Malam itu, Gwen seorang gadis remaja tidak sengaja memergoki cowok yang dia kejar selama ini sedang melakukan pembunuhan.
Rasa takut tiba-tiba merayap dalam tubuhnya, sekaligus bimbang antara terus mengejarnya atau memilih menyerah, Karena jujur Gwen sangat takut mengetahui sosok yang dia puja selama ini ternyata seorang pria yang sangat berbahaya, yaitu Arsenio.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ladies_kocak, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 15
David Harrison, duduk dengan tatapan datar di meja makan bersama keluarganya yang sudah berkumpul. Dengan kepala keluarga yang berwibawa, dia memperhatikan setiap anggota keluarganya, tatapannya jatuh pada Darren, anaknya yang sudah tidak muda lagi.
"Mana anak perempuanmu, Darren?" tanya David dengan nada yang berat.
Darren hanya mengedikkan bahunya tanpa menoleh, sikapnya yang acuh tak acuh membuat David menghela nafas. Suasana hening sesaat hingga derap langkah terdengar menggema di ruangan, menarik perhatian semua orang.
Gwen, dengan mata yang ceria, muncul di pintu. "Pagi Papi, Abang, Kak Tata, kakak ipar, baby Azka," sapanya ceria sambil mengecup satu persatu pipi anggota keluarga yang disebutkan. Maudy serta orang tuanya menatap tajam Gwen.
"Pagi abang Rafa," tak lupa juga menyapa Rafa yang duduk diam dengan raut khasnya dingin dan datar.
"Pagi," Dengan ramah Rafa membalas sapaan Gwen yang sudah meletakkan bokong di samping Darren.
David memandang gadis itu dengan tatapan yang dingin, mencoba menyembunyikan kemarahannya yang terasa menggumpal atas sikap tidak sopan dari cucunya. Cucunya? Entahlah apa David masih menganggapnya cucu.
Gwen, yang sengaja tidak menyadari ketegangan yang ada, "Papi, aku mau nasi goreng pake udang dong,"
Agatha hanya geleng-geleng kepala, menatap tingkah sepupunya, yang tampaknya telah menurunkan sifat keras kepala kepadanya—mirip Darren, sang paman.
Hubungan darah mereka memang tidak dapat disangkal. Biasanya hanya Darren yang bisa menandingi kelancangan David, namun kini Gwen pun tampak sama nekatnya.
Maudy mencoba menegur dengan nada mencari perhatian. "Kamu tidak punya sopan santun sama sekali ya, Gwen? Kakek sudah menunggu lama, tapi kamu malah makan duluan."
Gwen, yang tengah menyantap udang, berhenti sejenak, lalu dengan santai melanjutkan mengunyah.
"Emang gue peduli. Siapa suruh tunggu gue," balas Gwen dengan nada mengejek.
David menimpali, tampak kesal. "Jaga bicaramu, Gwen! Tidak lihat banyak orang lebih tua dari kamu di sini?"
Gwen mengibaskan tangan, nada bicaranya tak kalah santai. "Ga mau, Papi aja nggak pernah diajarin buat sopan sama kalian."
Darren menghela napas perlahan, sebuah senyum terselip di sudut bibirnya. Meski Gwen berkata-kata tajam, tak satu pun menduga itu adalah sindiran yang dilontarkannya. Terlebih lagi kepada keluarga yang secara tidak langsung telah melukai hati kecilnya.
"Kita maklumi saja kakek, anak tumbuh tanpa sosok seorang ibu," Ejek Maudy.
Diam-diam, darah Darren mendidih melihat anaknya yang ia sayangi harus merasakan pedihnya kata-kata Maudy. Ketegangan memuncak di ruang makan itu.
Sementara Gwen, dengan mata berkaca-kaca yang memancarkan api amarah, mengenggam sendoknya begitu erat hingga knuckle-nya memutih.
Maudy, yang dari tadi berbicara, akhirnya disentak mundur oleh Joanna yang lekas memegang lengan anaknya, mengetahui betapa Gwen sensitif jika menyangkut dengan mendiang ibunya.
Darren dan Nicholas, yang selama ini bertindak sebagai pelindung, kini terpaku di kursi mereka. Mereka tahu betul apa yang bisa terjadi jika melontarkan satu kata pun. Mereka hanya bisa menunggu dengan dada yang bergemuruh, mencermati setiap gerak Gwen.
Benar saja, tanpa diduga, Gwen yang dipenuhi amarah yang tak terbendung, berdiri dengan tiba-tiba. Dengan garpu erat di genggamannya, ia melangkah cepat menuju Maudy.
Maudy, terperanjat dan tergagap, buru-buru mencari perlindungan di balik tubuh orang tuanya. Namun, terlambat. Gwen dengan gesit memojokkan Maudy, lalu tanpa ragu menggores ujung garpu itu ke sisi wajahnya yang ketakutan, memberi tanda yang tidak akan mudah dilupakan.
"Coba ulang lagi, sialan!" Dia berteriak.
"Kakek," Maudy berusaha memanggil David yang sudah naik pitam melihat tingkah Gwen. Tubuhnya tegang, mendorong Gwen hingga hampir tersungkur.
Seketika, Darren menangkap tubuh mungil putrinya, menghempaskan diri untuk melindunginya. Pelukan Darren menjadi benteng bagi Gwen yang mulai menangis, teringat akan ibunya.
“Udah, udah, anak papi ga boleh nangis," bisik Darren sambil mencium lembut pucuk kepala putrinya.
David, dengan sorot mata yang membara, menuding Gwen yang lemah dalam pelukan Darren. “Kenapa setiap kali kamu ada di keluarga ini selalu membuat rusuh, hah!?”
Darren, dengan kekuatan yang terkumpul, menangkap jari yang menuding itu. “Jangan sembarangan menuding putri kesayangan saya, Tuan Harrison yang terhormat, sebelum saya menghancurkan keluarga ini," ucapnya dengan nada mengancam yang tajam.
Sementara itu, Nicholas berusaha keras menahan emosi, rahangnya mengeras. Noa, istrinya, dengan lembut menggenggam tangannya, memberikan kekuatan yang dibutuhkan.
"Sayang, kamu bisa bawa baby keluar?" pinta Nicholas menatap dalam mata istrinya.
Noa menghela nafas berat mengangguk, "jangan terlalu emosi ya," katanya lembut.
Nicholas hanya mengangguk saja memberi senyum terbaiknya kepada sang istri. "Jangan lama,aku tunggu di luar sama baby," kata Noa.
"Iya,"
Darren memandang David dengan tatapan yang dingin, memotong udara sekitarnya dengan aura kemarahannya. "Tata, bawa Gwen keluar," perintahnya tanpa emosi.
Agatha yang kaget, dengan cepat menuntun Gwen yang masih menangis keluar dari rumah tersebut. Suasana bertambah tegang.
"Jika suatu hari kau menyesal karena telah salah membenci, jangan salahkan aku karena telah membawa mereka jauh," kata Darren lagi. "Padahal ini permintaan terakhir Gwen untuk bisa makan sama anda, tuan. Sebentar lagi saya akan membawa mereka untuk tinggal di tempat lain. Saya dan anak-anak saya tak akan menganggu keharmonisan keluarga kalian lagi,"
Di tengah ruang yang semakin sepi, David mendengarkan kata-kata itu. Rasa sakit mendalam menusuk hatinya, namun ego dan bisikan licik dari orang-orang di sekitarnya terus menguasainya.
Darren menatap sang anak sulung yang masih terdiam di tempat, hanya bisa menghembuskan nafas berat. "Apa yang ingin kamu lakukan, lakukan sekarang! papi tahu tanganmu gatal kan?"
Seketika Nicholas tersenyum miring mendapat izin dari Darren. Tanpa menunggu lebih lama lagi, Nicholas menarik taplak meja makan, membuat seluruh isinya berhamburan ke lantai meninggalkan bekas suara nyaring menggema di rumah besar itu.
Semua panik segera berdiri di tempat, tapi tidak dengan Rafa yang masih menatap meja yang kosong dengan senyum miring terpantri di wajahnya.
"Kau gadis sialan, Jika aku masih melihatmu mengganggu adik kesayanganku lagi, tunggu kehancuranmu!" Ancam Nicholas, lalu menatap David, "Dan kau pak tua, Kalo saya tahu anda akan memperlakukan adik saya seperti ini, seharusnya dari dulu saya menjauhkan adik saya dari anda. Anda tak perlu memanjakan adik saya berlebihan, Jika akhirnya anda memperlakukan nya seperti sampah!"
Jantung David berdetak dua kali lipat, tak menduga cucunya yang selama ini diam, secara terang membenci dirinya.
"Semoga papa bahagia" Harap Darren berlalu dari sana di ikuti Nicholas.
"Tidak, papa tidak bahagia tanpa kalian, Darren. Kenapa kalian tidak bersabar sedikit lagi," Batin David sedih menatap punggung anak dan cucunya menjauh.