NovelToon NovelToon
THE CITY

THE CITY

Status: sedang berlangsung
Genre:Teen Angst / Identitas Tersembunyi / Epik Petualangan / Keluarga / Persahabatan / Angst
Popularitas:2k
Nilai: 5
Nama Author: pecintamieinstant

Kekacauan dunia telah melanda beberapa ratus tahun yang lalu. 30 anak remaja dikumpulkan oleh pusat mereka dari lima kota yang sudah lama dibangun. Sesuatu harus segera dicari, untuk menemukan wilayah baru, nantinya bisa digunakan untuk generasi selanjutnya.

Bersama anak laki-laki muda bernama West Bromwich, dia melakukan misi tersebut. Bagaimana caranya?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon pecintamieinstant, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

15

Pada sepetak kamar 07, tidak ada suara berisik, selain suara napas anak laki-laki di dalam. Sepi, dingin, ini hanyalah anak yang terbaring diam.

Mata yang menutup, masih tertahan di wajah West Bromwich, ketika anak itu berbaring diatas kasur empuk.

Setelah cukup seharian berlatih di bawah lantai, anak itu tersadar kembali.

Pusing kepalanya, haus tenggorokan, serta darah mengering disekitar bibir-bibirnya, merasakan begitu lama dia berbaring lemas.

Digerakkan kepalanya menyamping, terlihat telapak tangan terbalut kain putih, namun tidak semuanya.

Termenung sendiri sambil sesekali meremas pelan, kepada tangan yang terlilit tadi.

"Benar, aku sudah melakukan kecerobohan hari ini."

Karena terlalu lama bengong memikirkan latihan sebelumnya, kepala anak itu memicu pusing dan tak nyaman.

West mencoba meraih tangan kiri, sekedar menekan matras kasur sebagai tumpuan tubuhnya, dikala bocah remaja berusaha bangun.

Dengan tubuh yang diusahakan begitu keras, beserta suara napas capek, West berusaha menguras tenaga, dengan memposisikan tubuhnya. Membuat gerakan punggung diberdirikan sambil memegang erat lengan atas, telah terbalut kain putih.

"Akhirnya."

Kepalanya disandarkan pada tembok abu-abu. Wajahnya tidak bergairah senang, meskipun dia sudah melompati waktu berlatihnya.

Pada bagian atas, perekam itu masih menyorot anak malang. Infra merah ditunjukkan.

"Selamat malam, West." Alice muncul dari gelang menyala. "Saya cukup prihatin dengan latihan-mu hari ini."

"Tunggu? Malam hari? Berapa lama aku tertidur disini, Alice?"

"Kamu sudah tertidur selama hampir tujuh jam, West. Apa kamu masih tidak ingat tentang latihan tadi siang?"

West menatap atas, sebagai bentuk mengingat-ingat tragedi tadi. Tapi, semakin lama dia mencoba keras mengingatnya, rasa nyeri timbul kembali lagi kepada kepala West.

"Jangan terlalu banyak berpikir keras, West. Kamu melempar anak itu hingga dia harus dirawat, ketika tubuhmu mengalami luka-luka berat untuk mengangkatnya."

"Melempar?" West memundurkan sedikit tubuhnya.

"Benar, West. Kekuatanmu sungguh besar, dan dikeluarkan ketika kamu sudah tidak bisa menahan kemarahan lagi, West."

"Bagaimana dengan latihan hari ini?"

"Semua telah selesai berlatih. Untuk sekarang, semuanya sedang berada di area kantin. Jika kamu keluar kamar hari ini, berhati-hatilah karena untuk sekarang, karena semua anak-anak telah membicarakan mu."

West menunduk ketika kata, "membicarakan," sudah muncul kepada kedua kupingnya.

"Apa ada yang sedang kamu cemaskan, West?"

West menggerak kepala menghadap depan lagi. "Siapa yang membalut luka ini?"

"Oh, tentang itu, satu perawat telah merawat lukamu. Sejak kamu pingsan disini, West."

"Perawat? Seenaknya masuk tanpa ijin." Pikir anak penuh luka-luka.

"Apa ada lagi yang ingin kamu tanyakan?"

"Satu hal saja, Alice." West menekan bicaranya.

"Apa itu, West?"

"Siapa nama perawat tadi?"

"Suster Oriel Wisdom. Kamu bisa bertanya dengan suster itu lebih detail. Ada yang ingin kamu tanyakan lagi, West?"

"Tidak ada. Terimakasih." West menekan tombol tengah. Menghilang segera hologram Alice, tanpa jejak.

West mengelus dagu, dikala memikirkan sendiri pada ruangan sepetak kamar 07.

Pada kamar sepi dan gelap, West menyender kepala. Mengedip pelan, memangku dua tangan.

West tidak lama melamun, sampai pintu miliknya terbuka sendiri. Dua anak remaja datang masuk. Cahaya putih, mengganggu pandangan untuk melihat siapa wajah-wajah di sana.

"West!" Eme berlari memeluk West.

West tidak bisa menutup mulut, ketika perempuan itu pertama kali memeluk tubuhnya.

"A-apa kau menyentuhku, Eme?" West memerah tajam seperti cabe merah.

"Oh, ma-maafkan aku, West. Maaf, aku tidak bisa menahan diriku untuk menemui-mu." Eme mundur begitu anak laki-laki tadi, bertanya.

West membuka mulut sedikit. Disisipkan menonton anak rambut putih, sejak tadi berdiri lama.

"Jangan lihat aku. Aku hanya menuruti permintaan perempuan ini, untuk berkunjung untuk melihat keadaan mu." Erton bergaya melipat tangan.

"Sejak kapan kalian bertemu mendadak seperti itu?"

Erton berdiri dan bersandar badan kepada pintu keluar-masuk.

"Perempuan itu yang pertama kali datang memintaku untuk membawa ke kamarmu. Aku malas menjelaskan."

Eme berjongkok, setengah badan terlihat di atas permukaan kasur.

"Dia benar." Eme melihat sebentar ke arah Erton, lalu melihat wajah West. "Aku sengaja datang kepada Erton untuk meminta bantuan."

Sepasang mata dilihat terus dari West untuk mengamati Erton dan Eme.

Alis Eme didekatkan, seperti membuat cekungan.  "Sangat sakit, pasti. Lukanya cukup dalam," Eme meraba halus telapak tangan West.

Tangan West tidak bisa digerakkan selama Eme terus merasakan derita luka dari lilitan perban.

"Semua orang membicarakan tentangmu tentang kejadian tadi. Kami tidak bisa menghentikan mereka."

"Apa?" West bertanya usai Erton masih menyender punggung di sana dan memainkan gelang pribadi.

"Erton berkata benar. Kami tidak bisa  melawan orang-orang yang membicarakan tentangmu. Para petugas akan menyetrum kami jika berusaha melawan."

West menggigit gigi sendiri. Anak laki-laki terbaring lesu, tidak bisa berjuang untuk keadilan harga dirinya.

Walaupun sehebat dia memiliki kekuatan melempar atau kekuatan fisik, tentu masih kalah melawan kabar-kabar burung yang beredar pesat.

Eme dan Erton berdiri, ketika suara pengeras gedung, menyala memerintah.

"Kita harus kembali. Ayo." Erton menunggu Eme, dekat pintu yang terbuka otomatis.

"Maaf, West. Kami harus pergi berlatih."

Eme sedikit menangis yang dibungkus senyuman, ketika mata bulatnya berkaca-kaca selama melihat diri West untuk terakhir kali.

Dua anak remaja memutuskan untuk berpisah dengan satu anak laki-laki, terbaring sakit sejak tadi.

Kamar 07 sepi kembali. Tidak ada kunjungan atau kedatangan orang-orang baru.

Mata anak itu semakin lama memberat. Bosan bercampur rasa sakit, menjalar ke seluruh tubuh.

"Hey, Alice." West menekan tombol tengah.

"Selamat malam, West. Ada yang ingin kamu tanyakan?"

"Apa di kamar ini terdapat obat atau sesuatu yang bisa menyembuhkan tubuh dengan cepat?"

"Tentu saja ada, West. Tempatnya ada didalam laci bawah dekat meja belajar. Sebuah kotak perkakas, akan kamu dapatkan."

Cahaya lampu menjadi saksi seorang anak laki-laki remaja, berusaha mengobati luka-lukanya sendirian dalam sepetak kamar. Rasa sakit terbayang tak nyaman selama dia meraih satu toples kecil, berisi beberapa pil obat pereda nyeri.

"Mengapa harus minum setelah makan. Menyusahkan saja."

"Kamu harus melakukan itu, West. Datanglah ke area kantin, sebelum tutup. Tiga puluh menit lagi, kantin tidak akan beroperasi.

"Astaga," West bergetar tubuh ketika dia mencoba berdiri.

Sebelah kiri tangan anak itu, mencoba menahan sakit nyeri lengan atas. Dibawanya penuh usaha keras, sampai membuka pintu kamar miliknya yang Bergeser menyamping.

"Sepi sekali," West menatap lama ketika ia sadar, dia benar-benar sendiri berdiri, dalam penerangan sinar lampu.

Memakan waktu sangat lama—West menyusuri tiap anak-anak tangga. Memutar jalan sesuai tangga-tangga berurutan, selama naik menuju lantai lima.

Anak laki-laki berbeda sifat dari dua puluh sembilan remaja di kota Valcon, membuat perbedaan pada dirinya, maupun pada lingkungan disini.

Gaya hidup, sifat, dan ego setiap anak fase remaja, disatukan secara paksa selama tinggal bersama. Dikumpulkan entah apa tujuan pusat menyuruh kamu datang dan menginap.

Bisa saja, ada sesuatu yang sangat diharapkan dari anak-anak remaja seperti kami.

Sampai sekarang, kami masih tidak tau apa rancangan pusat kepada kami. Setelah semua yang telah terjadi sampai hari ini.

Kembali, pada jalanan sepi dan senyap, West terus menahan agar luka darah itu tidak tembus. Dinaikkan-nya hingga lantai kelima, West menyadari tentang satu hal baru.

Anak laki-laki berotot yang pernah ditemuinya saat berkelahi dengan-nya, pada tempat yang sama. Anak itu duduk meratapi nasib.

"Apa yang sedang dia lakukan disini?"

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!