Ini bukan kisah istri yang terus-terusan disakiti, tetapi kisah tentang cinta terlambat seorang suami kepada istrinya.
Ini bukan kisah suami yang kejam dan pelakor penuh intrik di luar nalar kemanusiaan, tetapi kisah dilema tiga anak manusia.
Hangga telah memiliki Nata, kekasih pujaan hati yang sangat dicintainya. Namun, keadaan membuat Hangga harus menerima Harum sebagai istri pilihan ibundanya.
Hati, cinta dan dunia Hangga hanyalah untuk Nata, meskipun telah ada Harum di sisinya. Hingga kemudian, di usia 3 minggu pernikahannya, atas izin Harum, Hangga juga menikahi Nata.
Perlakuan tidak adil Hangga pada Harum membuat Harum berpikir untuk mundur sebagai istri pertama yang tidak dicintai. Saat itulah, Hangga baru menyadari bahwa ada benih-benih cinta yang mulai tumbuh kepada Harum.
Bagaimana jadinya jika Hangga justru mencintai Harum saat ia telah memutuskan untuk mendua?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yeni Eka, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 16
"Ayo," ujar Hangga usai memindai tampilan istrinya.
"Tunggu, Mas!" Seruan Harum menahan langkah Hangga.
"Ada apa?" lontar Hangga.
"Maaf, Mas." Harum melangkah mendekati Hangga.
"Kamu mau apa?" lontar Hangga saat Harum yang sudah berdiri sangat dekat di hadapannya, mengulurkan tangan hendak menyentuh ke arah dadanya.
"Kancing kemejanya dingdet, Mas," sahut Harum.
Entah kenapa, Hangga diam saja saat jari lentik Harum mulai membuka satu persatu kancing kemejanya.
Dalam diam, pria yang tubuhnya tinggi menjulang dibandingkan Harum itu memperhatikan sang istri yang tengah sibuk merapikan kancing kemejanya yang tidak simetris. Hangga bisa melihat bulu mata Harum yang hitam lentik, hidungnya yang mancung, serta bibir mungil dan tipis yang dipoles gincu warna pink muda.
Sial.
Hangga mengumpat dirinya sendiri dalam hati, sebab ia merasa Harum sangat cantik malam ini. Paras Harum itu terasa meneduhkan di matanya.
Harum telah selesai merapikan kancing kemeja Hangga, tetapi Hangga masih berdiri terpaku di tempatnya. Tidak bergeser barang se inchi pun.
"Sudah, Mas. Yang dingdet cuma atasnya," ujar Harum karena Hangga masih betah pada posisinya.
Hangga menjawab dengan sebuah deheman. Tidak terbesit secuil pun untuk mengucapkan terima kasih.
Tanpa berucap, Hangga berjalan mendahului Harum menuju mobilnya. Dengan hati riang, Harum berjalan mengekor di belakang sang suami.
Pasangan suami istri itu masuk ke mobil. Hangga duduk di belakang kemudi, dan Harum duduk di sampingnya. Senyum Harum terus merekah saat sudah duduk di dalam mobil. Hatinya bahagia bukan main karena diajak "malam mingguan" oleh kekasih halal.
"Pakai seatbelt-nya," titah Hangga yang melihat Harum tengah senyum-senyum sendiri.
"Oh, iya," sahut Harum. Ia berusaha untuk memasang seatbelt, tetapi kok rasanya sulit sekali.
Hangga berdecak memperhatikan Harum yang kesulitan memasang seatbelt. Tanpa berucap, ia langsung meraih pengait sabuk untuk membantu memasangkan seatbelt. Hal tersebut membuat tangannya tidak sengaja menyentuh tangan Harum yang selembut pipi bayi. Seketika ada desir yang terasa merambati hati.
Hangga segera menarik tangannya begitu terdengar bunyi klik pada pengait seatbelt. Tidak mau berlama-lama terbuai oleh perasaan "aneh".
Tidak menunda-nunda, Hangga segera melajukan mobilnya. SUV warna putih itu berpacu menembus kepadatan jalanan di malam Minggu yang indah. Seindah hati Harum tentunya.
Bibir gadis ayu itu tak berhenti tersenyum, meskipun pria di sampingnya tidak sekalipun mengajaknya bicara. Hatinya sedang menerka-nerka ke mana gerangan suami tampan itu akan membawanya?
Sekitar lima belas menit waktu yang ditempuh Hangga untuk menghentikan mobilnya di area parkir sebuah mal. Masuk ke dalam mal, Hangga membawa Harum ke sebuah toko pakaian muslimah.
“Pilih saja yang mana yang kamu suka,” ujar Hangga datar saat mereka telah masuk toko pakaian muslimah.
“Iya, Mas.” Harum mengangguk ragu. Ia mengira, Hangga menyuruhnya memilihkan pakaian untuk Bu Mirna.
“Kalau yang ini bagaimana, Mas?” tanya Harum setelah mendapat gamis sederhana yang cocok untuk orang tua. Ia yang sudah lama bekerja dengan Bu Mirna, sedikitnya paham selera berpakaian Bu Mirna.
Mertuanya itu kerap tampil dalam balutan gamis sederhana.
“Ck. Selera kamu itu tua banget, Rum!” Hangga berdecak.
Kemudian Hangga mengambil satu set gamis model overall warna dusty pink. “Kenapa enggak yang model kayak gini?” Hangga menunjukkan gamis pilihannya.
Kening Harum mengerut melihat gamis pilihan Hangga. “Maaf, Mas. Apa model itu tidak terlalu muda untuk Ibu?”
“Untuk Ibu?” Kini Hangga yang mengerutkan kening mendengar ucapan Harum. “Ini untuk kamu, Rum. Bukan untuk Ibu.”
Harum tergemap mendengar jawaban Hangga.
“Buat saya, Mas?” tanyanya seolah tidak percaya.
“Hem.”
“Terima kasih, Mas,” ucap Harum semringah.
Meskipun sesungguhnya Harum tidak butuh membeli baju baru, namun hatinya gembira luar biasa. Ia menganggap ini adalah bentuk perhatian Hangga. Perhatian pertama Hangga kepadanya.
Bukankah hal itu menandakan hubungannya dengan Hangga ada kemajuan?
“Pilih tiga atau empat baju yang kamu suka. Jangan lama-lama. Habis ini kita ke supermarket beli buah, kebutuhan dapur dan lainnya untuk stok di kulkas. Terus habis itu kita cari tempat makan.”
“Iya, Mas.” Harum mengangguk semringah.
*
Sementara, di sebuah toko parfum yang terletak tepat di depan toko pakaian muslimah yang dimasuki Hangga dan Harum, ada dua pasang mata yang memperhatikan mereka.
“Itu Hangga bukan sih?” tanya Melly pada pria yang bersamanya.
“Iya, kayak Hangga,” sahut Jeremi—kekasih Melly.
“Bukannya Hangga sama Nata mau nonton ya,” ujar Melly yang memang mengetahui rencana malam Minggu Nata dan Hangga pergi ke bioskop.
“Apa cuma mirip aja?” lontar Jeremi.
“Ya udah cepat pilih dulu parfumnya. Habis itu kita samperin, biar enggak penasaran,” pungkas Melly. Lalu, kembali berkutat memilih parfum kesukaannya.
sungguh nikmat kn mas Hangga poligami itu 😈
yg bener nggak sadar diri
perempuan yang merendahkan diri sendiri demi cinta yg akhirnya di telan waktu