Yang satu punya banyak problematik, yang satunya lagi bocah bebas semaunya. Lalu mereka dipertemukan semesta dengan cara tak terduga.
Untuk tetap bertahan di dunia yang tidak terlalu ramah bagi mereka, Indy dan Rio beriringan melengkapi satu sama lain. Sampai ada hari dimana Rio tidak mau lagi dianggap sebagai adik.
Mampukah mereka menyatukan perasaan yang entah kenapa lebih sulit dilakukan ketimbang menyingkirkan prahara yang ada?
Yuk kita simak selengkapnya kisah Indy si wanita karir yang memiliki ibu tiri sahabatnya sendiri. Serta Rio anak SMA yang harus ditanggung jawabkan oleh Indy.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon zenun smith, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 16
Setelah bibir ketemu bibir walau hanya sekedar menempel, dampaknya terasa tidak main-main. Indy maupun Rio kembali ke kamar masing-masing sesudah Rio mengatasi masalah kelistrikan kepada pihak terkait. Listrik sudah kembali menyala, namun kesadaran dua insan di rumah ini belum sepenuhnya kumpul.
Menilik kondisi Rio, pemuda itu beberapa kali menyentuh bibirnya sendiri sambil terbayang aksinya. Dia tidak percaya kenapa bisa seberani itu meskipun hal tersebut adalah jawaban yang diinginkan Indy.
Berlarut-larut dalam teluk renjana memang sangat menyenangkan, namun memikirkan rasa itu banyak menyita waktu. Tidak mau keteter dalam hal apapun karena sibuk kasmaran, Rio pun bergegas mandi, mengerjakan tugas sebentar, dan memeriksa tanaman yang berada di balkon Indy kemudian lanjut makan malam.
Saat waktu sudah menunjukkan makan malam, Indy sudah menunggu di meja makan. Perempuan itu menatap ke arah Rio yang baru saja ke dapur tanpa tanpa canggung. Tegas dan elegan khas wanita karir.
Rio mendumal dalam hati karena keterlambatannya menyiapkan makanan. Seharusnya dia lah yang sampai lebih dulu di sana.
"Maaf," Rio tergesa-gesa menyiapkan makanan.
"It's oke."
Rio baru mengenal yang namanya cinta antara pria dan wanita. Dia suka mendengar orang-orang berkata; cinta itu buta, dunia serasa milik berdua, dan banyak lainnya dari yang manis hingga yang patah. Namun yang dialaminya sekarang bersifat manis juga menghancurkan jika tidak dikelola dengan baik.
Belom apa-apa, Rio sudah salah perhitungan.
"Rio, sambil kamu sibuk ini itu, sambil kamu jawab pertanyaan aku biar makannya nggak keganggu. Bisa?"
"Bisa kak. Memang kakak mau bertanya apa?"
"Aku penasaran, kenapa kamu tahu tentang Ryuga? perasaan aku belum cerita ke kamu!"
Jelas penuturan Indy memanglah suatu kebenaran. Perempuan itu belum bercerita sampai pada mimpi buruknya. Rio tahu tahu tentang Ryuga dari chatannya bersama Juni. Mereka saling balas membalas pesan sehabis bertukar nomor telepon.
Waktu itu,
Juni: Aku gak nyangka kamu jadi asisten rumah tangga di rumah Rhinzy. Kamu masih sekolah, dan kamu ganteng, udah gitu dia bukan tipe orang yang suka orang lain tinggal di rumahnya. Kamu tahu sendiri kan, dia pakai jasa Bi Cucum aja nggak sampai tinggal di sana.
Rio: Saya tidak tahu alasan kenapa saya diterima bekerja di sini. Yang pasti saya benar-benar seorang pekerja dan Nona Rhin adalah majikan saya.
Juni: baiklah kalau begitu, semoga saja Rhinzy memang benar seperti yang kamu bilang. Aku cuma cemas saja sama dia. Dia memiliki masa lalu yang kurang menyenangkan. Dulu adiknya kecelakaan tepat di depan matanya, dan sekarang kalau lihat remaja taksiran umur adiknya, dia selalu menganggap orang itu adiknya sampai bisa mengekang.
Rio: siapa nama adiknya?
Juni: namanya Ryuga. Kasihan sekali dia.
Rio: Mbak Juni sepertinya kenal baik dengan Nona Rhin.
Juni: iya, aku sangat mengenalnya dengan baik.
Rio tidak membalas lagi. Dia merasa tidak berhak bertanya lebih jauh tentang Indy.
"Oh jadi gitu. Kalian sudah berkomunikasi banyak ternyata ya."
"Tidak sih kak, hanya sebatas yang saya ceritakan. Setelah itu saya tidak lagi berkomunikasi dengannya."
Raut wajah Indy berubah. Rio telah selesai menata makanan dan ritual makan malam pun dimulai. Tidak ada obrolan apapun diantara mereka karena sejatinya Indy tidak menyukai cerita Rio yang tadi. Gerakan Indy tergesa-gesa. Dia menyuap semua lauk yang terhidang hanya satu sendok setiap jenisnya.
"Kak,"
"Hng? aku udah selesai."
Bret.. kursi Indy tertarik ke belakang. Indy pergi meninggalkan Rio yang sedang menatapnya keheranan.
****
Merasa perlu ada penyelesaian, sehabis beres-beres lalu sikat gigi, terus pakai parfum, nyisir rapi, normalin detak jantung, Rio mencoba berbicara dengan Indy. Pemuda itu mendatangi kamar Indy, mengetuknya pelan-pelan.
Tok.. tok.. tok..
"Nggak di kunci, masuk aja!"
"Ada apa Rio?" air muka Indy tidak seriak tadi.
"Aku minta maaf kak."
Beberapa detik terjadi keheningan. Indy bangkit dari duduknya, menghampiri Rio lebih dekat.
"Kamu bawa hp?"
"Bawa kak, ini."
"Ketik nomor telepon aku terus simpan!" titahnya yang membuat Rio langsung mengerti. Indy tidak suka Rio chatan dengan Juni.
"Sudah kak," Rio kembali menyakukan hp nya.
"Kalau ada apa-apa, hubungin saja nomor itu. Mengerti?"
"Berarti bukan hubungi nomor kak Vena lagi?" Rio menyiram bensin ke dalam kobaran api.
"Nggak usah, kesitu aja. Tapi kalau kamu maunya ke Vena, yaudah hapus aja nomor yang tadi!" Indy sudah ingin merebut hp Rio. Harga dirinya tercabik-cabik kalau saja Rio menjawab ingin menghubungi Vena. Hp yang mau direbut Indy langsung Rio amankan dari saku ke saku lain.
"Aku nggak mau hapus nomor ini. Aku sangat membutuhkan nomor kakak."
Berhenti sudah gerak serabutan Indy. Perempuan itu kembali tenang.
"Kalau udah nggak ada keperluan lagi, silahkan tinggalkan kamar ini Rio. Aku mau istirahat."
"Masih ada satu maaf lagi yang mau aku bilang. Maaf sudah berlaku lancang sore tadi. Dan--
JEDER!!!
Suara petir menggetarkan para kaca, disusul suara gemuruh yang semakin kentara. Kemudian hujan turun dengan derasnya. Jendela kamar Indy dalam kondisi gorden belum tertutup menampakkan malam yang tersapu angin. Rio menutup tirai jendela.
Blamp!
Terjadi pemadaman listrik bersama rumah-rumah yang lain. Keadaan menjadi gelap, terasa mencekam.
Lampu emergency menyala.
Indy berada dalam pelukan Rio. Perempuan tersebut yang memeluk Rio dengan erat.
Indy mendongak, Rio menunduk. Pandangan mata mereka bertemu. Rio kembali gugup saat Indy memejamkan matanya kembali. Haruskah-- terulang kembali?
Indy memiliki kebiasaan memejamkan mata ketika gelap menyergap terangnya. Dia melakukan itu sekarang dan tentunya salah diartikan Rio. Jarak mereka semakin tipis. Nafas masing-masing sudah saling menyapu, dan Indy yang tersadar Rio salah paham seketika membuka mata. Terlambat. Rio sudah mendaratkan bibirnya.
Indy kembali memejamkan mata. Tangannya terangkat memegang tengkuk Rio dan menariknya lebih dalam. Pagutan lembut sudah mereka rasakan. Indy membuka mulutnya, memberi jalan lidah Rio untuk masuk ke dalam. Rio mengangkat tubuh Indy lalu mendudukkannya entah itu meja atau benda lainnya.
Ditemani alunan rinai hujan, keduanya melepas ciuman pertama.
Beberapa saat kemudian pagutan mereka terlepas. Indy mengambil nafas dalam-dalam, lalu--- meraup bibir Rio kembali.
.
.
.
Bersambung.
Heh, jd keinget gaya helikopter nya Gea sm Babang Satria🤣