Nabil seorang anak berkepala besar
bayu ayahnya menyebutnya anak buto ijo
Sinta ibu bayu menyebuutnya anak pembawa sial
semua jijik pada nabil
kepala besar
tangan kecil
kaki kecil
jalan bungkuk
belum lagi iler suka mengalir di bibirnya
hanya santi yang menyayanginya
suatu ketika nabil kena DBD
bukannya di obati malah di usir dari rumah oleh bayu
saat itulah santi memutsukan untuk meninggalkan bayu
demi nabil
dia bertekad memebesarkan nabil seorang diri
ikuti cerita perjuangn seorang ibu membesarkan anak jenius namun dianggap idiot
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon SOPYAN KAMALGrab, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
mulai hidup baru
Delapan ratus ribu rupiah. Jumlah yang tak seberapa di kota besar, tapi bagi Nabil dan Santi, angka itu adalah awal dari lembaran baru. Dengan uang itu, mereka menemukan rumah dua lantai tepat di depan gerbang sebuah pabrik tua—tempat lalu-lalang buruh setiap pagi dan sore.
Lantai atas menjadi ruang istirahat mereka. Hanya ada satu kamar kecil dan loteng terbuka yang cukup luas untuk ditata seadanya. Kasur tipis, tikar gulung, dan gantungan baju dari tali rafia. Tapi bagi Santi, itu lebih dari cukup. Yang penting ada atap, ada tempat bernaung.
Awalnya, Santi mencoba peruntungan dengan berjualan gorengan. Di kampung, dagangannya selalu laris manis, tapi di sini, tak semudah itu. Dua bulan berjualan, hasilnya lebih banyak rugi ketimbang untung. Uang tabungan semakin menipis. Ia mulai memikirkan untuk pindah lagi.
Suatu sore, Nabil duduk di lantai bawah sambil mencoret-coret buku kecilnya. "Ada tiga penjual gorengan," katanya pelan. "Pembeli sudah ada, tapi tidak loyal. Mereka acak. Kalau mau laku, harus jual kopi. Ga ada yang jual kopi. Kopi enak sama gorengan. Apalagi kalau ada es."
Santi mendengarkan, setengah paham, setengah bingung.
"Ibu besar itu malas jalan jauh. Kalau ada es di sini, dia pasti datang."
"Jadi kita jual kopi dan es?"
"Gorengan enak sama kopi. Bapak kayak kambing, suka ngajak teman ngopi. Beli gorengan di tempat lain."
"Yakin akan laku?"
"Tidak ada yang pasti. Semua berubah. Tapi harus dicoba. Untuk menemukan probalitas."
Santi mengangguk. "Yaya... Besok ibu jualan es, kopi, sama gorengan."
Ia tahu, jika ia biarkan, Nabil akan lanjut dengan ceramah soal Fibonacci, rasio, dan presentase. Itu bisa bikin kepalanya pusing. Tapi satu hal yang ia percaya: jika Nabil berkata begitu, maka kemungkinan besar, itu benar.
Esoknya, Santi memulai dagangan barunya sesuai saran Nabil: gorengan, kopi panas, dan es teh manis. Ia bangun lebih pagi, menggoreng lebih banyak, dan menyiapkan termos besar berisi kopi hitam kental. Nabil duduk di sudut warung kecil mereka, mengatur posisi meja, memperhatikan aliran manusia yang lewat di depan gerbang pabrik.
Dan benar saja, sejak pagi, pembeli mulai berdatangan. Beberapa buruh yang biasanya hanya lewat kini berhenti. Aroma gorengan hangat berpadu dengan wangi kopi membuat mereka tak tahan untuk mencoba. Seharian penuh, warung kecil mereka tak pernah sepi.
Sore harinya, Santi menghitung hasil dagang. Omzet hari itu mencapai lima ratus ribu rupiah, dengan keuntungan bersih sekitar seratus lima puluh ribu. Santi nyaris menangis lega. Untuk pertama kalinya sejak datang ke kota ini, ia merasa bulan depan mereka tidak perlu pindah lagi.
Seminggu berjalan, bisnis mereka lancar. Santi mulai bisa menyisihkan uang untuk menabung. Ia bahkan membeli baskom baru dan termos tambahan. Tapi memasuki minggu kedua, pembeli mulai berkurang. Warung mereka sepi lagi.
"Ru, apa gorengan Kaka nggak enak, ya?" keluh Santi sambil memandangi loyang yang masih penuh.
"Enak kok, Ka…" jawab seorang anak kecil yang lewat dan biasa dipanggil Ru.
"Kalau enak, kenapa sepi lagi?" gumam Santi lesu.
"Mungkin rezeki kita lagi seret," jawab Ru pelan.
Nabil yang sejak tadi diam, menoleh. "Si ibu tinggi, 175 cm itu, dia nurunin harga. Dia rugi sementara biar banyak yang beli. Dia mau ibu bangkrut." Suaranya tenang, tapi tajam.
"Yah, masa kita harus nurunin harga juga? Makan apa kita nanti?" tanya Santi resah.
"Hal paling buruk dalam persaingan adalah menurunkan harga," ucap Nabil datar.
"Terus gimana supaya laku?" Santi mendesah.
Nabil menatapnya sebentar. "Gorengan harus enak. Harus hangat. Harus ada hadiah. Biar bapak gendut senang. Dia jajan banyak. Dia suka dipuji, apalagi kalau diberi hadiah."
"Maksud kamu gimana?"
"Beli lima, hadiah satu. Jangan lupa senyum yang manis. Ucapkan terima kasih. Mamang Heru, mulutnya jangan kecil. Mulutnya harus lebar. Harus sok dekat. Hitung cepat. Orang senang kalau dihitung cepat."
Santi menatap Nabil dan perlahan tersenyum. Ia tak sepenuhnya paham semua yang dikatakan Nabil—tentang mulut lebar, atau strategi 'hadiah gorengan'—tapi ia percaya, seperti biasanya, ada benarnya. Maka malam itu, ia menyiapkan label kecil: “Beli 5 Bonus 1”.
Malam itu, Heru duduk di depan cermin kecil yang digantung di dapur. Mulutnya dibuka-tutup seperti orang gila, sambil sesekali berucap, "Terima kasih, Mas… terima kasih, Mbak… ayo mampir, beli gorengan hangat…"
Nabil duduk di sampingnya, memelototi setiap gerakan. "Senyumnya jangan kayak orang ngantuk. Bibirnya naik ke atas. Jangan ke bawah. Bukan senyum sedih!"
Heru mencoba lagi. Senyum. Salah. Ulang. Senyum. Salah. Ulang lagi.
"Dagang itu bukan cuma soal gorengan enak!" omel Nabil. "Tapi soal pelayanan! Orang beli karena senang, bukan cuma karena lapar."
Heru mengangguk-angguk sambil mengulang kalimat yang dilatih. Ia belajar bahasa tubuh: menyentuh dada saat berterima kasih, menunduk sedikit, tangan terbuka. Semua diperhatikan.
"Sok akrab dong mang" ucap Nabil
"Iya .iya bawel"
Nabil terus bicara tanpa henti. Ya memang diamnya nabil itu kalau lagi baca buku sama tidur, kalau mau Nabil diam maka beri buku apalagi buku matematika maka dia akan tenggelam dengan dunianya.
"Penjual harus bawel ga boleh diam, harus terlihat sibuk"
"Iya..iya.."
Santi yang melihat mereka berdua hanya tertawa pelan. Tapi diam-diam ia kagum pada usaha Heru dan ketelitian Nabil.
Pagi pun tiba. Heru yang biasanya duduk di dalam warung, sekarang berdiri di depan. Ia membuka pintu, menyapa setiap orang yang lewat dengan senyum riang. Kadang ia membantu karyawati pabrik membawakan barang ke pos satpam.
Tanpa sadar, Heru menjadi sales murah senyum. Santi tetap di bagian produksi gorengan. Nabil, si jenius angka, sibuk di belakang menghitung dan menata toples-toples dengan simetris dan cepat.
Warung mereka pun mulai ramai. Meski harga sedikit lebih mahal dibanding warung sebelah, tak ada yang terlalu mempermasalahkan. Orang-orang datang bukan hanya karena lapar, tapi karena merasa dihargai. Heru berdiri di depan dengan senyum yang kini tak lagi kaku. Sapaannya ringan, kadang sok akrab, tapi justru itu yang membuat pelanggan merasa dekat.
Setiap pagi, Heru membantu membukakan pintu pagar, kadang menawarkan bangku kepada ibu-ibu yang sedang menunggu jemputan, bahkan membawakan barang ke pos satpam. Ia menjadi wajah ramah warung kecil itu.
Sementara di balik meja, Nabil duduk tegak dengan tatapan tajam. Ia cepat, cekatan, dan penuh perhitungan.
"Gorengan sepuluh, kopi dua," ucap salah satu pelanggan.
"15 ribu," jawab Nabil tanpa perlu berpikir lama.
"Pinter banget sih dek, kelas berapa sekolahnya?" tanya si pelanggan dengan senyum kagum.
"Eh… sekolah menganggapku Buto Ijo, Kaka cantik," jawab Nabil polos.
"Ah, sayang sekali sekolah yang menolakmu," ucap pelanggan itu sambil tertawa kecil.
"Ga apa-apa, Kaka cantik," balas Nabil sambil menyodorkan kembalian.
"Terima kasih anak manis," ucapnya, lalu mencubit pipi Nabil dengan gemas.
Sekarang kepala Nabil sudah seimbang dengan badannya, gumam seorang pelanggan lain sambil tertawa kecil melihat Nabil yang makin percaya diri berdiri tegak dan rapi dengan catatan dan kalkulasinya.
Santi memperhatikan dari belakang, matanya berkaca-kaca. Ia tak menyangka warung kecil itu bisa membawa kebahagiaan seperti ini.
Malam harinya, setelah warung ditutup dan toples-toples kosong dibersihkan, mereka duduk di lantai dengan secangkir teh manis.
Mereka menghitung bersama. Hari ini omset mencapai 800.000 rupiah, dan keuntungan bersih sekitar 300.000.
Santi menatap Heru dan Nabil. Hatinya hangat.
“Alhamdulillah,” ucapnya pelan sambil memeluk keduanya. “Aku nggak perlu pindah bulan depan…”
Nabil hanya mengangguk, lalu merapikan kertas-kertas catatan keuangan yang disusunnya dengan teliti. Sementara Heru tertawa kecil dan mengelus kepala Nabil.
"Brukkkk" pintu di gedor
Heru membuka pintu
"Siapa malam-malam begini bertamu" gumam Santi