Satu persatu teror datang mengancam keselamatan Gio dan istri keduanya, Mona. Teror itu juga menyasar Alita, seorang anak yang tidak tahu apa-apa. Konon, pernikahan kedua Gio menjadi puncak kengerian yang terjadi di rumah mewah milik Miranda, istri pertama Gio.
“Apakah pernikahan kedua identik dengan keresahan?”
Ada keresahan yang tidak bisa disembuhkan lagi, terus membaji dalam jiwa Miranda dan menjadi dendam kesumat.
Mati kah mereka sebagai tumbal kemewahan keluarga Condro Wongso yang terus menerus merenggut bahagia? Miranda dan Arik kuncinya...
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon skavivi selfish, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Rumah Kutukan Istri Pertama ¹⁶
Dalam beberapa praktik spiritual dan kepercayaan entitas tertentu, pagar gaib biasanya dapat digunakan untuk memisahkan ruang fisik dari dunia spiritual atau menghalangi akses sesuatu yang tidak berwujud masuk ke dalam rumah. Tetapi bagi Miranda, benteng tak kasat mata itu dia gunakan untuk menahan kutukannya agar tidak menyasar ke mana-mana. Cukup di rumahnya, menjebak dua orang itu dalam derita yang akan menggerogoti akal sehat.
Miranda suka hal itu meski tak memungkiri ada sensasi getir yang menjepit balas dendamnya.
“Temenin Alita, Bi. Aku masih ada urusan.”
Miranda Condro Wongso mengantar Bibi Darmi ke rumah orang tuanya setelah mengurus hal-hal yang membuatnya senang.
“Aku pulang malam, terus ingatkan abdiku untuk menjaga dupa tetap nyala!”
Bibi Darmi cepat-cepat memegangi lengan Miranda seolah ada keberanian lain yang mendorong dirinya untuk melakukan itu. Meski secepat mungkin dia melepaskan.
Miranda tersenyum paham. Kecemasan wanita itu masih seperti seorang Ibu yang takut anaknya kenapa-kenapa. Bagaimanapun juga, Bibi Darmi telah menemaninya sampai setangguh baja dan sekejam belati dengan waktu dan kasih seperti membesarkan anak-anaknya sendiri.
“Satu dari mereka akan mati, Bibi tahu siapa itu?”
Bibi Darmi menggeleng, bukan tidak tahu, dia jelas sangat tahu siapa yang akan mati di tangan Miranda. Tetapi ini soal batin yang tidak bisa di tahan-tahan lagi.
Bibi Darmi meraih tangan Miranda dan menggenggamnya. “Apa harus seperti ini?” tanyanya lembut, tak ingin menyinggung walau ingin mencampuri urusannya.
Miranda memandangi jam di dasbor mobil, masih ada cukup waktu untuk ke kantor. Mengurus urusan lagi yang jauh lebih penting dari urusannya tadi.
“Setelah Gio tahu siapa aku, Gio pasti sudah nggak mau lagi sama aku, Bi. Dan untuk memperbaikinya aku gak bisa, aku hina, sebaik apapun aku pada sesama, padamu, aku tetap berdosa. Hukumanku dan keluargaku neraka, Bibi paham?”
Bibi Darmi sejatinya paham kekurangan-kekurangan yang dimiliki Miranda hingga Gio memutuskan mendua. Watak pekerja keras yang selalu di miliki oleh pemimpin hingga menenggelamkan sejatinya kelembutan seorang wanita dan benang merah yang mengikat menjadikannya sempurna tapi tidak sempurna.
“Gio bisa saja tidak mau lagi, tapi bagaimana dengan Alita? Non Miranda tidak malu menjadi seorang pembunuh sekarang?”
Perut Miranda terpelintir oleh pertanyaan gila itu, di satu sisi dia bertanya-tanya akankah Alita akan tahu riwayat keluarganya, terutama dirinya?
“Alita masih kecil, Bi. Dia masih bisa di bohongi.” ucap Miranda pelan.
“Kalau begitu Non Miranda itu sama seperti Bapak. Tukang nipu, cerdik, dan nggak mau kalah.” Bibi Darmi melepas tangannya. Ada kekecewaan yang terpancar di matanya setelah mengetahui estafet buruk itu mendarah daging dengan erat.
“Masih ada waktu buat memaafkan dan melepas Pak Gio, Non. Terutama menyelamatkan Non Miranda sendiri dari kekecewaan hati Non Alita.”
Ini adalah perjalanan berisiko. Bercerai dengan Gio dan membuatnya hidup bahagia dengan Mona kelihatannya tidak adil. Terlebih lagi dia pasti tak tahan dengan gunjingan yang akan Gio lemparkan bertubi-tubi setelah memaafkan dan melepasnya.
Miranda memandangi Bibi Darmi, cinta dari wanita itu sebagian telah memenuhi porsi hidupnya setelah Ibunya linglung dan persetan pada dunia.
“Aku tidak bisa melawan Papa. Beliau juga terluka atas tindakan Mas Gio.”
Bibi Darmi mengangguk paham. “Untuk melepas perjanjian iblis memang perlu menumbalkan banyak pilihan. Cuma sekarang, pikirkan keselamatanmu sendiri.”
Tanpa mengucapkan janji apa pun, Miranda keluar mobil dan membukakan pintu. Dia tersenyum manis sambil mengulurkan tangannya, berniat membantu Bibi Darmi turun dari mobil.
“Sementara pakai dasternya Mira dulu, Bi. Terus nggak perlu repot-repot bantu yang lain. Bibi istirahat aja, capek kan ngurus Non Mona?”
Bibi Darmi memukul lembut tangan Miranda, “Kamu ini Non, sudah stres mikir kantor masih saja ngeyel sama nasihat Bibi.” ucapnya galak sambil turun dari mobil.
Senyuman Miranda menghilang cepat-cepat, dia memanyunkan bibir sekarang.
“Namanya juga sedang tersakiti, Bi. Nggak ingat memangnya Bibi sama stiker cinta ditolak dukun bertindak?”
Satu cubitan gemas menyasar lengan Miranda, Bibi Darmi agaknya memang gemas bukan main.
“Main-main boleh asal jangan mati!” Ketegasan itu dibumbui dengan sorot mata tajam. “Bibi ini begini karena sayang kamu dan Non Alita.”
Miranda mengangguk, tak lebih dan tak bukan karena mematikan nyawa seseorang secara disengaja adalah hal terburuk dan mengerikan.
“Aku pergi dulu ya, Bi.”
Bibi Darmi bisa memahami mengapa Miranda mengiyakan dengan ragu-ragu. “Hati-hati. Energimu ada batasnya!”
Sambil mengemudi, Miranda berjuang menghirup napas dalam-dalam untuk memompa darah ke paru-paru dan otak secara maksimal seolah-olah dengan cara itu otaknya segar kembali.
“Kalo bisa aku lebih milih mencakar-cakar muka Mona dengan kukuku sendiri.” Miranda meraung sambil memukuli kemudi. “Tapi melihatnya langsung aku nggak sanggup. Aku nggak sanggup lihat Mas Gio mencintainya lebih dari dia mencintaiku!”
Miranda tampak berjuang keras menyingkirkan beban yang menindih dadanya. Semakin lama semakin berat, dan puncak dari rasa frustasi, kesedihan, dan kesendirian itu adalah tangisan tanpa suara yang tampak menyakitkan.
Sepanjang jalan yang dilalui tanpa ampun itu, pernyataan Bibi Darmi agaknya memperumit pilihan hidupnya. Perceraian adalah jalan yang terbaik bagi semuanya, tapi...
Melalui lorong panjang dan berkelok yang mengarah ke parkiran basemen, Miranda tiba-tiba membanting setir ke kiri.
BRAK...
Tubrukan antara mobil dan tembok membuatnya mendelik, selama beberapa menit saja, pikirannya yang berlari sendiri membuatnya tidak fokus.
“Kamu aman, Mbak?” Laki-laki muda bernama Arik itu menghampiri Miranda setelah wanita itu buru-buru keluar dari mobil dan melihat seberapa mantap hasil karyanya.
Miranda mengangguk. “Kamu sendiri aman? Maaf aku kurang fokus tadi.”
Arik, anak magang yang baru akan merasakan nikmatnya pulang kerja itu menggeleng. “Motorku aman, Mbak. Gak lecet, cuma jantungku kaget banget. Aku kira bakal di seruduk tadi.”
Miranda tersenyum. Untung gak ke seruduk, coba kalau iya? Mati tidak, boncos iya.
“Aku minta maaf sekali lagi. Buru-buru tadi!”
“Santai, Mbak. Gak jantungan aku, aman.” Arik meringis seraya kembali menaiki motornya, membawanya kembali ke parkiran basemen untuk memberi jalan Miranda.
“Makasih ya.” ucap Miranda.
Arik mengiyakan, tetapi dia justru kepikiran mobil Miranda yang penyok hingga lampu sein-nya pecah.
“Aku ada link tempat servis mobil yang oke kalo-kalo Mbak mau servis mobil.” ucapnya takut-takut.
Miranda melempar kunci mobilnya, dengan sigap Arik menangkapnya. Pun terheran-heran kenapa pula di lempar segala.
“Ya kalau kamu tidak mau di pecat gara-gara hal sepele kayak tadi, kamu bisa bawa mobilku ke tukang servis itu.” Miranda menunjukkan id card yang tersimpan di dalam tasnya. “Bosmu.”
Bola mata Arik membesar sebelum dia berkata, “Waduh.” Dan buru-buru mengiyakan.
Miranda tersenyum sambil melenggang pergi. “Mainan baruku selagi Gio pusing mikirin aku.”
-
👍 great...
menegangkan, seru
say Miranda
duh punya berondong manise disanding terus, alibi jadi sekretaris pribadi nih...
next
jgn2 miranda jd tumbl bpknya sndri. krn thu miranda sdg skit hati.