Rachel sering mendapatkan siksaan dan fitnah keji dari keluarga Salvador. Aiden yang merupakan suami Rachel turut ambil dalam kesengsaraan yang menimpanya.
Suatu hari ketika keduanya bertengkar hebat di bawah guyuran hujan badai, sebuah papan reklame tumbang menimpa mobil mereka. Begitu keduanya tersadar, jiwa mereka tertukar.
Jiwa Aiden yang terperangkap dalam tubuh Rachel membuatnya tahu apa yang sebenarnya terjadi kepada sang istri selama tiga tahun ini. Begitu juga dengan Rachel, jadi mengetahui rahasia yang selama ini disembunyikan oleh suaminya.
Ikuti keseruan kisah mereka yang bikin kalian kesal, tertawa, tegang, dan penuh misteri.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Santi Suki, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 15
Dengan wajah putus asa, Aiden mulai membuka satu map, tapi baru membaca dua paragraf, dia sudah menepuk jidat. “Ya Tuhan, aku bahkan nggak tahu istilah ini artinya apa!”
Aiden menoleh ke komputer, berniat menyalin laporan untuk dikirimkan ke Rachel. “Yang jago di bidang ginian itu, kan, dia, bukan aku,” batin Aiden sembari buru-buru menghubungi stafnya agar menyiapkan semua berkas dalam bentuk digital.
Sementara itu, di rumah megah keluarga Salvador, Rachel hendak pergi ke ruang kerja sambil memainkan ponsel, hendak menghubungi Aiden. Namun, niat itu tertunda karena suara langkah kaki berderap mendekatinya.
Hillary muncul dengan wajah angkuh dan segunung pakaian dalam pelukannya. Tanpa basa-basi, dia menjatuhkan semuanya tepat di pangkuan Rachel.
“Cuci semua bajuku ini pakai tangan! Jangan pakai mesin cuci! Baju-bajuku mahal, jangan sampai rusak!” perintah Hillary dengan nada tinggi, seperti ratu kepada pelayan rendahan.
Rachel mendongak pelan, alisnya naik sebelah. "Kenapa harus aku? Bukannya banyak pelayan di rumah ini?" tanyanya sinis, berusaha menahan emosi. Dia kembali mendorong baju-baju kotor itu ke Hillary.
“Bukannya selama ini sudah jadi tugasmu!” sahut Hillary tajam sambil menyodorkan kembali tumpukan baju, seakan tidak sadar siapa yang kini sedang dia hadapi.
Rachel menatap baju-baju mahal itu, lalu menatap wajah Hillary dengan tajam. Tanpa pikir panjang, dia mengambil baju-baju itu, lalu melemparkannya ke wajah Hillary.
"Aku ini Nyonya Salvador! Bukan pembantu kalian!" pekik Rachel. "Buat apa suamiku menggaji mereka kalau semua pekerjaan rumah masih aku yang kerjakan?!"
Hillary terbelalak. Rahangnya mengencang, matanya membelalak tak percaya. Ini bukan Rachel yang dia kenal. Selama ini Rachel selalu tunduk, patuh, dan takut. Tapi kini, perempuan itu berdiri tegak, matanya menyala seperti bara api yang tak bisa dipadamkan.
Rachel berdiri tegap dan wajah terangkat berhadapan dengan Hillary, sikapnya berwibawa. Aura pemimpin yang selama ini tenggelam di balik luka, kini menyeruak ke permukaan.
"Mulai hari ini, kalian harus tahu tempat. Aku bukan lagi wanita yang bisa kalian tindas sesuka hati."
"Ada apa ini?" suara serak namun penuh wibawa memecah ketegangan di antara Rachel dan Hillary.
Langkah Nenek Hilda terdengar perlahan tapi menggetarkan. Sosoknya berdiri di ambang pintu dengan tatapan tajam ke arah Rachel dan Hillary yang memasang wajah memelas.
"Grandma, Rachel melempar aku dengan pakaian kotor," adu Hillary dengan nada pilu, seolah-olah menjadi korban dari kekejaman yang tidak pernah dia lakukan.
Wajah Nenek Hilda menegang. Sorot matanya berubah tajam seperti belati yang hendak menebas. "Berani-beraninya kamu berbuat seperti itu kepada cucuku!" bentaknya lantang. Suaranya menggema, membuat udara seolah menjadi lebih berat.
"Kamu harus mendapatkan hukuman. Ambilkan aku cambuk!" perintahnya tegas, membuat suasana mendadak mencekam.
Tanpa menunggu dua kali, Hillary langsung melesat ke arah lemari yang ada di dekat tangga. Tangannya lincah membuka laci tersembunyi dan menarik keluar sebuah cambuk dengan gagang kayu ukir. Wajahnya bersinar puas, seperti anak kecil yang baru mendapatkan mainan favorit.
Hampir di setiap ruangan rumah Salvador ada cambuk tersembunyi. Hal itu baru diketahui oleh Rachel. Jantungnya berdegup kencang. Bukan karena takut, tapi juga marah dan hancur.
“Jadi selama ini rumah ku ada alat-alat yang disiapkan untuk menghukum Rachel?” batinnya geram.
"Ini, Grandma," ucap Hillary sambil menyerahkan cambuk seperti seorang bawahan yang setia melayani tuannya.
Dengan licik, Hillary menendang bagian belakang lutut Rachel, sehingga membuat tubuhnya jatuh berlutut di lantai marmer dingin. Suara dengkuran napasnya tercekat di tenggorokan.
"Kamu pikir Aiden akan selalu membela kamu, hah? Mentang-mentang kemarin Aiden sedikit bersikap manis, kamu jadi ngelunjak," cibir Nenek Hilda dengan suara menghina. Matanya menatap Rachel seolah wanita itu bukan manusia, melainkan makhluk najis yang pantas dihukum.
Plak!
Cambuk pertama mendarat di punggung Rachel. Suara kulit dicambuk terdengar jelas, menggema di dalam ruangan megah itu.
"Aaaaa!" Rachel menjerit. Tubuhnya refleks menegang dan matanya memanas. Rasa terbakar menjalari kulitnya.
Cambuk kedua menyusul, lalu ketiga. Dengan penuh dendam, Nenek Hilda melayangkan pukulan demi pukulan seolah sedang melepaskan amarah bertahun-tahun.
"Tubuh lemah begini selalu mendapatkan hukuman yang berat. Bagaimana kamu masih bisa hidup Rachel," batin wanita itu sambil meringis menahan kesakitan.
Di sudut ruangan, Hillary tersenyum penuh kemenangan. Tawa kecil meluncur dari bibirnya, seperti penonton yang menikmati tragedi di panggung teater.
Rachel ingin melawan, tapi tubuhnya terasa lemah akibat kelelahan dan tekanan batin. Pada pukulan ketiga belas, tubuhnya tak sanggup lagi menahan. Dia terjerembab ke lantai, tengkurap dengan napas berat.
"Nanti aku harus buat kuat tubuhnya yang lemah ini. Memalukan sekali kamu, Rachel. Bisa-bisanya ditindas di rumah sendiri," batinnya.
Kulit di punggungnya terasa melepuh. Sakit yang dirasakan oleh Rachel itu tak hanya fisik, tapi juga mental. Ini adalah kenyataan yang selama ini tak pernah ia percayai dari keluhan Rachel, dahulu.
“Berani kamu melawan aku, rasakan akibatnya,” bisik Hillary dengan penuh kebencian. Tangannya mencengkeram rahang Rachel dan mengangkat wajahnya paksa. Namun, yang dia dapatkan adalah sesuatu yang tak terduga.
Rachel tertawa, namun cukup menusuk. Tawa getir dan tawa penuh luka. Karena menyadari bahwa selama ini dia buta.
“Jadi, ini rasa sakitmu, Rachel?” batinnya. "Selama ini aku tak percaya padamu ... aku bahkan selalu menyalahkan mu."
Dahulu, Aiden tidak pernah percaya dengan apa yang diucapkan oleh Rachel dan malah menuduhnya tukang fitnah. Sekarang dia merasakan apa yang dirasakan oleh istrinya selama ini.
Rachel menatap kosong ke depan. Air mata menetes, bukan karena cambukan, tapi karena rasa bersalah yang membuncah dan menyayat dari dalam.
"Rachel ... aku minta maaf ...." bisiknya pelan, sebelum akhirnya gelap menyelimuti pandangannya. Napasnya terputus. Kesadarannya runtuh.
Rachel pun pingsan. Tubuhnya tergeletak kaku di lantai.
***
pelajari tuuuu muka-muka penjilat.
mendengar srmua doa dan kesakitan Rachrl..
supaya mata Aiden tervelek pada pendeeitaan Rachrk selama ini..
😀😀😀❤❤❤❤
Karena selama ini Aiden ga pernah percaya dg Rachel,,tp mudah diperdaya org" disekelilingnya
Dan bisa ngerasain di cambuk nenekmu