roni, seorang pemuda tampan dari desa terpencil memutuskan untuk merantau ke kota besar demi melanjutkan pendidikannya.
dengan semangat dan tekat yang kuat iya menjelajahi kota yang sama sekali asing baginya untuk mencari tempat tinggal yang sesuai. setelah berbagai usaha dia menemukan sebuah kos sederhana yang di kelola oleh seorang janda muda.
sang pemilik kos seorang wanita penuh pesona dengan keanggunan yang memancar, dia mulai tertarik terhadap roni dari pesona dan keramahan alaminya, kehidupan di kos itupun lebih dari sekedar rutinitas, ketika hubungan mereka perlahan berkembang di luar batasan antara pemilik dan penyewa.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aak ganz, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
25
Keesokan harinya, seperti yang direncanakan, Roni benar-benar mengajak Mbak Maya pergi ke KUA untuk melangsungkan pernikahan. Awalnya, Mbak Maya merasa ragu dan bingung, tetapi Roni terus membujuknya hingga akhirnya Mbak Maya setuju.
Saat mereka akan masuk ke dalam mobil, Bayu, yang kebetulan lewat, menyapa mereka.
"Hai, Roni... Wah, kalian mau pergi ke mana?" tanya Bayu sambil melambai ke arah Roni.
"Kami akan ke KUA. Kami akan melangsungkan pernikahan di sana," jawab Roni sambil tersenyum lebar.
"Roni, kamu tidak seharusnya memberitahunya. Aku malu," bisik Mbak Maya.
"Kenapa malu? Bukankah nanti dia juga akan tahu?" balas Roni.
Mendengar hal itu, Bayu terkejut sekaligus bingung. Ia memandang ke arah Mbak Maya, berharap mendapatkan penjelasan, karena ia tahu kondisi Roni yang sedang hilang ingatan.
"Roni, boleh saya bicara sebentar dengan Mbak Maya? Saya ingin menyampaikan selamat," pinta Bayu.
"Ya sudah, boleh," ujar Roni tanpa curiga.
Ketika berbicara berdua dengan Mbak Maya, Bayu bertanya, "Mbak, apa ini benar? Kenapa tiba-tiba? Bagaimana kalau Mbak Miya tahu soal ini? Pasti akan ribut dan mengira Mbak memanfaatkan kondisi Roni."
"Aku juga bingung, Bayu. Aku tidak menyangka akan seperti ini. Memang aku pernah berkata kepadanya bahwa aku calon istrinya, tapi dia malah mempercepat pernikahan kami. Aku jadi tidak bisa berbuat apa-apa," jawab Mbak Maya cemas.
"Lalu, apakah Mbak akan menyembunyikan status kalian dari Mbak Miya?" tanya Bayu lagi.
"Aku benar-benar bingung, Bayu. Aku tidak bisa menolak pernikahan ini. Aku takut kondisi Roni memburuk jika aku menolaknya," ujar Mbak Maya dengan nada putus asa.
"Baiklah, Mbak. Bagaimana pun keputusannya, saya mendukung. Lakukanlah demi kebaikan Roni dan kalian berdua. Soal Mbak Miya, nanti saya yang bantu menjelaskannya. Semoga pernikahan ini menjadi awal kebahagiaan untuk kalian," kata Bayu menyemangati.
Ketika mereka hendak melanjutkan perjalanan, tiba-tiba Roni mengeluh sakit kepala.
"Ahh..." teriaknya sambil memegang kepalanya.
"Kamu kenapa? Tidak apa-apa, kan? Lebih baik kita pergi besok saja, ya," ujar Mbak Maya panik.
"Tidak apa-apa. Tadi hanya sedikit sakit saja. Menikahimu jauh lebih penting. Dengan begitu, kita tidak akan ada masalah besar jika tinggal satu rumah," kata Roni.
"Huh... Bukankah kita sudah sering tinggal satu rumah, Roni," gumam Mbak Maya dalam hati.
Mereka pun melanjutkan perjalanan ke KUA. Sesampainya di sana, mereka ditanyai soal saksi dan wali. Karena tidak ada wali dari pihak Mbak Maya, Roni beralasan bahwa wali Mbak Maya berhalangan hadir. Roni berkata demikian agar tidak ada hambatan dalam pernikahan, sebab ia tahu Mbak Maya tidak memiliki keluarga dekat di kota. Padahal, sebenarnya Mbak Maya masih memiliki keluarga di kampung, tetapi ia belum berani memberitahu mereka tentang pernikahan ini.
Mendengar alasan Roni, penghulu pun memaklumi dan melangsungkan pernikahan mereka.
Beberapa saat kemudian, Roni dan Mbak Maya keluar dari gedung KUA sambil membawa masing-masing surat nikah mereka.
"Roni, biar aku saja yang menyimpan surat nikah kita," ujar Mbak Maya. Roni pun setuju dan menyerahkan surat nikahnya kepada Mbak Maya.
Di kejauhan, seseorang sedang memperhatikan mereka sambil berdiri di samping mobilnya.
"Bukankah itu Roni? Siapa wanita yang bersamanya? Jangan-jangan...," gumam pria itu, yang ternyata adalah Jack.
Jack terus memperhatikan Roni dan Mbak Maya yang terlihat mesra saat masuk ke dalam mobil.
"Tidak salah lagi. Mereka pasti baru saja menikah. Tapi bagaimana dengan Miya? Sialan... Ini tidak beres. Mereka pasti menikah diam-diam tanpa sepengetahuan Miya," ujarnya.
Jack, yang tidak tahu soal kondisi Roni yang kehilangan ingatan, mengira Roni berselingkuh di belakang Miya.
"Ini tidak boleh dibiarkan. Miya harus tahu soal ini," katanya sambil mengambil foto kemesraan Roni dan Mbak Maya untuk diperlihatkan kepada Miya.
Awalnya, Jack sudah berjanji untuk tidak mengganggu Miya. Namun, melihat kejadian tadi, ia merasa mendapat kesempatan untuk mendekati Miya lagi.
"Haha... Terima kasih, Roni. Sekarang aku punya kesempatan. Janjiku pada kalian aku lupakan. Siapa suruh kau mengkhianati Miya? Haha...," katanya sambil menjalankan mobilnya menuju rumah sakit tempat Miya berada.
Di Rumah Sakit
Di kamar rumah sakit, Miya terkejut ketika keluar dari kamar mandi. Ia menemukan ibunya membuka mata dan memanggilnya.
"Miya..."
"Mama! Mama sudah sadar... Syukurlah. Pa... Pa... Mama sudah sadar!" seru Miya sambil keluar kamar untuk memanggil ayahnya yang menunggu di luar.
Mendengar itu, ayahnya segera masuk ke kamar dan melihat istrinya sudah sadar. Dengan penuh kebahagiaan, ia memeluk istrinya dengan lembut.
"Sayang, akhirnya setelah cukup lama, kamu sadar juga," ucapnya penuh haru.
"Pa... Di mana Bobi?" tanya Serli.
"Miya, cepat hubungi kakakmu. Beri video call, ibumu ingin melihatnya," pinta ayahnya.
Miya langsung menghubungi Bobi, yang sedang berada di luar negeri, dan memberitahunya bahwa mama mereka sudah sadar.
Ketika sambungan video call tersambung, Serli menunjukkan senyum manis kepada mereka. Semua merasa bahagia melihat senyum Serli, berpikir bahwa ia akan segera pulih.
Namun, kebahagiaan mereka tidak berlangsung lama...
Serli yang baru saja siuman, meminta waktu untuk beristirahat. Namun, sebelum itu, ia membuka suara:
"Maafkan Mama ya, karena telah merepotkan kalian. Pa, Papa jangan sedih lagi ya. Mama tidak mau Papa dan anak-anak sedih karena Mama. Lihat wajah kalian, jelek sekali, sepertinya menangis terus," katanya sambil tersenyum lemah.
"Ma... bagaimana kami tidak sedih? Mama tidur terus. Tapi sekarang Mama sudah sadar, kami tidak sedih lagi kok," ucap Miya dengan nada lega.
"Iya, benar, sayang. Kami tidak sedih lagi. Mama harus sembuh ya," tambah Tuan Bram mencoba menyemangati istrinya.
"Iya, Pa. Makasih, Pa. Mama bahagia sekali punya kalian. Bobi sayang, kamu baik-baik, kan, di sana? Maaf Mama jadi membuatmu khawatir. Kamu harus rajin-rajin belajar di sana, sayang, supaya bisa membantu Papa kelak. Jangan karena Mama, kamu jadi tidak fokus, ya," ujar Serli sambil berbicara kepada Bobi lewat panggilan video.
"Bobi baik-baik kok, Ma. Tapi Bobi sempat gelisah dan ingin pulang saat mendengar kabar Mama dirawat di rumah sakit. Tapi Bobi janji akan jadi pria tangguh dan cerdas, seperti yang Mama inginkan," jawab Bobi sambil tersenyum menahan haru.
Serli membalas senyuman Bobi, meski wajahnya terlihat sangat pucat.
"Baiklah, Mama mau istirahat dulu, ya. Pa, Mama titip anak-anak. Papa juga tetap jaga kesehatan," pesan Serli dengan suara lirih. Setelah itu, ia memejamkan mata.
Tuan Bram dan Miya mengira Serli hanya ingin tidur sejenak.
"Baiklah, kamu istirahat, ya, Sayang. Cepat sembuh, kami sangat merindukan keceriaanmu," ujar Tuan Bram lembut.
Namun, beberapa detik kemudian, suara monitor detak jantung berbunyi keras, menandakan adanya masalah. Panik, Tuan Bram segera menekan tombol darurat. Tim medis segera datang dan memeriksa kondisi Serli, tetapi semuanya terlambat. Dokter yang memeriksa hanya bisa berkata:
"Maaf, Tuan. Pasien telah tiada. Tuhan berkehendak lain. Mohon kalian tetap tabah. Maafkan kami, kami tidak bisa menolong pasien."
Mendengar itu, Miya langsung berteriak histeris.
"Mama...!" teriaknya sambil menangis dan memeluk tubuh ibunya yang sudah dingin. Tuan Bram juga tidak percaya bahwa istrinya, yang baru saja siuman dan menyapa mereka, kini telah meninggalkan mereka untuk selamanya.
Rupanya, Serli hanya diberikan kesempatan untuk berpamitan sebelum beristirahat selamanya.
"Mama... jangan tinggalkan Miya! Ayo, Ma, bangun! Bukankah tadi Mama sudah bangun? Tapi kenapa, Ma? Kenapa Mama malah pergi meninggalkan Miya? Mama, Miya belum sanggup kehilangan Mama. Tolong bangun, Ma...!" teriak Miya dalam tangis penuh kesedihan.
Tuan Bram, yang juga merasakan kesedihan mendalam, berusaha tegar. Ia sadar harus menguatkan Miya, seperti pesan terakhir istrinya. Ia memeluk Miya erat-erat sambil berkata:
"Sayang, kita harus mengikhlaskan kepergian Mama. Kita harus menerima semuanya agar Mama bisa tenang di sana. Mama sudah cukup menderita, dan sekarang ia tidak perlu merasa sakit lagi. Saking kuatnya, Mama bahkan sempat menguatkan diri agar bisa berpamitan dengan kita. Ini adalah bukti cintanya kepada kita. Sekarang Mama sedang beristirahat untuk selamanya. Kita harus kuat, Miya, demi Mama."
Miya yang masih larut dalam kesedihan terus menangis, sementara Tuan Bram menahan tangisnya. Ia mengelus wajah Serli yang kini telah kaku dan berkata dengan suara lirih:
"Sayang, sekarang kamu tidak perlu merasa sakit lagi. Aku mengerti semuanya sekarang. Kamu tidak usah khawatir, aku akan menjaga mereka. Tenanglah di sana. Maafkan aku karena tidak bisa membantumu menghadapi sakit yang kau derita"
Bobi yang mendengar kabar duka itu langsung memutuskan untuk pulang ke Indonesia. Ia tidak mempedulikan ujian atau jadwal kuliahnya. Rasa sedih yang mendalam menghantamnya.
"Baru saja aku bicara dengan Mama... tapi sekarang Mama pergi untuk selamanya," gumam Bobi dengan air mata mengalir di wajahnya.
Beberapa jam penerbangan, pesawat yang ditumpangi Bobi akhirnya mendarat dengan mulus. Tanpa membuang waktu, Bobi segera mencari taksi untuk pulang ke rumah. Setibanya di rumah, ia langsung masuk dan melihat ibunya sudah berbaring kaku di atas tempat tidur. Dengan air mata bercucuran, ia berlari dan memeluk tubuh ibunya.
"Ma... Mama... kenapa secepat ini, Ma? Hik... hik... Bobi belum bisa membahagiakan Mama, tapi kenapa Mama pergi begitu cepat? Bukankah Mama berjanji untuk melihat Bobi sukses dan membantu Bapak? Ma... bangun, Ma!" teriak Bobi histeris sambil memeluk tubuh ibunya.
Melihat putranya seperti itu, Tuan Bram hanya bisa menahan air mata. Hatinya hancur. Keluarga yang dulunya bahagia kini berubah drastis setelah kepergian Serli.
"Kalian harus tabah, ya. Mama sudah berusaha, hanya saja sakit yang dia derita terlalu berat. Percayalah, Mama telah melakukan yang terbaik untuk bertahan. Jangan seperti ini lagi, kasihan Mama kalau melihat kalian terus bersedih. Biarkan Mama tenang di sana," ujar Tuan Bram mencoba menguatkan anak-anaknya.
Perkataan Tuan Bram membuat Bobi sedikit tenang.
"Benar, Pa... Kami tidak seharusnya bersedih berlebihan. Ini sudah kehendak Tuhan, dan Mama sudah berusaha keras," ucap Bobi sambil menyeka air matanya.
Namun berbeda dengan Miya. Kesedihan membuatnya terlihat lemah, hingga akhirnya ia pingsan di tempat.
Keesokan harinya, pemakaman Serli berlangsung dengan dihadiri banyak orang, termasuk keluarga besar, kerabat, dan teman-teman, seperti Jack dan keluarganya. Setelah prosesi selesai, Miya enggan meninggalkan makam ibunya.
"Miya, ayo kita pulang. Hari sudah mulai gelap. Kita bisa kembali ke sini besok," ajak Bobi dengan lembut.
"Tidak, Kak. Aku tidak akan meninggalkan Mama. Dia pasti kesepian. Miya akan tetap di sini. Miya tidak mau pulang kecuali bersama Mama," ujar Miya dengan suara bergetar menahan tangis.
"Miya, Mama sudah tenang di sana. Kamu harus bisa menerima semua ini. Mama akan tersiksa jika kamu terus seperti ini. Semua makhluk hidup akan mati, Miya. Sekarang giliran Mama, dan kita harus ikhlas. Kamu ingat, kan, pesan Mama agar kita tetap kuat? Jadi ayo kita pulang. Besok kita datang lagi ke sini," kata Bobi mencoba membujuk adiknya.
"Tapi, Kak... Mama sendirian. Dia pasti sedih kalau kita tinggal," sahut Miya sambil menangis.
"Tidak, Miya. Mama selalu bersama kita. Justru kalau kita ikhlas, Mama akan lebih bahagia di sana. Kalau kamu sakit karena terlalu sedih, Mama akan ikut sedih. Sekarang dengarkan Kakak, ya. Kita masih punya Bapak yang harus kita bahagiakan. Papa juga pasti merasa kehilangan, jangan buat beliau lebih sedih lagi karena kita," ujar Bobi dengan nada bijak.
Setelah mendengar itu, Miya akhirnya bisa dibujuk. Sebelum pulang, ia berpamitan kepada makam ibunya.
"Ma, Miya pulang dulu, ya. Besok Miya ke sini lagi," ucapnya dengan air mata berlinang.
Hari-Hari Setelah Kepergian Serli
Hari demi hari berlalu. Kesedihan Miya perlahan mulai mereda. Ia berusaha bangkit demi ayahnya. Kini, Miya lebih banyak menghabiskan waktu bersama Tuan Bram karena ia tahu betapa besar kehilangan yang dirasakan ayahnya.
"Pa, maafkan Miya yang terlalu larut dalam kesedihan. Sekarang Miya janji tidak akan sedih lagi. Miya akan menjalani hidup seperti biasa, untuk Mama. Miya sudah mulai ikhlas, Pa," ucap Miya dengan senyuman kecil.
Mendengar itu, Tuan Bram merasa lega dan bahagia. Putrinya mulai kembali ceria, meskipun ia tahu kesedihan Miya masih ada. Namun, di balik senyumnya, Tuan Bram sendiri sebenarnya hancur. Ketika ia sendirian, ia merasa kehilangan seluruh kebahagiaannya, seolah semuanya telah diambil bersamaan dengan kepergian Serli.
Namun, demi anak-anaknya, ia berpura-pura bahagia. Ia tahu, sekarang tugasnya adalah menjaga dan membimbing mereka, seperti pesan terakhir istrinya.
Bobi kembali terbang ke luar negeri untuk melanjutkan ujian semesternya setelah sebelumnya tertunda. Sedangkan Miya, dia menjalani hari-harinya seperti biasa. Dia pergi ke kuliah dan juga mengunjungi Roni setiap harinya. Hanya saja, dia belum mengetahui kabar soal pernikahan Roni dengan Mbak Maya. Mbak Maya sengaja menyembunyikannya dari Miya dan tetap bersikap seperti biasa terhadap Miya.
"Miya, maaf ya kami tidak bisa hadir di pemakaman ibumu. Kami mendapatkan kabar itu beberapa hari setelah pemakaman. Kamu harus tabah ya," kata Mbak Maya sambil mengucapkan turut berduka cita.
"Iya, tidak apa-apa. Terima kasih ya. Oh ya, di mana Roni?" tanya Miya.
"Dia berada di ruang tamu. Kamu temani dia ya. Aku harus pergi ke rumah sakit, banyak pasienku hari ini," kata Mbak Maya sambil menitipkan Roni kepada Miya. Dia melakukan itu agar Miya tidak curiga soal pernikahannya dengan Roni. Mbak Maya tidak mau Miya mengetahui itu, karena jika Miya sampai tahu, pasti dia akan mencaci maki Mbak Maya dan menganggapnya wanita yang tidak tahu malu karena telah memanfaatkan kondisi roni yang hilang ingatan untuk menikahinya.
Namun, sebagaimana rahasia apa pun, cepat atau lambat akan terbongkar. Itu juga terjadi pada rahasia pernikahan Mbak Maya dengan Roni. Rahasia itu akhirnya sampai juga di telinga Miya, dan siapa lagi kalau bukan Jack yang melakukannya.
Saat di kampus, Jack sengaja menghadang Miya ketika dia hendak masuk ke dalam kelas.
"Apa lagi kamu? Bukankah kamu sudah berjanji tidak akan mengganggu saya lagi setelah kamu tidak berhasil mengalahkan Roni di pertarungan waktu itu?" kata Miya kesal karena dihadang Jack.
"Ya, memang aku telah berjanji. Hanya saja, janji itu aku putuskan untuk aku hapus," ujar Jack santai.
"Lah, kenapa begitu? Kamu harusnya menepati janji dong! Apalagi karena tantangan kamu itu, Roni sekarang sampai lumpuh karena kamu," ucap Miya dengan nada tajam.
"Miya, kenapa sih kamu selalu membela pria itu? Dia itu tidak baik untukmu. Sadar lah, Miya. Kamu hanya dimanfaatkan," kata Jack mencoba menyudutkan Roni.
Miya balas dengan sinis, "Jack, apa aku tidak salah dengar? Aku mengenal Roni lebih daripada kamu. Dia pacarku, dan pastinya aku lebih mengenalnya. Pantaslah aku membelanya. Sedangkan kamu hanya pria bajingan yang tidak tahu malu. Sialan!" ucap Miya sambil melangkah pergi.
Namun, Jack tidak membiarkannya. Dia menarik tangan Miya dan berkata, "Miya, aku akan memberitahumu soal rahasia Roni."
"Apalagi? Sudah cukup ya kamu membuat onar di dalam hubungan kami. Semua sia-sia, Jack, karena kamu tidak mendapat apa-apa. Berharap mendapatkan aku itu mimpi bodoh," ucap Miya kesal karena lagi-lagi Jack mengganggunya.
"Kamu lihat ini. Apa kamu mengenal siapa di dalamnya?" ucap Jack sambil memperlihatkan Miya selembar foto.
Awalnya, Miya tidak tertarik. Tapi dia samar-samar melihat wajah Roni yang duduk di atas kursi roda, sedang bersama Mbak Maya.
"Itu aku dapatkan waktu Roni membawa wanita itu keluar dari gedung itu. Dan kamu pasti tahu gedung apa itu," kata Jack. Miya langsung meraih foto itu dan pergi. Dia berniat langsung ke rumah Mbak Maya untuk meminta penjelasan.
Sepertinya akan terjadi keributan besar karena masalah itu.