" Iya, sekalipun kamu menikah dengan wanita lain, kamu juga bisa menjalin hubungan denganku. Kamu menikah dengan wanita lain, bukan halangan bagiku “ Tegas Selly.
Padahal, Deva hendak di jodohkan dengan seorang wanita bernama Nindy, pilihan Ibunya. Akan tetapi, Deva benar - benar sudah cinta mati dengan Selly dan menjalin hubungan gelap dengannya. Lantas, bagaimanakah kelanjutan hubungan antara ketiganya ? Akankah Deva akan selamanya menjalin hubungan gelap dengan Selly ? atau dia akan lebih memilih Nindy ?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Vitra, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Antara Cincin dan Sepatu
Malam ini, Nindy sudah bersiap untuk bertemu dengan Deva. Kali ini, Deva mengajaknya makan malam di salah satu restoran mewah. Nindy pun telah memilih pakaian terbaiknya, karena malam ini terasa begitu spesial. Terlebih lagi, ia tidak berangkat sendiri Deva akan menjemputnya langsung.
Dengan riasan sederhana namun anggun, Nindy duduk di kursi depan rumah, menanti kedatangan Deva. Pak Danu dan Bu Narmi, orang tuanya, turut menemaninya menunggu.
“Wah... cantiknya anak Bunda,” puji Bu Narmi sambil mengamati penampilan putrinya dari ujung kepala hingga ujung kaki.
“Harus cantik dong, Bun. Kan malam ini makan malam di tempat spesial,” sahut Pak Danu sambil tersenyum.
“Ayah sama Bunda ini, sukanya bikin aku malu aja,” balas Nindy sambil terkekeh.
Di tengah obrolan mereka, mobil Deva terlihat memasuki halaman rumah. Nindy segera berdiri, begitu pula Pak Danu dan Bu Narmi yang bersiap menyambut kedatangannya.
Begitu keluar dari mobil, Deva langsung menghampiri mereka dan menyapa dengan sopan.
“Bapak dan Ibu sehat?” sapa Deva sambil menyalami Pak Danu dan Bu Narmi.
“Alhamdulillah, sehat,” jawab keduanya serempak.
“Alhamdulillah. Saya sekalian mau minta izin mengajak Nindy makan malam di luar,” ucap Deva dengan nada sopan.
Dengan senang hati, Pak Danu mengizinkan. “Silakan, Nak Deva,” ujarnya ramah.
Nindy lalu berpamitan, mencium tangan kedua orang tuanya. Setelah itu, Deva juga pamit, lalu membuka pintu mobil untuk Nindy. Sikap kecil penuh perhatian itu membuat hati Nindy semakin luluh.
Dalam perjalanan, Deva membuka percakapan.
“Kamu suka dengan kalung yang aku kasih?”
Sambil tersenyum, Nindy menjawab, “Iya, aku suka sekali. Sekarang pun masih kupakai. Maaf, karena tertutup hijab jadi nggak kelihatan.”
“Gak apa-apa, Nin. Yang penting kamu suka. Bagiku, dengan kamu mengenakannya saja sudah lebih dari cukup,” sahut Deva, masih fokus menyetir.
Nindy tersipu malu, menunduk sambil tersenyum. Pria yang duduk di sampingnya itu kembali menggetarkan hatinya.
Setelah satu jam perjalanan, mereka sampai di restoran. Deva kembali membuka pintu mobil untuk Nindy, lalu mereka masuk dan diantar pelayan ke meja yang telah disiapkan sebuah meja dekat jendela dengan pemandangan kota.
Sambil menunggu pesanan datang, Nindy memandang ke luar jendela, menikmati keindahan malam kota dari lantai atas restoran.
“Indah, ya, pemandangan kota di malam hari,” kata Deva, ikut menatap ke luar.
“Iya, indah sekali. Kalau siang terasa hiruk-pikuk, malam seolah menyihir semuanya jadi tenang,” balas Nindy, masih terpaku pada panorama malam.
Tak lama, makanan mereka datang. Setelah menyantap hidangan dengan suasana hangat dan penuh tawa, Deva tiba-tiba mengeluarkan sebuah kotak kecil. Ia membukanya tepat di depan Nindy sebuah cincin tampak di dalamnya.
“Nin, aku nggak mau berlama-lama lagi. Aku ingin kita menyatukan perasaan ini dalam sebuah pernikahan. Maukah kamu menikah denganku?”
Nindy terharu. Dengan mata berkaca-kaca, ia mengangguk pelan. Deva lalu menyematkan cincin itu di jari manisnya.
Malam itu, Nindy akhirnya mendapatkan jawaban atas keyakinan yang selama ini ia tunggu. Deva telah memberikan kepastian.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Kevin kembali mendatangi apartemen Selly setelah sehari sebelumnya ia absen.
"Aku benar-benar penat setelah seharian kemarin hanya berada di rumah. Apalagi, aku harus bertemu dengan Martha," keluh Kevin kepada Selly.
"Kamu sudah sebegitu cintanya padaku, Kev? Baru sehari di rumah dengan istrimu saja kamu sudah merasa penat? Hahaha," tawa Selly, terdengar mengejek.
"Iya, penat banget. Apalagi sikapnya akhir-akhir ini mulai aneh lagi," ujar Kevin dengan nada kesal.
Selly mengernyitkan dahi. "Aneh gimana?" tanyanya.
Kevin berniat menjawab, tapi kemudian mengurungkan niatnya. Jika ia berkata jujur bahwa sikap Martha justru terasa manis akhir-akhir ini, Selly pasti akan cemburu. Ia tak ingin merusak suasana hati Selly.
"Ya, pokoknya aneh. Aneh aja," Kevin mencoba mengalihkan pembicaraan.
"Yang penting aku percaya sama kamu. Kamu nggak akan berpaling dariku, kan?" Selly menyahut datar.
Seolah mengerti bahwa Kevin sedang menyembunyikan sesuatu, Selly mulai merasa cemburu. Ia hanya terdiam.
"Sayang, kamu nggak marah kan sama aku?" tanya Kevin, menatap Selly yang mulai menunjukkan tanda cemburu. Lalu, Kevin melanjutkan, "Katanya kamu percaya padaku? Kalau aku nggak cinta sama kamu, masa aku mau nurutin semua yang kamu minta?"
Selly menoleh, lalu tersenyum. "Maaf, kalau lagi cemburu aku kadang lupa sama bukti cintamu," ucapnya lembut.
Kevin memeriksa sekitar, mencari-cari barang-barang pemberiannya, termasuk tas dan bunga mawar berbentuk hati yang sudah tak tampak lagi.
"Barang-barang pemberianku, kamu simpan di mana?" tanya Kevin, sambil melirik ke sekitar.
Selly menepuk jidatnya dan menutup kedua matanya. "Ya ampun, maaf. Aku lupa masukin lagi ke dalam. Kemarin kan Deva datang ke sini. Jadi, aku beresin semua barang-barangmu ke bagasi mobil," jelas Selly.
Kevin mengangguk, meskipun di dalam hatinya sedikit rasa cemburu mulai muncul. Namun, ia berusaha menenangkan dirinya. Deva tak ada apa-apanya dibandingkan dirinya.
"Ini cuma aku tanya aja, kok. Deva selama ini kasih apa aja ke kamu?" tanya Kevin dengan nada ringan, meskipun dalam hatinya ada sedikit rasa cemburu yang ia coba sembunyikan.
"Dia cuma pernah kasih aku sepasang sepatu itu," jawab Selly sambil menunjuk sepatu berwarna merah maroon yang ada di sudut ruangan.
Kevin memandangi sepasang sepatu itu. Sepatu itu sudah berada di sudut ruangan apartemen Selly sejak lama. Hanya saja, saat itu Kevin belum jatuh cinta kepadanya. Sehingga, ia hanya mengabaikannya saja di waktu lalu. Namun, sekarang sepasang sepatu itu menjadi pengingat bahwa Selly pernah menerima cinta Deva dan itu cukup membuat hatinya teraaa sesak, hanya saja ia tak mengakuinya.
Selly langsung berdiri dari sofanya. Melihat itu, Kevin pun bertanya.
"Kamu mau ke mana?" tanyanya heran.
"Aku mau ambil barang-barang pemberianmu yang masih ada di dalam mobil," jawab Selly sambil berjalan menuju pintu.
Raut wajahnya tampak berubah. Mungkin Selly merasa tidak enak hati setelah Kevin menyinggung soal pemberian dari Deva.
"Aku bantu bawain," sahut Kevin, ikut bangkit dari sofa. Mereka pun berjalan beriringan keluar apartemen menuju lift untuk turun ke lantai bawah.
Dari dalam mobil yang terparkir tak jauh dari lobi, Rendi dan Fani menajamkan pandangan mereka. Begitu melihat Kevin dan Selly keluar bersama, ekspresi keduanya langsung berubah.
"Cepat, potret itu!" bisik Fani sambil menunjuk ke arah mereka.
Rendi dengan cekatan mengangkat kamera dan mengabadikan momen yang sudah lama mereka nantikan Kevin dan Selly berjalan berdampingan, tampak begitu akrab.
Fani mengerutkan dahinya. "Eh, itu barang-barang yang ada di fotomu kemarin, kan? Kenapa tadi disimpan di mobil, terus sekarang malah dibawa lagi ke atas?" ucapnya curiga.
"Dan bukan cuma itu," timpal Rendi. Tatapannya tertuju pada mobil yang mereka dekati tadi. "Mobil itu... bukan mobil Kevin."