Cantik, cerdas dan mandiri. Itulah gambaran seorang Amara, gadis yang telah menjadi yatim piatu sejak kecil. Amara yang seorang perawat harus dihadapkan pada seorang pria tempramental dan gangguan kejiwaan akibat kecelakaan yang menimpanya.
Sanggupkah Amara menghadapi pria itu? Bagaimanakah cara Amara merawatnya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon SHIRLI, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Oh No!
Winda berjalan setengah mengendap-endap menuju ruang perawatan. Pandangannya memeriksa satu persatu dengan hati-hati seperti sedang mencari seseorang dalam sebuah misi rahasia.
Setelah beberapa lama, mata wanita paruh baya itu tampak berbinar sangat senang, seperti menemukan oase di tengah Padang.
Ia benar-benar memasang mata serta telinganya untuk mengawasi gadis yang berada di dalam sana melalui celah pintu yang sedikit terbuka.
Pranggg!
Ia berjingkat saat sebuah nampan terbuat dari aluminium terlempar ke lantai karena ulah anak kecil yang tak mau diminumi obat oleh Amara.
Winda menyunggingkan senyum penuh kepuasan, menanti reaksi yang akan ditunjukkan Amara pada bocah yang membuat kesal gadis itu. Ia buru-buru mengeluarkan ponsel dari tasnya dan langsung menekan icon bertuliskan kamera. Sepertinya akan sangat viral jika sampai video perawat yang marah-marah pada anak kecil ini tersebar. Huh, baru membayangkannya saja sudah membuat Winda terpingkal-pingkal.
Namun yang terjadi ternyata di luar dugaannya. Winda hanya bisa menelan ludah, sebab dengan telaten Amara membujuk bocah itu sampai mau makan dan meminum obat itu sekaligus.
"Sial, Inyong gagal maning! batin Winda kesal sambil mengembuskan napas kasar.
Menyimpan lagi ponselnya, Winda kembali mengawasi Amara yang tengah dengan telaten menyuapi bocah. Bahkan dia membersihkan sendiri tumpahan makanan yang berserak di lantai.
Begitu seriusnya mengawasi Amara dari ambang pintu, sampai-sampai membuat Winda tak memperhatikan keadaan sekitar, dan bruggh! Tubuh Winda yang setengah membungkuk dengan kepala melongok ke dalam itu tertabrak seseorang hingga terjungkal di lantai dengan kardus besar berisi sampah-sampah plastik berhamburan menimpa tubuhnya.
Winda yang selonjoran di lantai hanya bisa ternganga dengan bola mata yang membulat sempurna meratapi keadaannya.
Tak ubahnya dengan sosok tambun di depannya. Pria petugas kebersihan itupun terkejut, sampai-sampai melotot tak percaya meratapi kekacauan yang harus dibereskannya.
Winda yang semula menunduk mengamati dirinya, langsung mengangkat pandangan dan menatap sang pria dengan penuh kemarahan.
"Pak! Bapak punya mata, nggak sih! Kalau lagi jalan pakai mata dong, pak! Biar nggak nabrak orang!"
"Ye, si Ibu kenapa sewot! Di mana-mana orang jalan itu pakai kaki, Bu! Bukannya mata!" sahut lelaki itu tak kalah kesal.
"Ih, kok malah situ yang marah-marah!" geram Winda, lantas membanting kardus yang masih menindih kakinya hingga terpental. Wanita itu kemudian bangkit meski perlu sedikit perjuangan, sebab benturan saat terjungkang tadi lumayan membuat pantatnya terasa nyeri, dan owh, punggungku! Winda meringis sambil memegangi pingganya yang keseleo.
"Kenapa, Bu? Sakit pinggang, ya?" tanya lelaki itu dengan nada sindiran, lalu sedetik kemudian ia tertawa terpingkal-pingkal.
"Hey, apanya yang lucu!" Winda tampak semakin geram. "Oh, kamu ngeledek saya Kamu nantang saya? Berani kamu sama wanita? Okey, siapa takut. Ayo kita ribut!" serunya dengan nada menantang sambil menyunggingkan lengan panjang baju yang dikenakannya.
"Tante Winda!" panggil Amara seketika dengan wajah terkejut bercampur panik. Entah sejak kapan gadis itu berdiri di sana. "Tante ngapain di situ?" tanyanya kemudian dengan wajah kebingungan.
Winda yang tak kalah terkejut seketika tubuhnya membeku dengan mata yang membulat, bibir ternganga dan kedua tangan yang terkepal seolah siap untuk baku hantam. Namun sesaat kemudian ia tersadar dan segera merubah posisi tubuhnya. Tangannya bergerak mengibas-kibas untuk menyembunyikan wajahnya yang gusar.
Amara melangkah cepat untuk mendekat. Ia menatap dua orang itu bergantian seolah menuntut penjelasan.
"Bapak, ini ada apa ya?" tanya Amara kemudian.
"Si Ibu, nih Mbak. Berdiri di sini menuhi jalan. Kan jadinya dia ketabrak!" jelas lelaki itu dengan sedikit rasa kesal.
"Ye, kan Bapak yang nggak lihat-lihat jalan! Kenapa jadi saya yang disalahkan!" Winda tak mau kalah. "Lewat di sebelah sana kan bisa, ngapain mesti minggir-minggir ke sini!"
"Terus ngapain tadi Ibu nungging-nungging di situ? Lagi ngintip, ya?" tuduh lelaki itu sambil menudingkan telunjuknya.
"Eh sembarangan! Enggak kok!" Winda sontak tak terima. Ia berkelit dengan menggelengkan kepala. Meski menyangkal, tapi wanita itu tak bisa menyembunyikan perasaannya yang mendadak didera kepanikan.
"Makanya Bu, jangan suka ngintipin orang!" Seru petugas itu dengan nada kesal.
"Ih, siapa juga yang ngintip! Nggak ada kerjaan banget saya ngintip," elak Winda sambil mendengkus kesal.
"Ya, ampun, masih ngelak juga. Apa perlu kita pastikan melalui rekaman kamera CCTV biar semua jelas?"
Mendengar itu, Winda sontak membelalak dan ternganga. Wajahnya yang memucat terlihat panik.
Namun ekspresi Winda itu tak luput dari pengamatan Amara. Ia tahu ibu kandung Juan itu ketakutan, hingga gadis itu memutuskan menengahi untuk menghentikan ketegangan. "Bapak, atas nama Tante Winda saya mohon maaf ya pak, mungkin tante Winda tadi nggak sengaja, karena memang lagi nyariin saya," ucap Amara dengan sopan pada petugas yang masih kesal itu.
"Ih, kok minta maaf, orang tante nggak salah, kok," Winda protes tak terima.
"Wah, si Ibu ini memang nggak ada ahlak ya." Pria itu geleng-geleng kepala, lantas menoleh ke arah Amara. "Mbak Mara hati-hati aja sama dia, dia tadi lagi ngintipin mbak Amara tuh!"
"Ih amit-amit! Siapa yang ngintip! Sembarangan ya!"
"Sekali lagi maaf ya pak," Amara lagi-lagi menengahi.
"Harusnya kan dia yang minta maaf mbak. Orang salah, nggak mau ngaku. Aneh!" maki petugas itu kesal. Ia lantas membungkukkan badan, memunguti sampah plastik yang tadi sempat berhamburan.
Amarapun tak tinggal diam, ia turut membantu pria itu memungut sampah.
"Terima kasih sudah membantu, Mbak Amara," ucap petugas itu setelah semua sampah berpindah ke kardus.
"Nggak perlu sungkan, Pak," balas Amara ramah.
"Mbak Amara orang yang baik, jadi kelak pasti akan menemukan jodoh yang baik pula," imbuh pria itu tulus seperti mengucapkan doa.
Amara tersenyum haru, "Aamiin, terima kasih atas doanya, Pak."
"Sama-sama Mbak." Pria itu lantas menoleh ke arah Winda. "Sedangkan orang yang punya niat jahat, tak akan mendapatkan ridho dari Tuhan," ucapnya dengan nada sindiran.
Sontak saja perkataan pria itu membuat Winda murka. "Apa! Siapa yang jahat!" sentaknya sambil membulatkan mata.
"Kamu!" balas pria itu sembari berlalu. Namun pandangan masih menyorot tajam ke arah Winda penuh peringatan. Keduanya masih saling menatap tajam seperti saling melempar ancaman hingga petugas itu tak nampak dari pandangan.
"Tante, siapa yang sakit?"
Pertanya Amara membuat Winda berjingkat karena terkejut.
"Memang siapa yang sakit?" Winda malah balik bertanya dengan ekspresi tanpa dosa. "Nggak ada yang sakit, kok!" imbuhnya ketus.
"Kalau nggak ada yang sakit terus kenapa tante ada di sini?"
"Oh itu, emm, anu--" Winda tergagap. Ia memotong ucapannya selagi mencari alasan yang tepat. "kepala Tante tadi pusing sedikit, terus nggak sengaja mampir," kelitnya sambil nyengir.
"Oh, jadi kepala Tante pusing? Jangan dibiarin Tante, ayo sini aku periksa," ajak Amara penuh kesungguhan.
Waduh, gawat nih. Batin Winda. "Eh enggak usah, Amara, Tante baik-baik saja," tolaknya gugup sambil tersenyum kecut.
"Tante kalau pusing di biarin bisa bahaya. Kita tensi dulu, yuk." Amara menggandeng tangan Winda menghelanya dengan lembut.
"Oh no! Mara jangan, Mara, Tante takut jarum suntik ...!" rengek Winda dengan wajah yang seketika memucat.
Bersambung.
kasih bonus dong 😘😘😘
😨😨