NovelToon NovelToon
Cat Man

Cat Man

Status: sedang berlangsung
Genre:Action / Fantasi / Cintapertama / Sistem / Romansa
Popularitas:792
Nilai: 5
Nama Author: juyuya

Hidup Shavira hanyalah rangkaian luka yatim piatu, ditindas bibi dan pamannya, lalu divonis hanya punya beberapa bulan karena penyakit mematikan. Namun semua berubah ketika ia bertemu sosok misterius yang selalu muncul bersama seekor kucing hitam. Lelaki itu menyebut dirinya malaikat maut—Cat Man. Sejak saat itu, batas antara hidup dan mati, cinta dan kehilangan, mulai kabur di hadapan Shavira.

haii,, selamat datang di cerita pertamaku.. semoga suka ya~♡

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon juyuya, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

sentuhan kematian

Gadis berhijab hitam itu menatap wajahnya di cermin lemari, sambil menempelkan ponsel di telinga. Bibir tipisnya dipoles lipstik berwarna coral dengan gerakan hati-hati.

“Gue habis pulang kerja nanti mau ke toko perabotan.”

“…?”

Shavira menghela napas panjang. Dari pagi tadi, Nadia menelponnya, mengajak ikut reuni alumni SMA. Tapi Shavira malas. Entah kenapa, setiap kali mengingat masa SMA yang penuh kenangan pahit, dia lebih memilih menghindari teman-teman seangkatannya.

“Gue tutup ya, Nad. Mau kerja.”

Tut!

Panggilan terputus. Shavira memasukkan ponselnya ke saku blazer, mengambil sling bag coklat yang tergantung di belakang pintu, lalu keluar kamar.

Senyum tipis muncul di wajahnya ketika melihat kucing hitam kecil yang baru ia adopsi. Cemilan yang tadi ia taruh di lantai sudah tandas dimakan.

Sebelum membuka pintu depan, Shavira jongkok sebentar, mengelus lembut kepala kucing itu.

“Aku pergi dulu ya. Nanti pulang kerja aku beliin makanan yang enak buat kamu.”

Begitu berdiri dan hendak membuka pintu—

“AAAH!”

Brak! Shavira buru-buru menutup pintu rapat-rapat lalu menguncinya. Nafasnya memburu, tubuhnya menempel ke dinding, tangannya menutup mulut agar tidak berteriak lagi.

“Meooow~”

Shavira langsung melotot ke arah kucingnya. Dengan cepat dia meletakkan telunjuk di bibirnya.

“Ssst! Jangan bersuara!” bisiknya panik.

“Kenapa?”

Brukk! Shavira terjatuh ke lantai saking kagetnya. Lelaki berpakaian serba hitam itu tiba-tiba muncul di sampingnya.

“Gila! Gimana lo bisa masuk?!” Shavira melirik cepat ke arah pintu—masih terkunci. Matanya bergantian menatap pintu dan lelaki itu.

Shavira refleks menghunus telunjuk tepat di depan wajahnya.

“Siapa lo sebenernya?! Mau apa lo?!”

Lelaki itu terkekeh, menoleh pada kucing hitam yang duduk tenang di lantai.

“Sem. Kenapa kamu betah sama orang ini?”

Shavira mengernyit. “Sem?”

“Dia keluargaku.”

“Apa?!” Shavira terbelalak. Jadi kucing ini miliknya? Tapi… bagaimana bisa kucing itu tiba-tiba ada di depan kontrakannya?

Shavira menepis rasa bingungnya, menatap tajam pria asing itu.

“Terus gimana caranya lo bisa masuk ke sini? Pintu udah gue kunci!”

Lelaki itu berdiri tegak, kedua tangannya dimasukkan ke dalam saku blazer hitam panjangnya.

“Sudah aku bilang… aku adalah Kematian.”

Shavira menggeleng kuat. Nafasnya terengah, wajahnya penuh ketidakpercayaan.

“Apa lo mabok? Jangan main-main! Gue bisa laporin lo ke polisi sekarang juga!”

Pria itu maju selangkah demi selangkah. Shavira ikut mundur hingga akhirnya mentok ke dinding di belakangnya. Lelaki itu berjongkok, menatapnya lekat.

“Kamu mau bukti?”

Tatapannya menusuk dalam, seperti pedang yang menghunjam ke jantung Shavira. Gadis itu langsung memegangi dadanya, napasnya tersengal, semakin cepat hingga mulutnya terbuka. Dadanya terasa sempit, tubuhnya melemah.

“A-aakh…”

Shavira terbaring di lantai, matanya perlahan menutup. Sakit. Teramat sakit. Begini kah rasanya nyawa dicabut?

. . .

“Shhh… aah.”

Shavira membuka matanya, terperanjat. Kedua tangannya menutupi wajah. Ia mengedarkan pandangan. Tempat asing. Langit luas. Suasana mencekam.

“Apa aku… sudah mati?” bisiknya lirih.

“Tidak. Kamu belum mati.”

Shavira menoleh kaget. Lelaki berpakaian hitam itu lagi.

“Jadi… lo beneran Kematian?”

“Iya. Aku Kematian.”

Shavira terdiam, kaku. Tapi dalam hati, ada sedikit rasa takjub.

“Terus… sekarang kita di mana?”

“Padang perkumpulan manusia di akhir zaman nanti.”

Shavira menatap langit di hadapannya dengan mata berbinar. Rasa takutnya sejenak terlupakan oleh pemandangan itu.

“Kenapa gue ada di sini?”

“Aku yang membawamu. Kamu belum mati… tapi umurmu hanya tersisa dua bulan lagi.”

Shavira tersenyum tipis. Pahit. Kenyataan itu menghantamnya begitu keras. Hidupnya benar-benar akan segera berakhir.

 

Shavira tersentak. Dadanya masih terasa ngilu ketika matanya kembali terbuka. Ruangan kontrakan yang sepi dan kosong menyambutnya. Ia mendudukkan tubuh, bersandar lemah di dinding, lalu mengedarkan pandangan mencari sosok pria berpakaian hitam itu. Kosong. Hilang tanpa jejak.

“Apa barusan beneran terjadi? Atau cuma mimpi?” gumamnya lirih.

. . .

Bus kota melaju meninggalkan halte. Shavira duduk di dekat jendela, menatap langit biru yang luas terbentang. Angin masuk ketika ia sedikit menggeser kaca, menerpa wajahnya yang pucat.

Ia tersenyum samar saat melihat anak-anak TK berlari riang memasuki halaman sekolah. Pandangan matanya kemudian menangkap seorang lelaki yang memberikan seikat bunga segar kepada perempuan yang ia cintai.

Dulu… Shavira juga punya mimpi seperti itu. Dicintai tanpa syarat. Hidup bersama seseorang hingga akhir hayat. Tapi sekarang? Mimpi itu hanya tinggal bayangan. Angan yang tak akan pernah terwujud.

. . .

Di kantor, Shavira berdiri di depan mesin kopi. Pandangannya kosong, menatap cairan hitam yang perlahan memenuhi gelas. Nafasnya berat, bahunya lunglai.

“Vira.”

Shavira kaget ketika pundaknya ditepuk. Maya sudah berdiri di sampingnya sambil menatap curiga.

“Kopi lo tuh.”

“Oh.” Shavira buru-buru mengambil gelas panas itu, lalu bergeser.

Maya memperhatikan sahabatnya yang kelihatan linglung. “Akhir-akhir ini gue liat lo sering ngelamun. Mikirin apa sih?” tanyanya sambil memasukkan kapsul kopi ke mesin.

“Enggak mikirin apa-apa,” jawab Shavira cepat, sambil menunduk.

Maya menyilangkan tangan di dada, bersandar pada meja, matanya tak lepas dari wajah Shavira. Tiga tahun bekerja bersama cukup membuatnya tahu betul sifat sahabatnya itu. Shavira biasanya ceria, kuat, jarang sekali mengeluh. Tapi belakangan… ada sesuatu yang berubah. Seperti ada beban berat yang ia sembunyikan.

Tring!

Suara notifikasi ponsel membuat Shavira refleks menunduk. Ia membuka pesan masuk.

📩

Dr. Hendri: Mbak Vira, hari ini bisa ketemu saya?

Shavira terdiam. Bibirnya terkatup rapat, lalu melipat samar sebelum akhirnya menutup layar ponsel tanpa membalas apa-apa.

Ia mengangkat gelas kopi panas itu. Menyeruput perlahan. Pahit. Tapi tetap tak ada apa-apanya dibandingkan pahitnya kenyataan yang kini membelit hidupnya.

 

1
Ceyra Heelshire
what the hell
Maki Umezaki
Terima kasih penulis, masterpiece!
Tae Kook
Perasaan campur aduk. 🤯
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!