tanganku langsung menahannya dan menjalankan kepala bersama ekspresi berusaha memperlihatkan senyuman agar diriku tidak dianggap sebagai musuhnya.

“Jangan begitu, dia adikmu,” ucapku.

“Kamu sudah begini, ya,” ucap Zien kepada Revan dengan gigi merapat.

“Kamu tidak seharusnya memperlakukan adikmu begini. Lihat, jarinya terluka gara-gara kamu tidak meminjamnya peruncing pensil,” ucapku.

“Itu benar, Zien …?” tanya Mas Lintang sambil keluar dari kamar.

Pria itu berdiri di samping Zien, menatap remaja laki-laki itu dengan ekspresi marah. Lalu, Mas Lintang menggapai tangan Revan, memperhatikan jari anak itu yang sudah aku plester. Mas lintang langsung memasuki kamar Zien dan Revan, diikuti anak keduanya itu dari belakang.

Suara benda terjatuh terdengar dari kamar. Bergegas aku memasuki kamar kedua anak laki-laki Mas Lintang dan dari pintu aku melihat suamiku itu sudah membantu ponsel dan headphone milik Zien ke lantai.

“Semua gara-gara ini, kan? Kapan kamu akan berubah? Kapan kamu akan belajar dan hidup tidak membebaniku?” tanya Mas Lintang, menyalurkan kemarahan dengan nada suara yang keras dan menunjukkan ekspresi yang cukup menakutkan, ini pertama kali aku melihatnya marah sebegitu besarnya.

Bukan hanya diirku. Sepertinya ini pertama kali remaja laki-laki itu melihat kemarahan besar Mas Lintang, terlihat dari respons kagetnya diam menatap suamiku itu.

“Ini bukan masalah besar, Ayah! Demi wanita itu, Ayah memarahiku sampai menghancurkan ponselku. Ini yang aku takutkan, Ayah berubah!” lawan Zien dengan emosional labilnya.

Remaja laki-laki itu berjalan keluar dari kamar, sejenak sempat berhenti di sampingku yang berdiri di samping pintu setelah sadar ia akan keluar. Zien melirikku dengan sudut mata tajam, lalu lanjut berjalan keluar dari rumah dengan melewati Bu Sulis dan Shani yang berdiri di depan pintu kamar mereka. Suara Mas Lintang tadi mungkin terdengar oleh mereka.

Kamar di mana Mas Lintang berada aku masuki. Pria itu tampak menyesal telah bertindak dalam kemarahannya sampai membuat hati putra keduanya itu terluka.

“Mas ….”

“Maafkan aku,” ucapnya, juga memikirkan perasaanku.

“Cara menghadapi anak-anak tidak begini. Mas harus bisa mengendalikan emosi. Sekarang Mas istirahat di kamar, biar aku yang akan membujuknya.”

“Dia tidak bisa dibujuk olehmu. Biarkan saja dia tenang lebih dulu. Palingan dia ke rumah temannya yang rumahnya tidak jauh dari sini.” Mas Lintang keluar dari kamar Zien dan Revan, beranjak memasuki kamar kami dengan mengabaikan keberadaan Shani dan Bu Sulis.

Sejenak aku menatap mereka dengan senyuman ringan, di mana Shani masih menatapku dengan tatapan kebencian. Gadis itu memasuki kamar dan membanting pintu, diikuti Bu Sulis yang tampak ingin membujuknya untuk bisa menahan sikap. Beranjak dari mereka, aku memperhatikan Revan duduk menatapku dengan tatapan yang berbeda, tidak sama seperti sebelumnya. Bocah itu tampak kesal, ia mengambil semua buku dan Peralta tulis di atas meja, lalu memasuki kamar dengan melewati keberadaanku. Seketika aku merasa serba salah. Kesabaranku diuji begitu besar oleh mereka.

***

Pintu rumah aku buka di waktu subuh. Lalu, berjalan keluar dari rumah, berdiri sejenak di depan teras sambil menghirup udara pagi hari yang begitu menyegerakan dan menenangkan. Melihat langit Subuh yang masih dihiasi bintang rasanya begitu menyenangkan, mengagumi kekuasaan Tuhan adalah hal yang bermanfaat, sejenak bisa membuatku semangat untuk melawan ujian yang aku hadapi.

Ketika hendak kembali memasuki rumah, setelah tubuhku memutar ke arah pintu, aku tenukan keberadaan Zien tidur dalam keadaan duduk di tepi teras sambil menyandarkan punggung di dinding dan kedua kaki memanjang ke depan. Dugaan Mas Lintang ternyata salah dan remaja laki-laki itu tidur di luar rumah sejak semalam.

“Zien …!” panggilku dengan suara kecil, menghampirinya.

Bibir Zien terlihat menggigil. Telapak tangan kanan aku tempelkan di dahinya dan aku merasakan suhu tubuh Zien yang panas, tetapi kedua tangannya dingin. Bergegas aku memasuki rumah, menghampiri Mas Lintang yang baru bangun, memberitahunya mengenai kondisi Zien. Kami langsung kembali ke luar rumah. Mas Lintang membangunkan Zien, tetapi remaja laki-laki itu terlihat tidak sanggup menegakkan tubuhnya.

“Kita bawa ke rumah sakit,” ucapku dengan cemas.

“Ambilkan kunci mobil,” suruh Mas Lintang.

Mas Lintang menggendong anaknya itu menuju mobil, memasukkan Zien ke sana. Dengan gerak cepat Mas Lintang mengemudi dengan sesekali menoleh ke belakang, ke arah kami yang duduk di bangku belakang. Tubuh Zien bersandar di bahu kananku dengan selimut menyelimuti tubuhnya yang aku bawa saat mengambil kunci mobil.

Betapa cemasnya Mas Lintang. Tentu, anaknya. Pria itu terlihat tidak tenang.

Setelah beberapa menit di perjalanan, kami sampai di rumah sakit. Perawat yang masuk pagi langsung membantu kami membawa azien masuk ke dalam gedung rumah sakit menggunakan kursi roda. Mereka yang menangani Zien terlebih dahulu karena dokter belum ada yang masuk.

“Kamu tunggu di sini. Aku akan menghubungi Ibu untuk memberitahunya mengenai keberadaan kita. Takutnya dia kaget saat melihat kita tidak ada di rumah,” ucap Mas Lintang dan keluar dari kamar di mana Zien berada.

“Ibu ….” Zien mengingau.

Zien seperti merindukan ibunya. Sikap Mas Lintang semalam dengan keberadaanku tentu membuatnya sedih dan kesedihan itu yang membuatnya mengingat ibunya.

“Jangan khawatir, Kak. Setelah diberi obat, dia akan baik-baik saja,” ucap perawat yang merawat Zien. “Ibunya di mana?” tanya perawat itu, mungkin mengira aku kakak Zien dan orang yang dipertanyakan olehnya juga ibuku.

“Ibunya sudah meninggal,” balasku.

“Oh! Maaf,” ucapnya.

Setelah melakukan pengecekan dan memberikan suntikan, perawat itu keluar dari kamar yang ditempati Zien. Mas Lintang masuk setelah beberapa detik perawat itu keluar. Kecemasan yang tergambar di wajah Mas Lintang sudah terlihat mengurang, lebih tepatnya terlihat tenang dari sebelumnya.

“Perawat bilang Zien akan baik-baik saja, aku sudah berbicara dengannya di luar.” Pantas saja Mas Lintang tenang, toh sudah mengetahui kondisi anaknya di luar. “Mendingan sekarang kamu kembali ke rumah, kamu juga akan mengajar.”

“Tidak. Mas pergi bekerja, aku yang akan menjaga Zien. Mas tidak perlu khawatir karena aku akan menjaga dia sebaik-baiknya.”

“Tapi ….” Mengingat hubunganku dan Zien yang tidak baik sepertinya membuat Mas Lintang ragu meninggalkanku bersama remaja laki-laki itu.

“Tenang saja, Mas.” kedua tanganku menggenggam pergelangan tangan kanannya dengan menunjukkan ekspresi yang menurutku cukup membuatnya yakin.

“Baiklah. Jika kamu butuh bantuan atau terjadi sesuatu, hubungi aku,” pesannya.

Kepalaku manggut-manggut dengan senyuman. Kupeluk pria itu dengan sedikit tepukan di punggungnya. Sungguh mengagetkan, pelukanku dibalas pun terasa erat. Dagu di daratkan olehnya di pundak kananku dan aku merasakan sedikit beban itu.

1
Mariyam Iyam
lanjut
Darni Jambi
bagus,mendidik
Ig: Mywindersone: Terima kasih.
🥰🥰
total 1 replies
LISA
ya nih penasaran jg..koq bisa yg menculik itu mengkambinghitamkan Fina..pdhl Fina yg sudah menolong Shani..
LISA
Moga dgn kejadian itu Shani sadar dan tidak memusuhi Fina lg jg mau menerima Fina sebagai Mamanya
Darni Jambi
upnya yg rutin kak,
Darni Jambi
kok ngak up2 to mbk ditungguin, bagus critanya
LISA
Ya nih Kak
LISA
Pasti ibunya anak²
LISA
Ya Kak..Fina bijak bgt..salut deh sama Fina..istri yg pengertian
LISA
Pasti ke rmhnya Delia
LISA
Aq mampir Kak
Rina Nurvitasari
semangat terus thor
Rina Nurvitasari
mampir dulu thor semoga ceritanya menarik dan bikin penasaran...

semangat terus rhor💪
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!