THE CITY

THE CITY

PROLOG!

..."Semua telah dimulai kembali."...

...***...

West Bromwich.

Namanya dalam sebuah kartu identitas, pada dompet kulit sobek berwarna coklat tua. Foto data diri, dengan deskripsi apapun yang tertera.

Rambut pendek hitam, memiliki warna mata coklat pada keduanya, dan dagu lancip serta wajah selalu tegang, ada padanya semuanya.

Baju hijau lengan panjang dan celana panjang hijau gelap, sudah menjadi bagian hidupnya, sejak ia lahir.

Kota Greny, menjadi kota sederhana, namun di sisi lain, ia juga melahirkan akan hasil pertanian makanan maupun minuman. Juga ternak-ternak hewan.

Kota Greny adalah asal kelahiran dari West Bromwich. Anak laki-laki dengan rambut hitam pendek, penuh mengawasi siapapun yang dilihatnya, dari mana saja. Jalannya selalu cepat, berlari cepat agak terburu-buru.

Dia juga lahir dari pasangan pak Winton Bromwich dan ibu Layla Bromwich. Dikaruniai satu anak, yaitu aku sendiri, sebagai anak tunggal.

Hanya saja, pak Winton telah meninggalkan keluarga kecilnya, tepat sebelum West bertumbuh remaja.

Anak itu tumbuh dalam pengawasan ibunya sampai dia mencapai batas anak-anak remaja untuk sekarang.

Saat yang tepat, untuk melepaskannya.

West telah lama merubah sifatnya menjadi agak kaku, tegas, dan mengintai siapa saja yang dilihatnya.

Pada dasarnya, seperti ayah kandungnya. Sebelas, dua belas.

Kegiatan pagi ini adalah keluar rumah menuju bangunan milik pak walikota kami.

Sejak kemarin malam, pesan-pesan itu terus saja menghantui pikiran West. Pesan yang dikirimkan tanpa henti. Dengan terpaksa, aku harus menerimanya.

Kalau tidak, pesan itu akan terus meneror rumah kami selamanya.

Begini surat darinya.

"Selamat malam kepada dua anak-anak remaja yang beruntung. Kepada West Bromwich dan Erton Smith, datanglah ke gedung walikota, besok pagi."

Matahari menyengat seperti biasanya. Kesibukan di jalanan-jalanan berlumpur, membuat sepatu West sering kali harus dibersihkan. Sengaja dilakukan untuk menghormati gedung yang akan kami masuki.

Selain jalanan berlumpur, terdapat pula jalanan beraspal dan rangkaian besi yang ditempelkan ke tanah, sebagai akses kereta sederhana yang dimiliki di kota Greny.

Sepanjang melintas menuju bangunan pusat dari kota Greny, lebih banyak warga-warganya, sangat sibuk mengurusi pertanian.

Remaja-remaja lain seumuran dengan- nya, pasangan-pasangan muda yang harus bekerja untuk kemakmuran kota ini, dan lainnya.

Deretan mobil-mobil rongsok, selalu berusaha diperbaiki oleh para montir yang ahli—dikirim dari kota lainnya. Jauh dari sini.

Kendaraan yang dimiliki hanyalah kereta umum, mengangkut tiga puluh sampai lima puluh orang setiap harinya. Selain kereta, tidak ada lagi. Mengandalkan kekuatan diri sendiri. Berjalan atau berlari.

Aku tidak hanya berjalan sendiri, tentu bersama satu sahabat laki-laki, bernama Erton Smith. Panggil saja Erton.

Anak berjaket hijau dengan saku-saku, membawa tas yang dikesampingkan. Kedua lengan ditutupi semacam kain yang dibalutkan warna hitam, dan rambut putih pendek, seperti kedua orang tuanya.

Masih ingat pada pikiran West, tentang kedua orang tua dari Erton. Pada kamar yang dirapatkan, secarik foto membuat West tertegun.

Erton berdiri di tengah-tengah dua orang dewasa, memegang peralatan menambang, dan dia tersenyum.

Dia selalu menumpang dalam rumah West, selama bertahun-tahun. Anak malang, telah lama kehilangan kedua orang tuanya, saat penggusuran lahan rumah lamanya.

Rumah lama milik Erton, jauh dari perkotaan. Dulunya, dia adalah anak yang hidup di kota Lumber, namun dia terpaksa dipindahkan ke kota Greny.

Penggusuran lahan, membuatnya geram jika harus mengingatnya lagi.

Kami berdua tumbuh bersama, sampai usia remaja muda nan matang.

Pagi itu, West dan Erton hendak menemui pusat kota Greny. Tidak megah, seperti lima kota lainnya, namun hanyalah gedung lima lantai biasa. Gedung bekas yang diolah kembali, sejak tragedi pembantaian akhir dunia.

Lagipula, ini hari pertama mereka masuk ke dalam bangunan.

"Tidak percaya, pak tua itu menyuruh untuk datang sekarang." Erton menatap atas, pada bangunan lima lantai. Tepat berada di depan bangunan.

"Jaga bicaramu. Jangan sembarangan." West memotong dan mempertegas bicaranya.

"Ucapan mu, seperti ibu-ibu rempong saja." Erton berjalan tidak peduli pada perkataan West Bromwich, dikala Erton memanggilnya, "pak tua."

West menggeleng capek, mendengar Erton yang tidak peduli dengannya, menilai dari gaya bicaranya seperti orang dewasa.

West dan Erton memasuki bangunan lantai satu, melalui kaca pintu retak— belum selesai diperbaiki. Begitu juga, pada ornamen bangunan, dalam tahap renovasi.

Ahli-ahli tukang bangunan, dikirimkan dari orang-orang terpercaya. Pemasok-pemasok bahan bangunan dikirim dari luar kota.

Di dalam juga tidak buruk soal kebersihan. Kecanggihan teknologi baru, hasil pengiriman dari luar kota.

Karpet merah terbentang panjang, sampai ujung sana.

"Kali ini, kau jangan bertingkah aneh." Aku menjelaskan situasi kepada Erton.

Aku sudah paham dengan apa yang terjadi disini. Setengah pasukan, dijaga ketat untuk mengawasi siapapun yang masuk dalam dan luar bangunan.

Bangunan ini, untung saja dilengkapi teknologi canggih, pemberian dari pusat kami. Paling pusat, dan bukan dari sini.

Yang ku tahu dari orang-orang, jantung kota dari lima kota ini yaitu kota Valcon, memiliki bangunan berteknologi, lebih maju dibandingkan lima Kota.

Kata orang-orang disini, kota itu benar-benar serba hitam. Hitam abu-abu.

Dari kejauhan, tampak menara tertinggi yang bisa dilihat dan dimasuki, jika beruntung.

Karena tempat itu memiliki semacam penghalang, dan hanya dibuka ketika ada pendatang yang masuk. Khusus saja. Tujuannya agar musuh dari pihak luar, tidak tau tentang kemunculan kota canggih itu.

Kecanggihan teknologi, terutama yang di kirimkan ke kota Greny, semua berasal dari sana.

Kota Valcon.

Jantung sekaligus pusat kota. Semua saling terhubung. Masing-masing dari lima kota ini, memiliki semacam keunggulan masing-masing.

Kembali lagi, box lift tadi terasa sangat dingin. Walau begitu, hanya ini yang bisa diandalkan dalam mengantar kami untuk bergerak naik.

Lantai lima menjadi tujuan kami, kali ini. Usai pak walikota memanggil kami melalui surat rahasia dengan hologram biru.

Aku tidak paham, apa yang direncanakan dari walikota kota ini. Rasanya seperti diremas cemas, dan tangan berkeringat dingin. Kaki kanan di- hentakkan sesering mungkin.

Selama berjalan box lift, Erton berjaket hijau army, selalu mengoceh denganku. Mengunyah permen karet tanpa waktu, dan tidak memikirkan sekitar.

"Jangan banyak bicara disini, Er. Semua mengawasi. Orang-orang mengawasi."

"Kau ini terlalu tegang, West. Rileks dulu." Erton yang membawa tas kecil tadi, menyenderkan di dinding lift besi. "Jangan bicara lagi, kalau itu maumu."

"Dasar." West memberhentikan suaranya, setelah dia selesai berbicara dengan Erton.

Box lift akhirnya berhenti tanpa disadari. Senyum sudah hilang dan mengendur. Awal dari semuanya, bisa saja telah dimulai.

Aku tidak tau apa saja rancangan dari pak walikota untuk kami berdua. Apakah baik, atau jahat.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!