Ini cerita sederhana seorang pemuda di pedesaan. Tentang masalah pertumbuhan dan ketertarikan terlarang. Punya kakak ipar yang cantik dan seksi, itulah yang di alami Rangga. Cowok berusia 17 tahun itu sedang berada di masa puber dan tak bisa menahan diri untuk tak jatuh cinta pada sang kakak ipar. Terlebih mereka tinggal serumah.
Semuanya kacau saat ibunya Rangga meninggal. Karena semenjak itu, dia semakin sering berduaan di rumah dengan Dita. Tak jarang Rangga menyaksikan Dita berpakaian minim dan membuat jiwa kejantanannya goyah. Rangga berusaha menahan diri, sampai suatu hari Dita menghampirinya.
"Aku tahu kau tertarik padaku, Dek. Aku bisa melihatnya dari tatapanmu?" ucapnya sembari tersenyum manis. Membuat jantung Rangga berdentum keras.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Desau, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 15 - Cewek Kota
Dita meletakkan sebuah baskom berisi air hangat di atas meja makan, disusul dengan handuk bersih yang masih terlipat rapi. Gerakannya tenang, teratur, seperti seseorang yang sudah terbiasa mengurus rumah. Ia lalu menoleh ke arah Rangga yang masih duduk di kursi dengan wajah letih.
“Kompres matanya ya. Jangan keras-keras,” ujar Dita sambil menunjuk baskom itu.
Rangga mengangguk pelan. Matanya masih terasa perih dan sedikit berat. Bintitan yang muncul sejak kemarin membuatnya tidak nyaman. Dita tak menunggu jawaban lebih lanjut. Ia berbalik dan melangkah menuju kamar, meninggalkan Rangga sendirian di ruang makan.
Begitu Dita menghilang dari pandangan, Rangga langsung mendengus lega. Bahunya sedikit mengendur, seolah baru saja lolos dari tekanan yang tak kasatmata. Ia menatap gelas berisi susu panas di depannya dengan raut enggan. Sejujurnya, ia tidak suka susu. Bau dan rasanya selalu membuatnya ingin meringis. Namun demi menuruti Dita, ia tetap meminumnya perlahan meski cuaca siang itu terasa terik dan gerah.
Setelah meneguk habis susu tersebut, Rangga mengambil handuk dan mencelupkannya ke dalam baskom air hangat. Ia memerasnya sedikit, lalu menempelkannya ke mata kirinya yang bintitan. Sensasi hangat itu membuat matanya terasa lebih nyaman. Ia menghela napas panjang, menikmati keheningan rumah yang sesaat terasa damai.
Usai mengompres matanya beberapa saat, Rangga membereskan meja makan. Piring, gelas, dan sendok ia bawa ke dapur. Ia bahkan menyempatkan diri mencuci semuanya. Air mengalir dari keran, suara gemericiknya mengisi ruang dapur yang sunyi. Aktivitas sederhana itu entah kenapa membuat pikirannya sedikit lebih tenang.
Saat Rangga selesai mencuci piring, suara motor terdengar berhenti di depan rumah. Tak lama kemudian, pintu terbuka. Firza pulang. Dita langsung menyambut kedatangan suaminya seperti biasa. Wajahnya terlihat lebih cerah saat berbicara dengan Firza. Mereka berbincang singkat sebelum sama-sama masuk ke kamar untuk berganti pakaian.
Tak lama kemudian, Dita dan Firza keluar rumah dengan pakaian yang lebih santai. Rupanya mereka hendak pergi jalan-jalan ke pasar malam yang sedang ramai di kampung sebelah. Rangga sempat diajak ikut oleh Firza, namun tanpa pikir panjang, ia menolak halus. Ia tahu dirinya hanya akan menjadi orang ketiga yang tak dibutuhkan.
Lagipula, Rangga tak ingin merasa canggung melihat kemesraan kakak dan kakak iparnya. Ia memilih tinggal di rumah, menikmati kesendiriannya.
Malam itu berlalu dengan tenang. Tidak ada suara berisik dari kamar sebelah. Tidak ada hujan, tidak ada petir. Untuk pertama kalinya sejak beberapa hari terakhir, Rangga bisa tidur dengan nyenyak. Tidurnya dalam dan tanpa mimpi buruk. Saat bangun keesokan paginya, tubuhnya terasa lebih segar.
Ia segera bercermin dan tersenyum kecil ketika menyadari bintitan di mata kirinya sudah sembuh.
“Nggak lagi deh aku ngintip orang,” gumam Rangga pelan, setengah bercanda, setengah menyesali diri sendiri.
Dia mengambil handuk dan melangkah menuju kamar mandi. Namun baru saja ia mendekat, langkahnya terhenti. Dari arah kamar mandi, terdengar suara air dan gerakan. Rangga mengintip sedikit dan mendapati Dita sedang sibuk mencuci pakaian.
Dita tampak berjongkok di depan ember besar. Dia mengenakan daster selutut yang longgar. Namun karena posisinya, Rangga bisa melihat dengan jelas bagian bawah tubuh perempuan itu. Celana dalam berwarna pink yang dikenakan Dita terlihat jelas dari balik daster yang sedikit terangkat.
Pupil mata Rangga membesar tanpa sadar. Jantungnya berdetak lebih cepat. Ia terpaku beberapa detik, seperti kehilangan kemampuan untuk berpaling.
“Eh, Dek,” suara Dita tiba-tiba menyadarkannya. Perempuan itu menoleh sambil tersenyum ramah. “Ada yang mau dicuci bajunya? Sini biar Kakak cucikan sekalian.”
“E-enggak deh,” jawab Rangga tergagap. “Nggak ada yang mau aku cuci.”
Tanpa menunggu reaksi lebih lanjut, Rangga buru-buru masuk ke kamar mandi. Pintu ditutup agak keras, menandakan kegugupannya. Di dalam, dia berdiri terpaku, dadanya naik turun.
Ia mengusap wajahnya sendiri, bingung dan kesal. Kenapa lagi-lagi dia melihat hal seperti itu? Kenapa selalu kakak iparnya? Dalam hati, Rangga sempat curiga, jangan-jangan Dita sengaja. Tapi pikiran itu langsung ia tepis. Dia yakin Dita tak mungkin tertarik padanya. Dita perempuan dewasa, istri kakaknya, dan jelas-jelas berada di kelas yang berbeda dengannya.
Setelah mandi dan sarapan, Rangga berangkat ke sekolah. Hari ini ia kembali ke rutinitas lamanya. Di kelas, ia langsung bergabung dengan dua sahabatnya yang terkenal somplak, Junaidi dan Ifan.
“Gimana mancingnya kemarin?” tanya Rangga sambil duduk di bangkunya.
“Seru! Kami dapat banyak,” jawab Ifan dengan wajah bangga.
“Bukan ikan yang kami pancing kemarin,” potong Junaidi kesal, “tapi kemarahan Pak Tedy. Nih anak mendadak ngajak ngambil rambutan orang. Sialan!”
Junaidi menoyor kepala Ifan cukup keras.
“Tiba-tiba loh aku ngidam rambutan,” bela Ifan. “Sumpah! Rambutan Pak Tedy merah-merah sekali. Heran aku kenapa nggak dipanen. Ya aku lah yang panen.”
“Mana ada!” Junaidi membentak. “Manjat pohonnya aja aku. Udah digigit semut, terus jatuh lagi pas Pak Tedy datang. Tadi malam terpaksa aku panggil tukang urut!”
“Maaflah, Bro,” sahut Ifan sambil meringis. “Kan aku nggak nyangka Pak Tedy bakalan tiba-tiba nongol.”
Junaidi yang masih kesal mengapit leher Ifan dengan tangan, membuat Ifan berteriak pura-pura kesakitan. Rangga tak berhenti cekikikan melihat tingkah konyol kedua temannya. Untuk sesaat, ia lupa akan kesedihannya.
Tak lama kemudian, Bu Wati masuk ke kelas. Wali kelas Rangga itu tampak tidak sendirian. Di sampingnya berdiri seorang murid perempuan yang langsung menyita perhatian semua orang.
Gadis itu cantik. Rambutnya pendek sebahu, wajahnya bersih dan cerah. Seluruh murid lelaki di kelas langsung terkesima. Beberapa bahkan tampak berbisik-bisik dengan mata berbinar. Termasuk Junaidi dan Ifan.
Namun berbeda dengan mereka, Rangga terlihat jauh lebih tenang. Ia mengakui kecantikan gadis itu, tapi ada sesuatu yang terasa asing. Gadis itu terlalu rapi, terlalu bersih, terlalu… kota.
Bu Wati lalu memperkenalkan murid baru tersebut. Namanya Astrid. Ia berasal dari Jakarta dan merupakan keponakan juragan beras di kampung ini.
“Gila, cewek kota, Bro,” bisik Ifan antusias. “Cantik terus tajir. Tipeku banget.”
Rangga mengabaikan ucapan itu. Ia memperhatikan Astrid dengan lebih saksama. Penampilannya modis, seragamnya rapi, sepatunya bersih tanpa noda. Aura yang terpancar jelas berbeda dari anak-anak kampung lainnya.
Dalam hati, Rangga menyimpulkan satu hal, Astrid memang cantik, tapi jelas bukan bagian dari dunia yang sama dengannya.
Rangga lebih mengerti dita sebaliknya juga begitu rasanya mereka cocok
mangats thor sllu ditunggu up nya setiap hari