Nabil seorang anak berkepala besar
bayu ayahnya menyebutnya anak buto ijo
Sinta ibu bayu menyebuutnya anak pembawa sial
semua jijik pada nabil
kepala besar
tangan kecil
kaki kecil
jalan bungkuk
belum lagi iler suka mengalir di bibirnya
hanya santi yang menyayanginya
suatu ketika nabil kena DBD
bukannya di obati malah di usir dari rumah oleh bayu
saat itulah santi memutsukan untuk meninggalkan bayu
demi nabil
dia bertekad memebesarkan nabil seorang diri
ikuti cerita perjuangn seorang ibu membesarkan anak jenius namun dianggap idiot
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon SOPYAN KAMALGrab, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
dan akhirnya aku pergi
Kamar hotel itu tampak berantakan. Kursi terbalik, gelas pecah, bantal berserakan di lantai. Bayu berdiri dengan napas memburu, matanya merah penuh amarah.
“Mas, kenapa sih marah? Nanti kita kena denda pihak hotel, lo,” ucap perempuan muda yang tadi malam tidur bersamanya. Suaranya gemetar, takut melihat emosi Bayu yang meledak-ledak.
“Sial... sial... SIAL! Kenapa si Santi itu menjelekkan aku di televisi? Dia menghinaku! Apa yang dia katakan semuanya salah! Dan anak setan itu... kenapa sekarang jadi bintang?! Anak pembawa sial, anak Buto Ijo... SIALAN!” Bayu menendang meja hingga terjungkal.
“Iya, iya, tapi gak usah hancurin semua barang juga, Mas. Nanti kita harus ganti rugi,” ucap si perempuan, cemas.
“Biar Laras yang selesaikan tagihannya!” Bayu membentak sambil menarik napas marah.
Perempuan itu terdiam sejenak, lalu berkata pelan, “Gimana sih, Mas? Nanti kalau Bu Laras tahu kita selingkuh, gimana? Bisa-bisa aku dipecat...”
“Bodo amat. Kamu cerewet, Dewi. Pergi kamu dari sini!” hardik Bayu.
Dewi terdiam sejenak, lalu perlahan mundur dan keluar dari kamar hotel dengan wajah cemas dan kecewa.
Bayu berdiri di tengah kekacauan kamar, mencengkram rambutnya sendiri, lalu menghantam dinding dengan kepalan tangan. Dadanya naik turun penuh amarah. Ia tidak terima Santi dan Nabil justru bersinar setelah ia hancurkan dulu.
Saat ia hendak meninggalkan hotel, seorang petugas menghampirinya. “Permisi, Pak. Mohon maaf, Anda harus mengganti kerusakan kamar. Totalnya sepuluh juta rupiah.”
Bayu menatap petugas itu tajam. “Sepuluh juta? GILA! Masa segitu banyaknya?”
“Barang-barang yang rusak cukup banyak, Pak. Kami harus menagih sesuai standar hotel.”
“Aku nggak mau bayar!”
“Kalau begitu, kami akan laporkan ke pihak berwajib,” jawab petugas dengan tenang. Dua orang security hotel sudah berdiri tegak tak jauh di belakangnya.
Bayu mengepalkan tangan, hampir menampar petugas itu, tapi ia mengurungkan niatnya setelah melirik para satpam.
“Sepuluh juta doang, ya udah! Tunggu!” geramnya. Ia merogoh saku dan mengeluarkan ponselnya. Ia menelpon Laras. Satu kali. Dua kali. Sepuluh kali. Hingga tiga puluh kali. Tak diangkat.
“Dasar wanita tua itu... Akan ku siksa dia nanti...” geram Bayu pelan.
“Bagaimana, Pak?” tanya petugas hotel.
“YA, YA! Aku bayar! Ini nomornya mana?!”
Petugas menyerahkan nomor rekening, dan dengan sangat terpaksa, Bayu mentransfer uang sepuluh juta. Setelah itu, ia meninggalkan hotel dengan penuh kemarahan.
“Aku harus cari mereka... Akan ku siksa si Santi dan anak sialannya itu...” ucap Bayu sambil memukul-mukul setir mobil.
Mobilnya melaju kencang menuju apartemen tempat tinggalnya bersama Laras.
Sesampainya di sana, Bayu membuka pintu dengan kasar.
“BRAK!”
Laras tampak duduk di sofa, menonton siaran TV yang masih membahas kisah mengharukan Santi dan Nabil. Wajahnya tenang, tapi tak menunjukkan kegembiraan seperti biasanya.
Bayu menatapnya heran. “LARAS!!!” bentaknya.
Laras hanya menoleh sekilas, lalu kembali menatap layar TV.
“LARAS!!!” Bayu meraih remote dan mematikan TV dengan kasar.
Laras menghela napas panjang. “Kenapa kamu teriak-teriak?”
“Kenapa kamu gak angkat telponku, hah? Aku butuh uang!” bentak Bayu.
Laras berdiri pelan, menatapnya datar. “Aku mau cerai, Bayu.”
Deg.
Jantung Bayu berdetak kencang.
“Apa?!”
“Aku mau cerai,” ulang Laras, tetap tenang.
Bayu menatapnya dengan marah dan bingung.
---
“Kenapa kamu ingin cerai denganku?!”
Suara Bayu membelah keheningan malam. Tubuhnya tegap, tapi matanya bergetar, seolah tak percaya mendengar permintaan Laras.
Laras menatapnya lama. Tatapan yang dulu penuh cinta, kini datar. Dingin. Tapi bukan karena hilangnya kasih—melainkan karena bekunya luka yang terlalu lama dipendam.
“Haruskah aku beberkan alasannya?” suara Laras pelan, tapi mengiris tajam.
“Kamu pasti terpengaruh omongan wanita itu, bukan?” Bayu mendesis, menahan marah.
“Dia tidak mempengaruhiku. Dia wanita hebat, Bayu. Bisa bertahan hidup bersama kamu selama enam tahun... itu sudah luar biasa.”
“Jangan dengarkan dia! Semua yang dia katakan bohong!”
“Aku nggak peduli dia bohong atau tidak. Yang aku pedulikan adalah bukti yang aku saksikan sendiri.”
Bayu menegang. “Apa yang ingin kamu buktikan?”
Laras melangkah pelan, lalu menatap suaminya dalam-dalam. “Kemarin, aku melihat ibumu sedang senam pagi. Padahal kamu bilang ibumu sakit... dan butuh kamu pulang cepat.”
Deg. Jantung Bayu seperti dipukul palu.
“Kamu pasti salah lihat,” ucapnya tergesa.
Laras membuka ponsel. “Aku punya rekamannya.”
Bayu terdiam. Pundaknya mengendur.
“Oke... aku minta maaf. Ibu memang sehat. Tapi aku ada urusan mendadak sama rekan bisnisku...”
“Dewi bukan rekan kerjamu.” Suara Laras kini dingin seperti embun dini hari.
“Bukan sama Dewi... tapi sama Anton. Tanya saja sama Anton kalau kamu nggak percaya!”
Laras menghela napas. “Benar kata kakakku... kamu memang pembohong.”
“Apa maksud kamu?” Bayu menajamkan mata.
“Semalam... aku, kakakku, dan Anton nonton bola di café.”
Bayu terdiam. Lalu akhirnya mengaku, “Ya... ya, semalam aku sama Dewi.”
Senyum tipis terbentuk di bibir Laras. Tapi bukan senyum bahagia. Itu senyum orang yang sudah selesai percaya.
“Dan itu karena kamu!” Bayu membentak. “Kamu yang sudah tua! Aku lelaki normal, Laras! Aku butuh kepuasan!”
Laras menatapnya. Dalam. Tak ada air mata. Hanya hening yang menggantung.
“Oke. Nggak masalah.”
Bayu tersenyum sinis. “Ya syukurlah kamu tahu diri. Kamu itu sudah tua, Laras. Kalau bukan aku, siapa yang mau nikahin kamu? Kamu perawan tua. Jadi kamu harus terima kalau aku... ya... main sama perempuan lain.”
“Ya, terserah kamu,” jawab Laras, suaranya nyaris tak terdengar.
“Bagus. Sekarang buatkan aku makan. Aku lapar.”
Laras menatap ke arah dapur. Lalu menoleh ke arah Bayu. “Terserah kamu mau tidur sama perempuan mana pun. Aku nggak peduli. Karena aku... akan menuntut cerai padamu.”
Plak!
Tamparan keras mendarat di pipinya. Laras limbung. Darah mengalir di sudut bibirnya.
“Hentikan ocehan kamu!” Bayu menggeram.
“Aku mau cerai,” ulang Laras, suaranya tenang, meski tangannya gemetar menyeka darah.
Plak!
Tamparan kedua lebih keras. Laras terjatuh. Tapi matanya tetap menatap Bayu. Tidak lagi takut.
“Aku ingin cerai darimu.”
Bayu mendekat, tangannya mencengkeram leher Laras. Ia mendorong tubuh perempuan itu ke dinding. Nafas Laras tersengal.
“Aku akan mati di tangan kamu. Dan kamu... akan masuk penjara,” ucap Laras, suara seraknya seperti kutukan sunyi.
Bayu melepas cengkeramannya. Ia memukul tembok, keras. Kepalanya ditundukkan, rambutnya diacak-acak.
Laras terduduk di lantai, tak menangis, hanya diam. Air matanya menetes, tak bergetar, tak bersuara. Hatinya patah. Tapi jiwanya tetap berdiri.
Laki-laki yang ia kira akan melindunginya... justru yang menghancurkannya.
“PERGI KAMU, BAYU!” pekik Laras tiba-tiba. Suaranya menggema dalam apartemen itu.
Plak!
Tamparan ketiga.
“KAMU YANG PERGI!” balas Bayu dengan mata melotot.
Laras bangkit. Perlahan. Tubuhnya goyah, tapi langkahnya tegas. Ia masuk kamar, dan keluar beberapa menit kemudian dengan koper kecil.
“PERGI SANA KAMU! AKU YAKIN KAMU AKAN BERSUJUD NANTI, MINTA BALIK SAMA AKU!” Bayu menjerit seperti orang kesurupan.
Laras tak menjawab. Ia membuka pintu apartemen itu. Angin malam menyambutnya.
Tanpa menoleh ke belakang, ia melangkah pergi.
Langkah yang lama tertunda.
Langkah yang berat—tapi pasti.
Langkah seorang perempuan yang akhirnya memilih menyelamatkan dirinya sendiri.
Angin malam membawa luka Laras. Kurang apa pengorbanannya pada Bayu? Tenaga, waktu, cinta, bahkan hartanya—semua dia berikan. Tapi dibalas dengan tamparan dan pengkhianatan.
Ia melangkah tanpa tujuan. Ke rumah ibu, malu. Dulu dia sering membela Bayu dan menyakiti hati ibunya sendiri. Ke rumah kakak? Ragu. Terlalu banyak gengsi.
Koper kecil itu diseret pelan. Tangannya dingin. Tubuhnya gemetar.
Naik kendaraan umum pun tak sanggup.
Kakinya terus melangkah, hingga di depan sebuah ruko bertuliskan: Resto Peluk Kasih Mamah.
Pandangannya kabur. Tubuhnya lelah.
Dan di sana, di bawah papan nama itu, Laras terhuyung... lalu jatuh tak sadarkan diri.
......
mantap sekali bu laras..😘😘😘
yukk lanjut thor