“Aku mohon! Tolong lepaskan!”
Seorang wanita muda tengah berbadan dua, memohon kepada para preman yang sedang menyiksa serta melecehkannya.
Dia begitu menyesal melewati jalanan sepi demi mengabari kehamilannya kepada sang suami.
Setelah puas menikmati hingga korban pingsan dengan kondisi mengenaskan, para pria biadab itu pergi meninggalkannya.
Beberapa jam kemudian, betapa terkejutnya mereka ketika kembali ke lokasi dan ingin melanjutkan lagi menikmati tubuh si korban, wanita itu hilang bak ditelan bumi.
Kemana perginya dia?
Benarkah ada yang menolong, lalu siapa sosoknya?
Sebenarnya siapa dan apa motif para preman tersebut...?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Cublik, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Dendam : 15
Bu Mina langsung membuka resleting tas yang beberapa hari lalu dia beli dan berikan kepada putrinya. Mengeluarkan kendi yang terbuat dari tanah liat.
Lastri langsung bergerak gesit, tidak ada lagi waktu baginya untuk meratapi apalagi bersedih kala kembali ke rumah masa kecilnya. Dia membuka kendi, mengambil boneka berwujud para bayi berkepala botak yang terbuat dari tanah lempung.
“Ini sesaji nya.” Bu Mina meletakkan satu nampan terbuat dari kayu, yang mana ada bunga, telur dan secawan kecil darah Ayam kampung, dia minta di tempat pemotongan ayam sewaktu ke kota kecil.
Lastri menaruh ketiga boneka itu di tengah-tengah taburan bunga, kemudian menyimpan nampan di bawah kolong tempat tidurnya.
“Apa Mamak menyesal?” Ia tatap sang ibu yang duduk berselonjor di lantai papan, bersandar pada dinding kayu.
Bu Mina membalas tatapan putrinya dengan sorot mata tegas. “Bukan kita yang memulai, tapi mereka lah si pemantik nya. Membunuh orang tak bersalah, seolah nyawa seseorang seperti seekor Lalat. Sudah waktunya kejahatan itu dibumihanguskan!”
“Berpuluh-puluh tahun lamanya mereka berkuasa, berlaku semena-mena. Menekan para pekerja agar mau menerima upah rendah, merusak masa depan gadis desa. Bukankah manusia seperti itu memang pantas untuk dilenyapkan?”
“Sangat pantas Mak!” ucapnya yakin.
***
Hari sudah beranjak Maghrib, langit hampir sepenuhnya gelap.
Rumah kepala desa terlihat terang benderang diterangi lampu petromaks. Ada beberapa pemuda desa yang menyusun bangku lipat dan sebagian lagi kursi plastik.
Farida mengenakan terusan berlengan panjang dan longgar, ia juga memakai selendang. Wajahnya sembab, hidung memerah dan mata bengkak.
“Sebetulnya kemana Bapak? Kalau mati, dimana jasadnya?” racaunya dengan pandangan kosong. Dia sangat dekat dengan ayahnya dibandingkan ibunya.
“Doa baik-baik saja, Rida! Semoga bapakmu lekas kembali.” Surti mengelus lengan putrinya, mereka duduk di ruang tamu beralaskan tikar.
“Wanita gak guna macam ibuk, manalah paham! Tahunya cuma menadah tangan meminta jatah harian. Kehilangan bapak, sama saja dengan mematikan jalan rezeki ku! Tak ada lagi yang sibuk wara-wiri mengantarkan manggung, mencarikan job!” Bentaknya sambil menepis tangan ibunya.
Surti menatap nanar putri kandungnya, lelehan air mata membasahi pipi. “Farida, masih banyak pekerjaan lainnya daripada menjadi seorang biduan berpakaian kurang sopan. Kalau cuma untuk makan sehari-hari, ibu bisa mencukupi dengan menggarap ladang kita, bekerja serabutan.”
“Tak sudi aku Buk! Sehari-hari cuma dikasih makan ikan asin, rebusan sayur mayur dah macam hewan saja! Lantas, bagaimana dengan perawatan wajah dan badanku? Sudah pasti ibuk tak bisa memenuhinya! Orang melarat, kampungan, jangan sok berlagak bisa mencukupi!” Farida beranjak, menatap muak ibunya, lalu masuk kedalam kamar, membanting pintu.
Tinggallah Surti seorang diri, meratapi nasib malangnya. Memiliki suami kasar, ringan tangan, suka memukul bahkan menendang kala dikuasai emosi. Punya anak semata wayang pun tak jauh berbeda, bisanya cuma menuntut, memaki bila keinginannya tidak dipenuhi.
Bu Mina menonton dalam diam saat Farida mengatai ibu kandungnya sendiri. Wanita berbaju kurung dan bawahan jarik itu menaiki undakan tangga, tanpa mengucapkan salam langsung mengutarakan niatnya.
“Surti, maaf ya … malam ini saya tak bisa menemanimu. Si Lastri sedang kurang enak badan, mungkin kelelahan setelah menempuh perjalanan panjang,” tuturnya tenang.
Cepat-cepat Surti menghapus air matanya, mengangguk memaklumi. “Tak apa Bu. Terima kasih banyak telah banyak membantu.”
Selepasnya, bu Mina keluar dari rumah Surti, kembali ke huniannya sendiri.
.
.
Malam pun semakin larut, para warga yang ikut mengirim doa di rumah kepala desa sudah pada pulang.
Tepat pukul 12 malam, Lastri turun dari ranjang kayu, membungkuk mengambil nampan sesaji.
Dalam temaramnya penerangan lampu teplok, wanita cantik itu menyiramkan darah ayam ke kepala boneka, membaca mantra yang diajarkan oleh Ni Dasah.
Tiba-tiba badan boneka bersinar, lalu wujudnya membesar layaknya balita berumur satu tahunan, mereka menyeringai memperlihatkan gigi runcing.
“Pergilah ke ibu kalian! Sapa dia, minta di timang-timang!”
Seruan Lastri langsung dituruti, ketiga sosok balita tertawa riang, siapapun yang dapat mendengarnya pasti akan merinding.
“Kunti! Apa kau tak ingin menonton pertunjukkan pertemuan majikan mu dengan anaknya?” ucapnya lirih.
“Itu kelemahan ku. Aku tak bisa menyentuhnya selagi dia masih mematuhi dan tak pernah telat memberikan sesaji.” Kunti yang sedari tadi bergelantungan di ring bambu atap rumah bu Mina, turun dan duduk pada tilam ber sprei polos.
Ya, Farida lah yang menyembah Kunti. Dia meminta susuk kecantikan, dan pelaris. Maka dari itu, diantara biduan desa, Farida yang paling laris manis.
.
.
“Kenapa sumuk betul malam ini!” Farida menggerutu, ia kesulitan tertidur dikarenakan merasa kepanasan.
“Baju sialan!” Dirinya terduduk, membuka baju panjangnya, melempar asal. Hanya menyisakan bra kemben dan celana dalam, kemudian menghempaskan kepala pada bantal.
Baru saja mau terpejam lagi, tiba-tiba perasaannya tidak nyaman, bulu kuduknya meremang.
“Ibu … ha ha ha … Ibu! Kami datang!”
Farida hendak menjerit, tetapi tak ada suara yang keluar. Tubuhnya kaku, keringat dingin membasahi kening dan pelipis.
Pada dinding pojok, tepat di atas rak sepatu kayu, berdiri tiga sosok bayi menyeramkan.
‘Ibuk! Tolong!’
“Ibu … Ibu, haus Bu. Mengapa Ibu tega menarik paksa badan ku. Lihat ini Bu! Tanganku putus!” Salah satu dari mereka melayang, berdiri di atas tilam. Menarik tangannya hingga putus, kemudian menjilati jari-jarinya.
Balita kedua mengikuti kakaknya. "Bu … kepalaku sakit sekali. Aku lepas ya.” Langsung saja ditariknya kepala tak berambut itu, digelindingkan sampai di samping wajah Farida.
Argghh
'Pergi! Pergi kalian! Aku bukan ibumu! Ibuk, tolong aku!' Jangankan bergerak, sekedar mengedip saja dia tak kuasa. Yang bisa dilakukan oleh Farida, hanyalah menjerit dalam hati, menangis dalam diam.
Hiks hiks hiks
“Ibu jahat! Tak mengenali anaknya sendiri. Aku ini yang ditarik paksa oleh dukun bayi. Salahku apa Bu?” balita terakhir ikut bergabung dengan saudaranya, ia mulai merangkak dari kaki sampai ke buah dada Farida.
“Haus Bu!” tangan berjari pendek itu merobek bra Farida.
“Haus Bu.” Dia membuka lebar mulutnya, memamerkan gigi runcing, lalu menggigit puting kecoklatan, menariknya hingga putus.
Argh!
‘Sakit! Lepaskan! Siapapun, tolong aku!’
Puih
Puting sebesar putik buah jambu air itu di lepeh. Langsung saja kepala tanpa badan terbang dan hinggap di belahan dada Farida, menghisap darah yang menyembur keluar.
Balita tangan putus, dan kaki buntung melakukan hal sama, menjilati puting satu lagi, kemudian menggigit.
Chrash
“Ibuk! Tolong!”
.
.
Bersambung.
ilate di ketok
🥺
wehhh emg ya klo punya pesugihan jelas pasti punya ya kann
wow lawannya juga gk main main menguasai ilmu hitam ... kira kira ketahuan gk ya....