NovelToon NovelToon
Rumah Rasa

Rumah Rasa

Status: sedang berlangsung
Genre:Teen Angst / Teen School/College / Keluarga / Persahabatan / Bullying dan Balas Dendam
Popularitas:1.4k
Nilai: 5
Nama Author: pecintamieinstant

Rumah Rasa adalah bangunan berbentuk rumah dengan goncangan yang bisa dirasakan dan tidak semua rumah dapat memilikinya.

Melibatkan perasaan yang dikeluarkan mengakibatkan rumah itu bergetar hebat.

Mereka berdua adalah penghuni yang tersisa.

Ini adalah kutukan.

Kisah ini menceritakan sepasang saudari perempuan dan rumah lama yang ditinggalkan oleh kedua orang tua mereka.

Nenek pernah bercerita tentang rumah itu. Rumah yang bisa berguncang apabila para pengguna rumah berdebat di dalam ruangan.

Awalnya, Gita tidak percaya dengan cerita Neneknya seiring dia tumbuh. Namun, ia menyadari satu hal ketika dia terlibat dalam perdebatan dengan kakaknya, Nita.

Mereka harus mencari cara agar rumah lama itu dapat pulih kembali. Nasib baik atau buruk ada di tangan mereka.

Bagaimana cara mereka mempertahankan rumah lama itu?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon pecintamieinstant, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 15

Meja bertumpu bertemu meja di sampingnya.

Keramaian para pengguna kelas mengganggu ketenangan Gita setelah Salma berhasil mengejutkan dan sekarang dirinya tidak bisa tidur nyenyak.

"Kau punya kain atau bantal atau penutup kuping, Sal?" Gita melihat satu anak membuka buku, menggeser ke sisi selanjutnya.

Salma tertawa pelan, "untuk apa aku harus membawa bantal? Kita tidak menginap disini."

"Kalau lakban? Kau pasti punya karena selalu membawa alat menulis."

"Barang-barang itu disimpan di rumah dan untuk apa digunakan? Tidak ada sesuatu yang ingin ditempelkan."

"Ada yang harus ditempelkan. Mereka di sana." Gita menunjuk dengan arahan dagu. "Aku ingin menutup mulut mereka itu agar diam. Berisik sekali. Heran."

"Hei, jangan."

Perempuan yang menutup kuping sekarang beralih membuka jendela. Segar alami menerpa wajah kusutnya. Sensasi seperti terasa di hutan alami membuat mengkhayal.

Sampai-sampai bel yang berbunyi nyaring tidak terdengar sama sekali.

Senggolan tangan mengenai bahu Gita, menyadarkan temannya untuk kembali ke jalan yang benar, itulah Salma yang selalu mengingatkan akan pelajaran yang sebentar lagi dimulai.

Guru-guru memasuki waktu aktifnya untuk memulai. Hawa mengantuk menyuruhnya untuk memejamkan mata. Namun Salma selalu menyenggol Gita agar selalu sadar.

Begitulah siklus kehidupan berhari-hari. Belajar lalu bel berdering lagi, menyuruh berganti guru untuk menggantikan pelajaran ke hal yang baru.

Seterusnya hingga bel istirahat pertama dinyalakan.

Istirahat pertama dibuka dengan pelarian dua siswi melewati lorong panjang mengular sampai area depan seperti biasanya.

Kami berdempet menyenggol tubuh-tubuh mereka hanya untuk sampai menuju titik terdepan bagian kantin.

Suguhan gorengan tampak melesatkan siapa saja yang memandang. Tergiur penampilan cantik golden brown mengharuskan Gita mengeluarkan selembar uang yang dibutuhkan untuk membeli semua varian gorengan itu.

Kami harus bergerak cepat karena semakin lama semakin sesak dan goyangan seperti arus laut mengantarkan siapa saja yang lemah untuk dibuang dari area terdepan kantin tadi.

Ibu penjual pun kesusahan mengambil mana saja pelanggan yang harus dilayani karena murid-murid itu berteriak lancang sambil menyodorkan uang yang dilipat acak.

Tiba saatnya Gita menemukan kursi-kursi yang terlihat banyak pengunjung pagi ini.

Diisi Gita dan Salma, mereka menemukan tempat bagus strategis. Berada dekat tiang besi tinggi, mereka mengeluarkan jajanan yang dibeli penuh rintangan.

"Kali ini memang beruntung ya, Sal." Gita tertawa sembari mengunyah apa saja yang masuk, memuaskan napsu untuk menghabiskan.

Salma mengangguk, setuju dengan kenyataan bahwa dirinya dan teman disampingnya berhasil mendapatkan jatah makanan itu sebelum habis.

"Habis berapa kamu mendapatkan semua varian itu, Git? Ada udang, tempe, tahu, risol, nugget lagi. Ada tahu bakso, nasi kucing, sempol, batagor, bakwan, siomay. Kamu mau buka warung, Git?"

"Kau mau? Ambil saja. Gratis. Dan kau hanya membeli sedikit. Makanlah milikku. Tidak habis, ya tidak masalah. Bawa pulang, beres."

Salma menyeka pipi cemong, terkena saus kacang.

"Masalah berapa uang yang kamu tanyakan itu, aku tidak akan menjawabnya. Ini adalah rahasia, Sal. Tidak boleh tau terutama kamu," bisik Gita untuk menutupi berapa banyak uang yang dikeluarkan. Dia juga tidak mau temannya akan sibuk menceramahi dirinya lagi karena menghabiskan banyak uang Gita.

Sebenarnya uang yang dikeluarkan itu cukup besar, mencapai angka dua puluh ribu lebih dibandingkan Salma yang membeli satu hidangan berupa siomay siram saus kacang.

Menghabiskan sisa makan istirahatnya tidak membuat Gita bahagia karena terdapat banyak makanan yang dibiarkan dan tidak disentuh. Alhasil Gita berdiri menuju kantin kembali untuk meminta satu kantong plastik. Memasukkan semua hal yang dibeli, kami beranjak bangun, saling menatap tanpa berbicara apa pun. 

Siang itu, mereka berdua telah kembali menuju kelas. Hawa mengantuk selalu terjadi sebelum makan dan sesudah makan. Menguap membuka mulut, Gita bungkam dengan tangannya. Kaki berjalan malas, tangan direntangkan dan berolahraga kecil sembari fokus melihat anak-anak yang bermain di luar.

Sampai kami bisa mengantarkan diri menuju dalam kelas, Kael datang mencegat, bersama teman di sampingnya, Azka. 

"Nona muda, bawa apa di tangan?" Kael menargetkan pandangan licik menuju kantong putih yang menggantung oleh jari-jari Gita.

Gita melirik seperti laki-laki itu melihat barang bawaan.

"Tidak baik perempuan makan dengan porsi banyak." Kael melihat postur badan anak berkucir rambut di bawah pandangan matanya. 

"Kal, cukup. Hentikan." Azka mulai menyadari kata-kata yang dikeluarkan mulai mengganggu perasaanya. Risih hatinya ketika Kael menatap berdua dengan teman perempuan itu. 

Salma merasakan rasa tak nyaman, memegang pundak Gita, menggeret temannya untuk berjalan mundur.

"Kau kenapa, Sal? Menyuruhku untuk mundur sekarang." Gita menonton temannya berdiri di samping.

Gita mendongak kepala, mengerahkan penglihatan dua anak muda laki-laki yang menahan diri mereka masing-masing.

Terlebih Kael membahas tentang kantong kresek yang dibawa Gita selama mereka berempat berdiri.

"Kau mau ini?" tanya Gita mendadak mengangkat sisa bawaan jajanan yang tidak dihabiskan. "Tidak boleh, milikku semuanya."

Kael menyeru, "Perempuan seharusnya memberikan jajanan itu kepada laki-laki disini. Sebagai teman seharusnya seperti itu. Kau tidak bisa menghabiskan makanan banyak itu."

Azka menahan Kael yang selalu bergerak maju. Digigit bibirnya untuk meredam emosi yang akan bergejolak.

"Mengapa temanmu menjadi marah? Makanan ini adalah makananku. Ini barang ku dan tidak sepantasnya kalian merebut punyaku."

Suara menggelegar menjatuhkan siapa saja di dalam ruangan yang sama untuk memperhatikan pertengkaran.

Keinginan Gita untuk meninju seseorang kembali aktif.

"Git, jangan dulu. Pak Ali tidak ingin kita terlibat masalah baru, kan? Kita dengarkan laki-laki itu lagi." Salma memegang lengan, mengunci agar tidak kabur.

"Sal, aku tidak akan meninjunya atau menendangnya. Tenang saja. Ayo lepaskan." Pelan, suara itu dilepaskan untuk menenangkan temannya yang mengkhawatirkan kondisi yang tidak baik-baik saja.

Keadaan itu yang akan selalu ditekan dan ucapan Gita yang menenangkan Salma membuatnya setuju. Tangan yang ditahan mulai melepas.

Dia bisa bergerak leluasa tetapi masalah pertama yang dihadapi harus dituntaskan.

Gita menoleh lagi. "Kalau kalian ingin membeli sesuatu, gunakan uang yang kalian bawa. Seharusnya begitu, kan? Bukan asyik meminta paksa barang orang lain kecuali memang diperbolehkan. Tetapi untuk sekarang aku tidak akan memberikan kepada kalian."

Momentum selesainya perdebatan mengakhiri pertikaian kami berempat usai Bian mendatangi karena mendengar bunyi keras.

"Jangan tambahkan masalah baru kalian. Lelah kalau nama-nama kalian harus dituliskan ke buku hukuman. Mau?"

Kami menggeleng bersama.

"Debat apa lagi ini? Aku mendengar suara berisik di kelas ini dan kalian adalah pelakunya." Bian memegang sisi pinggang.

"Ajari dua anggotamu untuk jangan merendahkan perempuan ini. Kau seharusnya memberi uang jajan agar tidak memalak siapa saja yang masuk disini. Kau kan adalah orang kaya. Mereka lapar butuh makan. Butuh kau untuk membimbing."

Bian menghela napas. Pikiran lelah karena mengurus sesuatu di ruang guru ditambah urusan baru mengenai dua anggotanya hanya bisa menggeleng.

"Kalian duduk saja, aku akan mengurus orang-orang ini." Bian mengelus kening, menutup sepasang mata.

Setengah perjalanan dilanjutkan, mengantarkan Gita dan Salma menuju kursi pada baris agak ke belakang.

Diperhatikan bahwa Bian menjewer kuping Kael, Gita tersenyum puas, diikuti matanya yang menyipit.

"Anak itu bisa meminta ketua mereka. Mengapa harus makanan ini? Uang ini kupakai dari kerja keras."

"Iya, mereka memang salah untuk meminta sesuatu dengan paksaan. Sebaiknya kamu juga harus belajar bagaimana cara menghadapi suatu perdebatan dengan kepala dingin."

"Aku tidak paham ucapanmu." Tertawa pelan membuat penjelasan tadi semakin aneh.

"Dengan kata lain, dengarkan dulu apa yang mereka katakan, setelah itu kita bisa menjawabnya, menyikapi dengan baik agar tidak tersinggung."

Setelahnya menjadi diam. Penjelasan baru mengundang dirinya untuk tidak bisa berpikir apa-apa lagi kecuali omongan temannya yang memang sepertinya benar.

Gita semakin setuju mengenai usulan temannya yang kali ini mengharuskan untuk belajar sabar.

1
S. M yanie
semangat kak...
pecintamieinstant: Siap, Kak 🥰👍😎
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!