Petualangan seorang putri dengan kekuatan membuat portal sinar ungu yang berakhir dengan tanggung jawab sebagai pengguna batu bintang bersama kawan-kawan barunya.
Nama dan Tempat adalah fiksi belaka
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Tenth_Soldier, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Selamat Bergabung Bahri Masiak
Tak lama putri Tihu pun datang memasuki lapak Bahri, dia mencari-cari Andiek dan Mawinei.
Dia melihat Andiek sedang becakap-cakap dengan pria paruh baya yang adalah paman Bahri dan melihat Mawinei ditemani pemuda tinggi besar berjalan-jalan melihat berbagai rempah-rempah di tiap keranjang.
Dia sendiri sudah selesai berbelanja dan menaruhnya di kamarnya melalui "pintu pintas" kekuatan batu ungunya.
" Selamat datang di lapak kami..tuan putri Tihu Suebu," Mangkuto menyambut putri Tihu. Dia sudah mendengar semuanya dari Andiek dan membungkuk hormat pada Tihu.
" Paman janganlah bersikap terlalu resmi seperti itu, biasa saja," jawab Tihu yang menduga Andiek lah yang memberitahu tentang dirinya.
" Ah tidak-tidak mari silahkan duduk dulu," Mangkuto menyilakan Tihu duduk di bangku yg disediakan untuk menunggu pembeli.
Terdapat meja kecil di tempat tunggu itu.
"Sebentar Tuan putri.. "
" Bahri !!! Cepat kemari! " seru Mangkuto pada Bahri.
Bahri pun tergopoh-gopoh menghadap pamannya.
" Ya paman ada apa?! " sambil melihat seorang gadis manis bermahkota bulan sabit duduk di ruang tunggu.
" Buatkan teh tarik untuk tiga tamu kita ini," kata Mangkuto.
" Baik paman," jawab Bahri, yang kemudian bergegas ke dapur.
Lalu Mangkuto memanggil Mawinei dan Andiek untuk duduk bersama Tihu. Kedua anak itu pun menghampiri Tihu dan duduk bersamanya.
" Bagaimana kalian tahu disini ada pengguna batu bintang? " tanya Mangkuto.
" Sebelumnya aku menyuruh batu bintang unguku ini paman, untuk mencari pengguna batu bintang yang bersedia membantuku menyelesaikan masalah di Pa'apu," Tihu menjelaskan.
" Tapi kami kesini karena nenek Mawinei menginginkan beberapa rempah-rempah yang susah dicari di tempatnya," sambung Tihu.
" Paman bilang di sini ada pengguna batu bintang? " tanya Tihu bersemangat.
" Apakah paman orangnya," tanya Tihu kembali.
" Ya aku juga pengguna batu bintang tapi sepertinya yang kau cari bukan aku melainkan. .. " belum sempat Mangkuto menyelesaikan ucapannya.
" Mari nikmati teh tarik hangat," Bahri datang membawa nampan dengan teko dan lima cangkir terbuat dari keramik buatan negeri Cani.
Dengan cekatan Bahri memperlihatkan teknik penyajian teh tarik yang membuat Tihu, Mawinei, dan Andiek terpana.
Teh yang bercampur susu dengan dibubuhi rempah cengkeh, kayu manis, jahe, sedikit garam, dan manisnya gula kelapa.
Disajikan Bahri dari teko ke cangkir dengan cara meninggikan tuangannya sehingga dalam cangkir terjadi busa susu yang melimpah.
Aroma teh susu bercampur rempah itu sungguh harum menggoda ketiga anak itu untuk mencicipi nya.
Mangkuto terlihat puas dengan kemampuan Bahri yang membuat dan menyajikan teh tarik itu kemudian bertepuk tangan setelah Bahri menyelesaikan penyajian minuman itu.
Tihu, Mawinei dan Andiek pun turut memberi apresiasi mereka dengan ikut bertepuk tangan.
" Hebat sekali cara menyajikan teh ini," kata Tihu.
" Tapi bagaimana dengan rasanya,"Mawinei penasaran.
" Oh mari, mari silahkan diminum kalian pasti suka rasanya," Mangkuto mempersilahkan ketiganya mencicipi teh tarik itu.
Andiek meminum lebih dulu dan tersenyum-senyum kenikmatan. Serasa dirinya tamu mewah ketika merasakan minuman tersebut.
Tihu segera menanyakan resep minuman itu pada Mangkuto, dia ingin sekali orang tuanya mencicipi berbagai jenis minuman yang menurutnya baru dia rasakan.
Mawinei dengan mudah menebak rempah-rempah yang menjadi campuran minuman itu, menurutnya akan lebih nikmat lagi jika ditambahkan sedikit kapulaga dan itu jadi mengingatkan pesanan neneknya.
" Oh iya aku hampir lupa pesanan nenek yaitu kapulaga," kata Mawinei.
" Nantilah, kita nikmati dulu minuman ini ," kata Mangkuto.
" Pengguna bintang yang kalian cari adalah dia, keponakanku yang bernama Bahri Masiak ini," kata Mangkuto sambil menunjuk Bahri.
" Apakah nenekmu bernama Kaayat? " tanya Mangkuto pada Mawinei.
" Benar paman, darimana paman tahu," tanya Mawinei.
" Yah pertama dari baju yang kau kenakan, dan kedua dia adalah ahli rempah-rempah, dulu kami berlima juga bertualang bersama tapi tidak senyaman kalian seperti sekarang ini." Mangkuto mulai berkisah.
" Dulu, seperti yang sudah kalian dengar dari nenek Kaayat dan Dato' Lamaraeng kami pengguna bintang generasi lama saling bahu membahu menghadapi berbagai kekacauan yang dibuat pengguna batu bintang kegelapan."
"Semua perbuatan mereka bisa kami atasi dengan kerjasama kami berlima, aku yang paling muda diantaranya," sambil memandang Andiek.
"Nenekmu satu-satunya wanita yang sangat berjasa bagi kami semua, tanpa kemampuan shaman dari nenek Kaayat mungkin kami semua sudah mati keracunan.
Nenekmu ahli dalam hal membuat penawar racun," lanjut Mangkuto sambil memandang Mawinei dan tersenyum.
Masih tersimpan dalam ingatannya mengajari nenek Mawinei berbalas pantun, dan dia sungguh terharu tradisinya itu dia wariskan pada cucu-cucunya baginya itu sungguh luar biasa.
Seandainya tidak diselamatkan nenek Mawinei pada saat itu, mungkin saat ini dia tak bisa lagi melihat generasi baru pengguna batu bintang.
Mawinei yang mendengar kisah Mangkuto juga semakin bangga dengan neneknya yang ternyata lebih hebat dari apa yang selama ini dia pandang.
" Bahri, paman pikir kamu harus ikut dengan mereka, mereka membutuhkan kekuatanmu", kata Mangkuto kepada Bahri.
" Tapi paman bagaimana dengan lapak kita bukankah apak ingin Bahri yang menjalankan berdagang di lapak ini? " jawab Bahri, meskipun di dalam hatinya juga riang gembira bisa menemani gadis yang dipilih hatinya.
" Tentang hal itu nanti biarlah aku yang menjelaskan pada ayahmu, dan aku yakin ayahmu tak akan keberatan apalagi kau punya tugas yang lebih penting dari sekedar berjualan rempah-rempah," Mangkuto menenangkan Bahri.
" Apakah ini semua berkaitan dengan desas-desus yang aku dengar di pasar ini? " tanya Bahri pada pamannya.
" Desas-desus apa itu ?" Mangkuto ingin tahu.
" Tadi ada dua prajurit bicara tentang ular sebesar pohon kayu medang di lereng gunung Rembuba, rasanya mustahil jika sekejap dijumpai ular sebesar itu tidak sejak dari dulu, bukan?" jelas Bahri.
" Hah!!! Sebesar pohon medang ular macam apa itu ? " Mawinei yang paham tentang berbagai pohon ikut terkejut.
" Memang sebesar apa pohon medang itu ? " tanya Andiek.
" Bayangkan jika sebelas orang dewasa merentangkan tangannya mengelilingi dan memeluk sebuah batang pohon, nah!Sebesar itulah pohon medang. " Mawinei memberi gambaran sederhana pada Andiek untuk dibayangkan.
" Waaaa.. ular raksasa itu namanya!" Bayangan ular itu digambarkan Andiek dengan lugas tapi memang tepat adanya.
" Sepertinya mereka kembali melakukan ambisi yang dulu sempat kami gagalkan," gumam Mangkuto.
" Tapi paman apakah desas-desus itu sungguh nyata? " tanya Bahri kembali.
" Jangan heran, kekuatan batu bintang kegelapan juga sungguh mengerikan, musuh kami dulu ada yang punya kekuatan membuat gerbang sinar yang bisa mengeluarkan binatang-binatang berukuran besar," Mangkuto kembali teringat masa lalunya.
" Andiek kau pernah mendengar legenda ikan naga Thecalonca?" tanya Mangkuto kepada Andiek.
" Pernah paman, kakek Dato' pernah bercerita tentang ikan thecalonca itu," jawab Andiek.
" Itu bukan hanya legenda itu nyata dan itu ulah si pengguna batu bintang kegelapan. "
" Kalau saja tidak ada Dato' Lamaraeng, ikan itu sungguh ancaman bagi perairan negeri Nasutaran, syukurlah Dato' Lamaraeng bisa berbicara dengan ikan itu melalui batu bintang biru keabuan yang dia miliki."
"Dan ikan itupun mau mendengarkan Dato' Lamaraeng dan justru menjaga pulau Walesisu, itu dia buktikan ketika negeri atas angin tepat di utara Walesisu hendak menyerang kerajaan Wasuwa, ikan besar itu memporak porandakan armada laut mereka dan hingga sekarang mereka akan berpikir seratus kali jika hendak mencoba menyerang kembali," Mangkuto mengakhiri ceritanya yang panjang itu.
Ayo Thor ini request aku pengen novel ini jangan di tamatin dulu