Jelita Pramono seorang gadis periang, namun jangan sampai kalian mengusik nya, apalagi keluarga maupun orang yang ia sayang disekitarnya. Karena jika kamu melakukannya, habislah hidupmu.
Hingga suatu hari, ia sedang pergi bersama kakak nya, tapi di dalam perjalanan, mobil mereka tertabrak mobil lain dari arah belakang. Sehingga, Jelita yang berada di mobil penumpang mengeluarkan darah segar di dahi nya dan tak sadarkan diri.
Namun, ia terbangun bukan di tubuh nya, tapi seorang gadis bernama Jelita Yunanda, yang tak lain merupakan nama gadis di sebuah novel yang ia baca terakhir kali.
Bukan sebagai pemeran utama atau si antagonis, melainkan figuran atau teman antagonis yang sikapnya dingin dan jarang bicara sekaligus jarang tersenyum.
Mengapa Jelita tiba-tiba masuk kedalam novel menjadi seorang figuran? Apa yang akan terjadi dengannya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lily Dekranasda, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Terbangun
Ruangan rumah sakit itu terasa hening, hanya suara mesin pemantau yang berdengung pelan, seolah ikut menjaga ketenangan seorang gadis muda yang terbaring dengan wajah pucat. Matanya masih tertutup rapat, tapi jari-jarinya mulai bergerak pelan.
Ugh!
Suara pelan itu nyaris tak terdengar, namun cukup untuk membuat pria yang duduk di kursi samping ranjangnya segera berdiri.
Gadis itu, Jelita, mengerang. Tubuhnya terasa berat dan sakit luar biasa. Setiap gerakan kecil menyiksa. Tarikan napas saja membuat dadanya seperti ditusuk ribuan jarum.
“Uh... aku di mana? Badanku, sakit sekali.”
Ia membuka matanya perlahan. Cahaya lampu di atas membuat penglihatannya silau dan samar. Pandangannya masih buram, tapi ia bisa melihat bayangan benda putih tergantung, selang infus yang terhubung ke tangan kanannya.
Tangannya bergerak, mencoba menyentuh kepala yang terasa berdenyut hebat. Jemarinya meraba perban.
“Sakit, eh kenapa kepalaku diperban?”
Kerongkongannya kering. Ia merasa sangat haus.
“A... air...” bisiknya lemah, suara yang keluar serak. Tangannya terulur perlahan, gemetar mencari sesuatu. Matanya belum sepenuhnya melihat dengan jelas, tapi ia merasakan adanya keberadaan orang di sekitarnya.
Orang yang berada di sekitarnya terkejut mendengar suara jelita yang serak tanda ia sudah bangun dari tidur panjang nya.
Pria yang tadi duduk kini sigap mendekat. Wajahnya penuh kekhawatiran. Ia mengambil segelas air dari meja dan menyodorkannya dengan hati-hati.
“Minumlah, kamu pasti haus,” pria itu berkata lembut, suaranya penuh kasih sayang.
Jelita, yang kini merasa seperti orang yang linglung karena baru saja bangun dari mimpi panjang, mengangkat kepalanya sedikit dan meminum air itu dengan cepat.
Namun, saat ia meneguk air itu, matanya mulai menajam dan dunia di sekelilingnya mulai terlihat semakin jelas, lebih nyata. Dan justru itulah yang membuatnya semakin bingung.
Saat meneguk air itu, Jelita tiba-tiba terbatuk. Ia kesedak.
Huk! Huk!
Tangannya terangkat ke dada, mencoba menenangkan diri.
“Jelita!”
Teriakan itu serempak terdengar dari sekeliling tempat tidur. Ada lima laki-laki dan tiga gadis berdiri di sana, semuanya mengenakan seragam sekolah atau ditambah jaket yang dipakainya, menatapnya penuh kekhawatiran.
Jelita kaget, mereka semua meneriaki namanya. Ia tak mengenal mereka semua. “Tolong jelasin ke aku. Siapa mereka semua Woy?!” ucapnya dalam hati.
Salah satu gadis yang di sampingnya segera maju dan hendak menepuk punggungnya. “Hei, pelan-pelan, kamu baik-baik saja, jelita?” tanyanya dengan suara lembut.
Namun, Jelita yang masih terkejut dan langsung menghindar. Dengan cepat, ia menarik tubuhnya menjauh. Wajahnya terlihat bingung dan cemas, matanya menatap seluruh orang yang ada di sekitarnya.
“Kalian semua siapa?” tanyanya dengan suara parau, "Apakah kalian tidak salah kamar kesini?"
Suasana seketika menjadi hening. Ketiga gadis itu saling berpandangan, lalu menatap Jelita dengan tatapan penuh kekhawatiran. Salah satu dari mereka, mulai menahan tangisnya.
“Jelita, kamu nggak ingat kami?” tanyanya dengan suara bergetar, suara yang penuh dengan perasaan.
Jelita semakin bingung. “Jelita? Iya itu adalah nama aku. Tapi, siapa kalian?”
Kenapa mereka semua tahu namanya?
“Jelita, kamu nggak ingat apa yang terjadi? Kamu terjatuh tadi di Sekolah. Kamu pingsan.” Tanya gadis kedua, suaranya penuh dengan kepanikan. “Kami ini sahabatmu!”
Gadis ketiga, yang tampak paling emosional, melangkah maju. Matanya berkaca-kaca.
“Jelita, aku yang nggak sengaja menyenggolmu. Maafkan aku. Maaf, aku nggak sengaja!”
Tangisnya pecah. Tapi Jelita hanya terdiam. Matanya masih menatap mereka tanpa pengenalan sedikit pun.
“Aduh, dia kenapa sih, kenal aja gak. Menyenggol apaan?” ucap Jelita dalam hati.
Tiba-tiba ingatannya seperti terpantik. Sebuah kilasan. Mobil. Lampu. Dentuman keras. “Bukankah tadi aku kecelakaan bareng kak Jordi.” Ucapnya mengingat sang kakak.
“Kak Jordi!” teriak Jelita, suaranya penuh harapan.
Jelita merasakan kepalanya berdenyut, matanya mulai berkunang-kunang, seolah otaknya kesulitan mengingat hal-hal yang hilang. Ia merasa seolah ada sesuatu yang janggal.
Saat itulah, pintu ruangan terbuka.
Seorang wanita dan pria paruh baya masuk dengan wajah panik. Wajah mereka lelah, tapi mata mereka penuh kasih dan harap.
“Jelita, sayang!”
“Anakku, syukurlah kamu sudah sadar.”
Tapi yang mereka dapatkan hanya tatapan kosong dari putri mereka.
Jelita mengerutkan kening. Kepalanya menoleh pelan.
“Kalian siapa?”
Kata-kata itu menghantam seperti palu. Wanita itu terhuyung dan memegang dada, matanya membesar. Pria di sebelahnya menghela napas berat.
“Sayang, ini Mama dan Papa.”
Suara lembut penuh harap itu terdengar dari wanita paruh baya yang berdiri di sisi tempat tidur. Matanya berkaca-kaca, jemarinya gemetar saat hendak menyentuh tangan gadis yang terbaring lemah di ranjang rumah sakit.
Jelita menggigit bibir bawahnya. Pandangannya mengabur oleh air mata yang mulai memenuhi pelupuk mata. Ia menatap mereka lekat-lekat, dua wajah yang seharusnya akrab, tapi terasa begitu asing.
“Siapa mereka? Kenapa mereka terlihat begitu sedih? Apa aku benar-benar kehilangan ingatan? Tapi, aku ingat kecelakaan itu. Wajah Kak Jordi, Mama dan Papa ku aku masih hapal.” ucap Jelita dalam hati yang terlihat bingung.
“Eh, jangan sembarangan bicara, ya! Papa dan Mama aku bukan kalian,” ucap Jelita tiba-tiba, nada suaranya tinggi, gemetar di ujungnya.
“Aduh, kalian ini siapa sih? Kok bisa-bisanya masuk ke ruanganku? Aku nggak kenal kalian semua, ya!”
Suasana di dalam ruangan mendadak sunyi.
Mama dan Papa Jelita tampak terpukul, wajah mereka seketika pucat. Wanita itu menutup mulutnya, berusaha menahan tangis, sementara pria paruh baya di sebelahnya langsung berujar lirih namun tegas, "Panggilkan dokter."
Seorang anak laki-laki yang sedari tadi berdiri di dekat pintu langsung bergegas keluar.
Jelita menatap punggungnya yang menjauh dengan dahi berkerut.
“Kenapa dia lari sih? Kan tinggal pencet tombol ini aja,” gerutunya sambil menekan tombol darurat di samping tempat tidur, alat pemanggil dokter yang biasa digunakan pasien.
Beberapa orang di dalam ruangan tak bisa menahan tawa kecil mereka. Bukan karena lucu, tapi karena suasananya terlalu menyesakkan, dan reaksi Jelita yang polos di tengah kepanikannya terdengar begitu, menyedihkan dan menggemaskan sekaligus dan mereka semua terlihat seperti orang bodoh.
Tak lama kemudian, seorang dokter dan dua perawat masuk. Dokter segera menghampiri dan mulai memeriksa kondisi Jelita.
“Apakah ada bagian tubuh yang masih terasa sakit, Nona?” tanya dokter dengan nada profesional.
Jelita mengangguk pelan. “Iya... seluruh badan rasanya sakit. Kepala juga masih pusing.”
Setelah memeriksa beberapa hal, sang dokter menatap Jelita dengan lembut.
“Boleh saya tahu siapa nama kamu?”
“Jelita Pramono,” jawab Jelita tegas.
“Umur kamu?”
“Delapan belas tahun.”
Dokter kembali bertanya beberapa hal, tanggal lahir, alamat rumah, nama sekolah. Tapi dari jawaban Jelita, semuanya tak sesuai kenyataan.
Jangan lupa support nya guys, Like, komen dan Vote nya
gak rela rasanya harus terpisah sama kak jordi nya 🥺