"𝘽𝙧𝙚𝙣𝙜.. 𝙗𝙚𝙣𝙜.. 𝙗𝙚𝙣𝙜.. "
𝘼𝙙𝙪𝙝 𝙖𝙬𝙖𝙨... 𝙝𝙚𝙮𝙮𝙮... 𝙢𝙞𝙣𝙜𝙜𝙞𝙧.. 𝘼𝙡𝙖𝙢𝙖𝙠..
𝘽𝙧𝙪𝙠𝙠𝙠...
Thalia putri Dewantara gadis cantik, imut, berhidung mancung, bibir tipis dan mata hazel, harus mengalami kecelakaan tunggal menabrak gerbang, di hari pertamanya masuk sekolah.
Bagaimana kesialan dan kebarbaran Thalia di sekolah barunya, bisakah dia mendapat sahabat, atau kekasih, yuk di simak kisahnya.
karya Triza cancer.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon TriZa Cancer, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
SAKIT
Thalia melajukan vespa kesayangannya si Coki, dengan senyum lebar dan semangat pagi yang membara. Angin pagi berhembus menerpa wajahnya, membuat poni halusnya sedikit berantakan, namun justru menambah pesonanya yang ceria.
Begitu sampai di gerbang Manggala High School (MHS), ia heran melihat kerumunan murid berdesakan di depan mading besar di dekat lapangan. “Apaan sih rame banget?” gumamnya sambil menurunkan standar vespa dan melepas helm.
Dari kejauhan terdengar dua suara ceria.
“Liaaaa!”
“Lia sini deh, cepetan!”
Thalia menoleh dan melihat Cia serta Sasa berlari kecil menghampirinya sambil melambaikan tangan.
“Ada apa sih rame-rame gini?” tanya Thalia penasaran.
Cia menunjuk ke arah mading dengan semangat. “Lihat nih! Ada pengumuman lomba antar SMA! Banyak banget kategorinya!”
Sasa menambahkan, “Iya, dari olahraga aja ada basket, voli, sama memanah. Dari bidang seni ada tari sama musik, terus dari akademik juga ada cerdas cermat dan olimpiade matematika, lo mau ikut yang mana?.”
Thalia membaca cepat isi pengumuman itu lalu tersenyum santai. “Ikut semua aja deh, biar seru.”
Cia dan Sasa langsung melongo.
“Lia, lo serius?!”
Thalia hanya nyengir. “Serius dong, hidup tuh harus dicoba semuanya. Lagian kalau kalah kan bisa coba lagi. Kalau gak nyoba, gak bakal tahu rasanya berjuang dan meraih kemenangan.”
Namun tawa mereka mendadak terhenti oleh suara sinis dari belakang.
“Alah, anak baru sok-sokan ikut lomba antar SMA. Pasti kalah dan bikin malu sekolah aja.”
Mereka bertiga menoleh bersamaan. Di sana berdiri Sesil dan Leni, yang ingin selalu di sebun siswi paling cantik dan paling terkenal, Sesil menatap Thalia dari ujung kaki hingga kepala dengan tatapan meremehkan.
Cia hendak membalas, tapi Thalia menahan tangannya. Ia menatap Sesil dengan ekspresi datar, lalu melangkah melewati keduanya tanpa berkata apa pun.
Namun sebelum benar-benar pergi, Thalia berhenti, menoleh setengah badan dengan senyum tipis yang tajam.
“Yang penting sih… gak nuduh orang curang padahal dirinya sendiri yang gak mampu.”
Ucapan itu seperti pisau halus yang menusuk tepat sasaran. Sesil sontak melotot, wajahnya memerah karena kesal, dan malu sementara beberapa murid yang mendengar mulai berbisik dan menahan tawa.
Cia dan Sasa langsung menahan tawa mereka sambil menepuk tangan pelan.
“Wah, Lia… keren banget tadi!”
Sasa menimpali, “Serangan balik yang halus tapi nyess banget!”
Thalia hanya mengangkat bahu santai. “Biasa aja. Gue cuma gak suka orang yang sok kayak mereka.”
Ia pun melangkah menuju kelas dengan langkah ringan, meninggalkan Sesil dan Leni yang masih menatapnya dengan mata penuh amarah.
Suasana kelas sudah kembali tenang setelah bel masuk berbunyi. Semua murid telah duduk rapi di bangkunya, termasuk Raka, Rafi, Dion, dan Doni, geng osis terkenal Manggala yang tak lain adalah sahabat dekat Athar.
Namun, satu hal yang membuat Thalia sedikit heran adalah... bangku di sebelahnya yang biasanya ditempati Athar terlihat kosong.
Awalnya Thalia tak peduli. Ia menulis catatan pelajaran dengan tenang, tapi entah kenapa, rasa penasarannya mulai muncul. Matanya melirik ke arah Rafi yang sedang menggambar sesuatu di buku catatannya.
“Fi, si tembok kemana?” tanya Thalia pelan.
Rafi langsung menoleh, menahan senyum jahil.“Kenapa? Kangen, ya?” godanya santai.
Thalia mendengus cepat. “Enggak lah! Cuma nanya doang. Dia kan ketua OSIS, masa gak masuk.”
Belum sempat Rafi menjawab, Doni malah ikut nyeletuk dengan nada menggoda.
“Yakin cuma nanya? Bukan khawatir?”
Thalia mendecak, menatap mereka satu per satu dengan kesal. “Percuma gue nanya ke kalian, jawabannya gak pernah bener,” gumamnya sambil kembali menulis.
Baru saja ia ingin melanjutkan catatannya, Dion menimpali santai sambil menyandarkan tubuhnya di kursi.“Bos sakit Lia. Sekarang lagi di UKS, tidur.”
Thalia sontak menatap Dion dengan ekspresi tak percaya.“Hah? Si tembok bisa sakit juga?”
Kali ini Raka yang menjawab sambil tertawa kecil.“Lia, si tembok yang lo maksud tuh manusia, bukan robot. Jadi ya... bisa sakit.”
Thalia mengangguk pelan, ekspresinya datar tapi matanya tampak berpikir.“Oh…” jawabnya singkat, lalu kembali menulis. Tapi kemudian bibirnya bergerak pelan, bergumam sendiri.
“Gue kira dia gak bisa sakit… tapi kasihan juga sih.”
Lalu ia cepat-cepat menggeleng dan menepuk pipinya pelan.“Eh, ngapain juga gue mikirin dia. Gak penting banget.”
Sementara itu, keempat sahabat Athar saling pandang dan menahan tawa kecil melihat perubahan ekspresi Thalia.
Rafi berbisik ke Raka, “Bos kalau tahu nih anak mikirin dia, pasti langsung senyum tuh.”
Raka mengangguk sambil menahan tawa. “Iya, apalagi kalau Lia tau yang bikin Athar ‘sakit’ tuh gara-gara dia sendiri.”
Beberapa jam berlalu, Thalia kini tidak bisa lagi menahan ingin ketoilet, segera dia meminta izin dan melangkahkan kakinya ke toilet.
Toilet sekolah yang biasanya riuh di jam istirahat terasa cukup sepi siang itu. Karna jam pelajaran masih berlangsung. Suara gemericik air dari wastafel dan derit pintu bilik menjadi satu-satunya bunyi yang terdengar.
Thalia melangkah cepat masuk, satu tangannya menahan perut karena sudah tak tahan ingin buang air kecil. Setelah keluar dari bilik, ia berdiri di depan cermin, merapikan rambutnya sambil menatap jam di pergelangan tangan.“Sebentar lagi juga istirahat,” gumamnya pelan.
Namun telinganya tiba-tiba menangkap suara dua siswi yang sedang mengobrol di bilik sebelah.
“Duh males banget kalau lagi halangan gini. Pengen banget tiduran. Eh, tapi di UKS ada kak Athar bete banget deh..”
Thalia yang tadinya mau keluar, spontan menoleh sedikit, matanya refleks melirik ke arah bilik tempat suara itu berasal.
“Lah, emang kenapa kalau ada dia?” tanya temannya.
“Ya gue gak berani lah! Baru aja buka pintu udah disambut nada datar dingin nyuruh pergi. Gila, auranya tuh... menakutkan tapi ganteng banget,” celetuk siswi pertama sambil terkekeh.
Thalia menaikkan alis, membatin kesal. 'Tembok sombong aja masih bisa dikagumi, huh...'
“Tapi tumben sih kak Athar di UKS,” lanjut siswi itu.
“Entahlah. Gue liat dia tiduran, nutup kepala pake satu tangan, kayak orang lagi sakit gitu.”
“Hah? Gue kira orang kayak dia gak bisa sakit,” balas temannya spontan.
“Namanya juga manusia, pasti bisa lah, bego,” jawab yang satu lagi cepat.
Thalia yang sedang membasuh tangan tiba-tiba terdiam. Ada rasa aneh di dadanya mendengar itu. 'Dia beneran sakit?'
“Kasihan sih, dia sendirian. Coba kalo punya cewek, pasti ada yang ngurusin.”
“Mau punya cewek gimana, orang setiap ada yang deketin, ditatap tajam kayak mau nyekik. Banyak yang suka, tapi gak ada yang berani deketin dia.”
“Tapi gue denger-denger, katanya dia deket sama murid baru kelas 12 IPA 1. Teman sebangkunya itu loh..”
Tiba-tiba suara langkah pelan terdengar mendekat. Thalia keluar dari depan cermin dengan wajah datar tapi aura dinginnya terasa. Kedua siswi itu sontak terdiam.
Thalia menatap mereka sekilas melalui pantulan cermin, lalu berkata pelan tapi tajam,
“Kalau mau gosipin orang, pastiin dulu orangnya gak denger.”
Keduanya saling pandang dengan wajah panik, sementara Thalia menyeringai tipis sebelum berjalan keluar sambil menepuk tangannya yang baru dikeringkan.
Dalam hati ia bergumam kesal,
“Ngapain juga mereka ngomongin dia di toilet… tapi, dia beneran sakit, ya?”
Langkah Thalia berhenti sebentar di depan pintu UKS yang dilewatinya. Matanya menatap papan bertuliskan Unit Kesehatan Sekolah itu cukup lama sebelum akhirnya ia cepat-cepat melangkah pergi sambil menggeleng pelan.
“Bodoh banget kalau gue nyamperin cuma buat ngecek si tembok,” gumamnya lagi, tapi pipinya yang sedikit memanas justru membantah kata-katanya sendiri.
Ruangan UKS siang itu terasa tenang, hanya terdengar deting jam di dinding. Thalia berdiri di depan pintu, menggigit bibir bawahnya, antara maju dan mundur. Tapi rasa penasarannya sudah menendang logikanya hingga keluar jendela.
“Cuma liat bentar doang, abis itu gue cabut,” gumamnya, lalu perlahan membuka pintu.
Begitu pintu terbuka, hening. Ruangan itu hanya berisi aroma balsem, meja dokter dan beberapa ranjang, dan di sudut ada seseorang yang terbaring di ranjang membelakangi pintu.
Thalia celingukan, langkahnya ringan tapi ekspresi wajahnya sudah penuh niat tengil.
“Heh, tembok…” ucapnya pelan sambil mendekat dan berdiri di samping ranjang.
Jari telunjuknya menyentuh bahu Athar dengan pelan. “Lo beneran sakit?”
Tidak ada jawaban.
“Eh, lo pingsan ya?” Masih tak ada reaksi.
“...Atau jangan-jangan lo koit?” katanya spontan sambil menatap ngeri ke wajah Athar yang diam saja.
Mata Thalia membulat.
“Wah bahaya nih, kalau dia beneran koit terus yang ada di ruangan ini cuma gue, bisa-bisa gue dikira ngebunuh si tembok. Gak bisa! Gue harus kabur!”gumamnya.
Ia segera bangkit dengan panik, namun baru dua langkah.. Tiba-tiba
SRET....
Sebuah tangan mencengkeram pergelangan tangannya kuat.“Mau kemana, hmm?” suara berat itu terdengar pelan tapi menusuk.
“WAH!” Thalia hampir melompat saking kagetnya. Ia menatap ke samping, melihat Athar sudah membuka mata, menatapnya dengan tatapan setengah sadar tapi tetap tajam khas dirinya.
“Gue… gue kira lo ma....maksudnya tidur, jadi gue mau balik,” jawab Thalia terbata, mencoba melepaskan tangannya.
Athar menatapnya lemah tapi masih dengan nada datar, “Ngapain lo di sini?”
“Gue cuma penasaran,” gumam Thalia cepat, lalu menatapnya dengan alis naik. “Apa bener manusia tembok kayak lo bisa sakit juga?”
Athar mengernyit, kemudian dengan pelan bangkit dari ranjang. Tubuhnya sedikit goyah, tapi ia menegakkan diri dan mencondongkan tubuhnya mendekat ke arah Thalia.
“Lo...khawatir?” tanyanya lirih, suaranya serak tapi menggoda.
Thalia memutar bola matanya cepat. “Enggak..! Siapa yang khawatir?! Gue cuma mau...”
Kalimatnya terhenti begitu saja saat matanya menangkap wajah Athar lebih dekat.
Wajah pucat, bibirnya kering, dan mata merahnya terlihat jelas.
“Lo… lo pucat banget,” ucap Thalia tanpa sadar, nadanya melunak.
Athar hanya menatap balik dengan senyum tipis yang nyaris tak terlihat.
“Katanya gak khawatir.”
Thalia mendengus, tapi pipinya memanas. “Bukan khawatir, cuma… ya siapa juga yang mau ngelihat orang pingsan beneran di depan mata gue!”
Athar nyaris tertawa, tapi segera menunduk menahan pusing. Refleks, Thalia menahan bahunya.
“Lo beneran sakit ya…” bisiknya pelan, kali ini tanpa nada tengil.
Athar mengangguk kecil, lalu menatap gadis itu.“Kalau iya, lo mau ngapain?”
Thalia yang tadinya khawatir langsung semangat lagi.“Gue mau kerokin!” serunya penuh keyakinan sambil mengacungkan sebuah koin dari saku rok seragamnya.
Athar menaikkan sebelah alis, menatapnya seperti baru mendengar istilah alien.“Kerokin?”
“Iyaaa! Masa lo gak tau sih, dasar tuan muda nih.” Thalia mendengus. “Kalau gejalanya meriang, pusing, mual, itu biasanya masuk angin. Obatnya ya kerokan di punggung! Biar anginnya keluar semua.”
Athar menatapnya agak lama sebelum bibirnya terangkat pelan.“Lo mau kerokin gue?” tanyanya dengan nada menggoda, sedikit menunduk mendekat.
Thalia langsung panik dan mundur dua langkah.“Eh?! Enggak ya! maksudnya bukan gue, gue mau panggilin Raka aja biar dia yang ngerokin lo!”
“Tadi semangat banget,” gumam Athar dengan nada datar tapi jelas menggoda.
“Ye, lo kan cowok!” jawab Thalia cepat, nyolot tapi pipinya memerah. “Masa iya gue kerokin lo, bisa heboh satu sekolah nanti!”
Ia pun berbalik, hendak keluar dari UKS, tapi tangan Athar kembali menahan pergelangan tangannya, untuk kesekian kali hari itu.
“Gak usah di kerokin,” ucap Athar pelan.
Thalia menatap balik dengan bingung. “Loh kenapa? Biar lo cepet sembuh, kan. Atau minum obat aja deh, kasihan banget gue lihat ketos galak dan nyeremin sakit gini.”
Athar menghela napas kecil, lalu menatapnya dengan sorot mata yang dalam banget.
“Gue udah sembuh.”
Thalia mengernyit, gak percaya.
“Hah? Sembuh dari mana? Emang lo udah minum obat? Kerokan aja belom!”
Athar menatapnya lekat-lekat, lalu ucapannya keluar pelan tapi dalam, seolah sengaja menembak jantung Thalia
“Udah. Obatnya kan lo.”
“APAAN SIH?!” jerit Thalia spontan, wajahnya langsung merah seketika. Ia mendorong dada Athar dengan kedua tangannya gak keras, tapi cukup buat bikin cowok itu tertawa pelan.
“Dasar tembok gila!” serunya sebelum berlari keluar UKS dengan wajah merah padam.
Athar hanya duduk di tempat tidur, menatap pintu yang kini tertutup rapat. Senyumnya mengembang samar, suaranya nyaris seperti bisikan,“Obat paling manjur emang lo, Lia…”
thalia salting yaa gemeshh 🤭😁
semangat 💪💪💪
sangat bikin perut kram, ngakak🤣🤣🤣