NovelToon NovelToon
Istri Pesanan Miliarder

Istri Pesanan Miliarder

Status: sedang berlangsung
Genre:CEO / Crazy Rich/Konglomerat / Mengubah Takdir
Popularitas:6k
Nilai: 5
Nama Author: Stacy Agalia

Zayn Alvaro, pewaris tunggal berusia 28 tahun, tampan, kaya raya, dan dingin bak batu. Sejak kecil ia hidup tanpa kasih sayang orang tua, hanya ditemani kesepian dan harta yang tak ada habisnya. Cinta? Ia pernah hampir percaya—tapi gadis yang disayanginya ternyata ular berbisa.
Hingga suatu hari, asistennya datang dengan tawaran tak terduga: seorang gadis desa lugu yang bersedia menikah dengan Zayn… demi mahar yang tak terhingga. Gadis polos itu menerima, bukan karena cinta, melainkan karena uang yang dijanjikan.
Bagi Zayn, ini hanya soal perjanjian: ia butuh istri untuk melengkapi hidup, bukan untuk mengisi hati. Tapi semakin hari, kehadiran gadis sederhana itu mulai mengguncang tembok dingin di dalam dirinya.
Mampukah pernikahan yang lahir dari “pesanan” berubah menjadi cinta yang sesungguhnya? Ataukah keduanya akan tetap terjebak dalam ikatan tanpa hati?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Stacy Agalia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Tertangkap basah

Aroma roti panggang dan teh hangat menguar dari meja makan. Alisha sibuk menata sarapan sederhana, pagi itu ia sengaja menyibukkan diri, para pelayan ia perintahkan untuk melakukan pekerjaan lain, sementara Zayn duduk di kursinya dengan wajah tenang, sesekali melirik ke arah istrinya yang tampak canggung.

Sejak bangun tadi, Alisha berusaha bersikap biasa saja. Ia menyapa Zayn dengan senyum tipis, menyiapkan gelasnya, bahkan menuangkan teh. Namun, gerak-geriknya jelas berbeda—terlalu hati-hati, terlalu cepat menunduk, seolah takut jika tatapan mata mereka bertemu terlalu lama.

Zayn menyadarinya, tentu saja. Ia hanya diam, membiarkan Alisha sibuk dengan kesalahtingkahannya. Dalam hati, ia justru tersenyum geli, mengingat kembali bagaimana istrinya itu memeluk erat dirinya semalam karena takut petir.

“Alisha.” Suara Zayn memecah kesunyian di antara denting sendok.

Alisha sontak menoleh cepat. “Y-ya?” suaranya terdengar agak tinggi, membuatnya buru-buru menunduk lagi.

Zayn mengangkat alis, menahan senyum. “Kenapa kau terburu-buru sekali? Aku hanya ingin bilang, rotinya terlalu gosong sedikit.”

Wajah Alisha langsung merah padam. “Ah… m-maaf… aku—”

Zayn tertawa pelan, nadanya rendah dan hangat. “Tidak apa-apa, ini tidaklah buruk.” Ia kemudian menggigit roti itu dengan tenang, membuat Alisha semakin salah tingkah dan memilih pura-pura sibuk dengan piringnya sendiri.

Usai sarapan, Alisha menyeka mulutnya lalu menatap Zayn dengan ragu. “Zayn…”

“Hm?”

“Aku ingin… ke supermarket hari ini. Aku ingin memasak sesuatu.”

Zayn menaruh gelasnya, ekspresinya berubah serius. “Kita bisa minta orang belanja, Alisha. Kau tidak perlu repot-repot keluar.”

“Tapi aku ingin memilih sendiri.” Nada Alisha terdengar lembut, tapi matanya penuh keteguhan. “Aku janji tidak akan lama, hanya sebentar. Aku ingin mencoba memasak untukmu hari ini.”

Zayn terdiam beberapa saat, menimbang. Ia tahu istrinya itu bukan tipe pemaksa, apalagi dengan nada yang sedemikian tulus. Akhirnya ia menghela napas panjang. “Baiklah. Tapi aku yang mengantar.”

Alisha tersenyum tipis, merasa lega. “Terima kasih.”

.....

Di supermarket, Alisha tampak riang. Ia mendorong troli dengan semangat, matanya berbinar setiap kali melihat bahan masakan. Ia memilih sayuran segar, daging, bumbu dapur, bahkan sempat berhenti cukup lama di lorong pasta hanya untuk membandingkan beberapa merek.

Sementara itu, Zayn hanya mengikutinya dari belakang, tangan dimasukkan ke saku celana. Tatapannya tak pernah lepas dari Alisha—ada rasa kagum melihat kesederhanaan istrinya yang tampak begitu antusias hanya karena urusan belanja. Sesekali, beberapa orang melirik ke arah mereka, terutama ke arah Zayn dengan aura dinginnya yang mencolok serta kedua bodyguard yang mengekor di belakangnya, tapi pria itu sama sekali tak peduli.

Saat Alisha hendak meraih beberapa botol saus yang terlalu tinggi di rak, Zayn dengan sigap mengambilkannya. “Kau terlalu pendek,” gumamnya singkat.

Alisha cemberut kecil. “Aku bisa pakai ujung kaki.”

“Dan jatuh nanti?” Zayn menaruh botol itu di troli tanpa memberi kesempatan Alisha membantah.

Alisha mendengus pelan, namun diam-diam hatinya menghangat.

Setelah hampir satu jam berbelanja, mereka kembali ke mobil. Zayn membiarkan belanjaan itu di bawa oleh bodyguard nya, tanpa mengizinkan Alisha menyentuh satu pun.

.....

Sesampainya di rumah, Zayn menoleh pada Alisha yang sudah tampak bersemangat ingin segera memasak. “Aku harus ke kantor. Jangan terlalu lama berdiri, istirahatlah jika lelah.”

Alisha mengangguk pelan. “Baik.”

Zayn mendekat sebentar, mengusap pucuk kepala Alisha sekilas. “Aku tunggu masakanmu nanti malam.”

Alisha terdiam, pipinya memanas, sementara Zayn sudah berjalan keluar dengan langkah tegap. Suara pintu mobilnya terdengar tak lama kemudian, lalu mesin meraung halus, meninggalkan rumah.

Alisha berdiri di dapur, menatap belanjaan di depannya dengan senyum samar. Untuk pertama kalinya sejak mereka menikah, ia merasa ada sesuatu yang berbeda—hangat, aneh, tapi manis.

.....

Siang itu, setelah selesai membereskan sebagian belanjaan dan menyiapkan beberapa bahan untuk nanti malam, Alisha duduk di ruang makan sambil memainkan ponselnya.

Alisha memberanikan diri menghubungi Zayn yang saat itu sudah berada di kantornya.

“Zayn…” suaranya lembut ketika panggilan diangkat.

“Hm?” suara Zayn terdengar berat, tapi hangat.

“Aku… ingin ke rumah sakit siang ini. Menjenguk Bima. Aku ingin membawakan makanan kesukaannya.”

Terdengar jeda singkat di seberang. Lalu suara Zayn masuk lagi, datar tapi berisi. “Makanan kesukaan Bima, ya?”

Alisha mengerjap, sedikit salah tingkah. “Iya… aku pikir dia akan senang. Dia pasti bosan dengan makanan rumah sakit.”

Zayn tak langsung menjawab. Namun tiba-tiba ia bergumam pelan, nada suaranya agak berubah. “Aku juga ingin makan siang buatanmu.”

Alisha tertegun, lalu tanpa sadar tertawa kecil. “Zayn… apa kau sedang cemburu?”

“Aku hanya hanya bosan dengan makanan catering hambar di kantor.” Suaranya terdengar setengah menggoda, setengah sungguh-sungguh.

Alisha memutar bola matanya sambil tersenyum geli. “Baiklah… aku akan buatkan juga untukmu.”

Tak lama kemudian, dapur kembali sibuk. Ia menolak di bantu oleh pelayan. Alisha menyiapkan dua set makan siang—satu dengan menu favorit Bima, satu lagi lebih rapih dengan sentuhan elegan untuk Zayn.

Sekitar satu jam kemudian, Alisha sudah bersiap. Sesuai aturan, ia diantar dengan mobil pribadi Zayn, lengkap dengan seorang supir, dan dikawal oleh dua bodyguard yang mengikuti di mobil lain. Meski kadang merasa berlebihan, Alisha tahu Zayn tidak akan pernah menawar soal keamanan.

Dalam perjalanan, Alisha sempat bimbang. Antara langsung ke rumah sakit atau mampir dulu ke kantor Zayn. Akhirnya ia memutuskan: ke kantor Zayn dulu.

.....

Begitu tiba di lobi kantor megah itu, beberapa karyawan langsung memberi salam sopan. Alisha melangkah dengan tenang, meski dalam hati ada sedikit gugup membawa kotak makan siang itu. Bodyguardnya mengawal hingga depan lift, lalu menyerahkan urusan pada staf kantor yang langsung mengenalinya.

Saat pintu ruangan CEO terbuka, Zayn sudah duduk di balik meja kerjanya. Tatapannya terangkat, menyorot Alisha yang berdiri sambil membawa kotak makan. Senyum samar langsung muncul di wajah dinginnya.

“Kau benar-benar datang,” ucapnya pelan, seolah tak percaya.

“Aku janji, kan?” Alisha mendekat, meletakkan kotak itu di meja. “Ini makan siangmu. Jangan lupa dimakan, jangan hanya sibuk dengan rapat.”

Zayn menatapnya dengan intens, “Kau tahu? Ini pertama kalinya aku benar-benar menantikan jam makan siang.”

Alisha salah tingkah, ia tertawa kecil. “Jangan menggoda, banyak orang di luar.”

“Biar saja,” jawab Zayn santai, matanya masih menahan bayangan senyum.

.....

Setelah memastikan suaminya sudah puas, Alisha pamit untuk ke rumah sakit. “Aku pergi sekarang. Bima menunggu.”

“Aku ikut,” potong Zayn cepat.

Alisha menggeleng lembut. “Tidak perlu, Zayn. Pekerjaanmu lebih penting. Aku hanya sebentar, setelah itu langsung pulang. Lagipula ada supir dan bodyguard, kau tidak perlu khawatir.”

Zayn menatapnya lama, jelas tidak rela. Namun akhirnya ia menghela napas berat. “Baiklah. Tapi dengan satu syarat.”

“Apa?”

“Kau harus buatkan masakan terenakmu malam ini, untukku saja.” Tatapan matanya penuh arti, seolah sengaja memberi penekanan.

Alisha menahan senyum, pipinya hangat. “Baik. Aku akan memasak yang paling enak malam ini.”

Zayn akhirnya mengangguk, meski ekspresi wajahnya masih menunjukkan keengganan melepas. Namun ia membiarkan Alisha pergi, mengantarnya hingga depan pintu dengan tatapan yang tak lepas barang sedetikpun.

Pintu ruang kerja kembali tertutup setelah Alisha melangkah keluar, meninggalkan aroma masakan yang masih hangat di meja. Zayn duduk diam beberapa detik, pandangannya tetap terarah ke pintu yang barusan ditutup. Ada rasa kosong yang aneh—padahal wanita itu hanya pergi sebentar.

Ia mendesah pelan, lalu menarik kotak makan siang yang tadi ditinggalkan Alisha. Perlahan dibuka, dan aroma harum langsung memenuhi ruangan. Sekilas saja, Zayn sudah tersenyum kecil. Istriku benar-benar tahu caranya membuatku tak bisa berpaling, batinnya.

Sendok pertama masuk ke mulutnya, dan seketika ekspresi dingin itu runtuh. “Hm…” gumamnya pelan, tapi jelas penuh kenikmatan. Ia melanjutkan suapan demi suapan, tanpa sadar mulutnya mulai bergumam lagi.

“Enak sekali…”

“Rasanya pas…”

“Ah, ini lebih baik daripada catering kantor…”

Zayn bahkan tak menyadari ia sedang makan dengan lahap, hingga tiba-tiba pintu diketuk pelan, lalu terbuka.

“Permisi, Tuan…” suara Arvin masuk bersama langkah sopannya. Namun kalimat itu langsung terputus begitu matanya menangkap pemandangan di depan: Zayn, sang Tuan besar yang biasanya dingin dan penuh wibawa, sedang makan dengan ekspresi puas, bahkan mulutnya masih bergumam memuji makanan buatan sang istri.

Arvin menahan tawa, tapi sudut bibirnya terangkat geli. “Sepertinya… makan siang kali ini berbeda ya, Tuan?” tanyanya dengan nada hati-hati, meski jelas tergelitik.

Zayn langsung berhenti mengunyah sejenak, menatap Arvin dengan tatapan tajam. Namun sudah terlambat—ia tertangkap basah. Wajah dinginnya sulit menutupi kenyataan bahwa ia benar-benar menikmati makanan itu.

“Apa yang kau lihat?” tanya Zayn datar, mencoba menjaga gengsi.

Arvin tersenyum tipis, menunduk sopan. “Saya hanya melihat Tuan makan dengan sangat lahap. Sepertinya bekal dari Nyonya memang istimewa.”

Zayn mendengus pelan, meletakkan sendoknya sebentar. Namun bukannya merasa malu, ia justru bersandar di kursi dan berkata tenang, “Dan kalaupun aku menikmatinya, apa masalahnya? Ini dari istriku. Wajar jika aku menyukainya.”

Arvin terkekeh kecil. Jarang sekali ia mendengar tuannya berbicara seterbuka itu. Biasanya semua serba dingin, serba tertutup.

“Tidak ada masalah, Tuan,” jawabnya cepat, menahan senyum. “Saya malah senang melihat Tuan bisa makan dengan lahap. Itu artinya… Nyonya tahu bagaimana menjaga kesehatan Tuan.”

Zayn menatapnya sebentar, lalu tanpa berkata apa-apa kembali mengambil sendok. “Diamlah, Arvin. Kau terlalu banyak bicara.”

Namun jelas terlihat—senyum kecil masih bertahan di sudut bibirnya, seiring suapan berikutnya kembali masuk dengan lahap.

Tak apa… hanya di depan Arvin, pikir Zayn. Aku tidak perlu berpura-pura dingin setiap saat.

____

Alisha tiba di rumah sakit dengan membawa satu kotak makanan kesukaan Bima. Senyum kecil terbit di wajahnya ketika melihat adiknya itu sudah bisa duduk di ranjang, bahkan menyambutnya dengan tatapan cerah meski tubuhnya masih terlihat lemah.

“Mbak!” seru Bima, wajahnya berbinar. “Aku sudah bisa makan lebih banyak sekarang. Dan dokter bilang aku boleh jalan pelan-pelan di koridor.”

Alisha meletakkan tas dan mendekat, menepuk bahunya dengan lembut. “Mbak senang sekali mendengarnya. Ini, makanan kesukaanmu.”

Bima mengangguk cepat, semangatnya begitu jelas. Adegan itu membuat hati Alisha menghangat. Setelah sekian lama melihat adiknya terbaring lemah, kini ada harapan baru.

Tak lama kemudian, seorang dokter masuk sambil membawa map. “Selamat siang, Nyonya Alisha.”

“Siang, Dok.” Alisha berdiri menyambutnya.

Dokter membuka map, lalu tersenyum ramah. “Perkembangan adik Anda sangat baik. Hasil pemeriksaan terakhir menunjukkan kondisi stabil. Dengan perawatan yang sudah dijalani, kami rasa Bima sudah bisa dibawa pulang. Tentu saja masih ada beberapa catatan: ia tetap harus kontrol rutin setiap bulan, dan pengobatan tidak boleh putus.”

Alisha mendengarkan penuh perhatian, lalu menoleh pada Bima yang wajahnya semakin berbinar. “Jadi… benar-benar boleh pulang, Dok?” tanyanya dengan mata berkaca-kaca.

Dokter mengangguk mantap. “Ya, Nyonya. Tapi tetap jaga pola makan dan jangan sampai kelelahan.”

Setelah dokter pamit, Alisha langsung menarik napas lega, lalu buru-buru merogoh ponselnya. Jemarinya mengetik cepat, tapi akhirnya ia menekan tombol panggilan pada Zayn.

Sambungan hanya berdering dua kali sebelum diangkat. “Halo, Alisha?” suara Zayn terdengar tenang, meski jelas ia sedang sibuk.

“Zayn… Bima boleh pulang hari ini,” ucap Alisha dengan nada bahagia. “Dokter bilang kondisinya sudah stabil, hanya perlu cek up bulanan dan obat rutin. Aku senang sekali.”

Ada jeda sejenak di seberang sana, lalu suara Zayn terdengar lebih hangat. “Itu kabar baik. Kau sudah bicara dengan pihak administrasi?”

“Belum.”

“Baik. Aku akan uruskan,” sahut Zayn mantap. “Aku utus Arvin ke sana untuk mengurus semua keperluan. Bima akan tinggal di rumah kita untuk sementara waktu. Aku tidak ingin kau repot bolak-balik sendirian mengurusnya.”

Alisha terdiam sejenak, hatinya menghangat. Perhatian Zayn semakin hari semakin nyata, meski sering diselubungi wajah dinginnya. “Terima kasih, Zayn… Aku benar-benar berterima kasih.”

“Tidak perlu terima kasih. Kau istri sahku. Dan Bima… sekarang bagian dari keluarga kita,” jawab Zayn singkat, tapi tegas.

Alisha tersenyum haru. “Baiklah, aku tunggu Arvin di sini.”

Tak lama setelah panggilan berakhir, Alisha menoleh pada Bima. Wajah adiknya penuh senyum tak sabar.

“Mbak… aku beneran akan ikut Mbak ke rumah itu?” tanya Bima, matanya berbinar.

Alisha mengangguk sambil mengusap kepala adiknya dengan lembut. “Iya. Untuk sementara kau tinggal bersama Mbak. Ada Zayn juga… jadi kau jangan canggung.”

Bima terkekeh kecil. “Aku malah penasaran. Jadi ingin segera pulang.”

Tak berselang lama, pintu kamar diketuk pelan dan Arvin masuk dengan senyum sopan. “Nyonya Alisha, Tuan sudah memberi instruksi. Izinkan saya mengurus semua administrasi untuk kepulangan Tuan Muda Bima.”

Alisha mengangguk lega. “Baik, Arvin. Terima kasih sudah datang cepat.”

“Dengan senang hati, Nyonya,” jawab Arvin sebelum melangkah keluar untuk mengurus semuanya.

Sementara itu, Alisha menatap adiknya dengan perasaan campur aduk—lega, bahagia, dan sedikit gugup. Sebab mulai hari ini, rumah besar itu bukan hanya tempat tinggalnya bersama Zayn, tapi juga akan ada kehadiran Bima di dalamnya.

1
Lisa
Benar² kejam Omar & Lucas itu..menghilangkan nyawa org dgn seenaknya..pasti Tuhan membls semua perbuatan kalian..utk Alisha & Bima yg kuat & tabah ya..ada Zayn,Juna, Arvin yg selalu ada di samping kalian..
Lisa
Ya Tuhan sembuhkan Ibunya Alisha..nyatakan mujizatMu..
Lisa
Makin seru nih..ayo Zayn serang balik si Omar & Lucas itu..
Lisa
Ceritanya menarik
Lisa
Semangat y Zayn..lawan si Omar & Lucas itu..lindungi Alisha & Bima..
Lisa
Selalu ada pengganggu..ayo Zayn ambil sikap tegas terhadap Clarisa
Lisa
Moga lama² Zayn jatuh cinta pada Alisha..
Lisa
Ceritanya menarik nih..
Lisa
Aku mampir Kak
Stacy Agalia: terimakasiiihh🥰
total 1 replies
Amora
lanjut thor, semangaaatt
Stacy Agalia: terimakasiiiiih🥰
total 1 replies
Stacy Agalia
menarik ceritanya
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!