Ini cerita sederhana seorang pemuda di pedesaan. Tentang masalah pertumbuhan dan ketertarikan terlarang. Punya kakak ipar yang cantik dan seksi, itulah yang di alami Rangga. Cowok berusia 17 tahun itu sedang berada di masa puber dan tak bisa menahan diri untuk tak jatuh cinta pada sang kakak ipar. Terlebih mereka tinggal serumah.
Semuanya kacau saat ibunya Rangga meninggal. Karena semenjak itu, dia semakin sering berduaan di rumah dengan Dita. Tak jarang Rangga menyaksikan Dita berpakaian minim dan membuat jiwa kejantanannya goyah. Rangga berusaha menahan diri, sampai suatu hari Dita menghampirinya.
"Aku tahu kau tertarik padaku, Dek. Aku bisa melihatnya dari tatapanmu?" ucapnya sembari tersenyum manis. Membuat jantung Rangga berdentum keras.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Desau, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 28 - Menahan Gejolak
Hari sudah sepenuhnya malam. Rumah-rumah di desa Sadewa kala itu tidak dihiasi oleh lampu yang menyala. Termasuk rumahnya Rangga sendiri. Lelaki itu masih berada di dapur. Dia membantu Dita membereskan piring kotor.
"Biar aku saja, Dek. Kau duduk saja," ujar Dita.
"Nggak apa-apa, Kak. Biar aku bantu," tanggap Rangga. Dia membawa piring kotor ke wastafel.
"Letakkan saja, Dek. Biar besok dicuci. Soalnya gelap banget," saran Dita.
"Iya." Rangga menyahut dan beranjak masuk ke kamarnya.
Dita tampak menatap Rangga. Ia menggigit bibir bawahnya. Berulang kali Dita mengusap tengkuknya sendiri. Jujur saja, Dita sebenarnya takut dengan kegelapan. Ia jadi tambah takut saat sendirian. Alhasil perempuan itu beranjak ke kamar Rangga sambil membawa lampu semprong.
Kebetulan pintu kamar Rangga tak ditutup, jadi Dita hanya perlu menyingkap gorden. Ia melihat Rangga telentang di ranjang. Lelaki itu langsung bangkit saat melihat kedatangan Dita.
"Kenapa, Kak?" tanya Rangga.
"Kakak takut sendirian, Dek. Aku boleh tidur bareng kamu nggak?" ujar Dita.
"A-apa? Tidur bareng aku?" Rangga sontak kaget.
"Hanya tidur, Ga. Hanya tidur! Harusnya tidak masalah bukan?" tanggap Dita.
Dita melangkah masuk dan meletakkan lampu semprong ke meja. Lalu telentang ke ranjang Rangga. Tepat di samping cowok itu.
"Bisa-bisanya Kak Dita lebih takut dibandingkan aku," celetuk Rangga sambil kembali telentang.
"Bisa dibilang aku punya trauma sama kegelapan. Semuanya tambah menakutkan kalah nggak hujan. Coba dengar, sepi banget kan? Suara jangkrik aja nggak ada," kata Dita.
"Apa Kak Dita takut sama hantu?" tebak Rangga.
"Mungkin... Tapi kalau nggak sendirian, ketakutanku jadi berkurang."
Hening menyelimuti suasana dalam beberapa saat. Rangga jadi terpikirkan kakaknya yang diketahuinya sudah berbohong. Kenapa Firza berbohong? Sang kakak tidak melakukan hal buruk di luar sana bukan?
"Ga, mengenai ember jatuh tadi siang... Itu kau bukan?" imbuh Dita.
Deg!
Jantung Rangga berdentum keras. Ia perlahan melirik Dita yang sedang menatap tajam ke arahnya.
"A-aku... Nggak--"
"Jujur saja, Dek! Aku nggak akan marah!" potong Dita. Mendesak Rangga menjawab.
"I-iya, Kak. Itu aku. Maaf... Soalnya Kak Dita anu..."
"Mendesah? Kedengaran banget ya sampai luar?" tanya Dita.
"Iya, desahannya beda dari pada saat Kak Dita main sama Bang Firza," ungkap Rangga. "Eh, maaf, Kak! Aku nggak bermaksud ngomong begitu!" Rangga menepuk mulutnya berkali-kali.
Dita memegang lengan Rangga. Menatapnya dengan lekat. "Kau tidak usah merasa bersalah. Aku melakukan semua itu karenamu," ucapnya.
"Ka-karena aku?" gagap Rangga yang seketika diserang rasa gugup. Apalagi saat Dita duduk ke atas perutnya. Tanpa diduga kakak iparnya itu melepas daster dan branya sekaligus. Sehingga gunung kembar yang besar itu terpampang nyata.
"Kak Dita... Apa yang kau..." Rangga berhenti berucap saat Dita mengarahkan kedua tangannya ke buah dadanya.
Glek!
Rangga menenggak ludahnya sambil membulatkan mata.
"Remas saja, Dek!" pinta Dita.
Tanpa bertanya, Rangga melakukan apa yang disuruh Dita. Ia sepenuhnya sudah terbuai dengan godaan kakak iparnya itu.
"Yang kuat, Dek. Kalau bisa di emut juga nggak apa-apa..." ujar Dita sembari menatap dengan mata sayu. Ia juga menggesekkan selangkangannya ke bagian bawah perut Rangga.
"I-ini salah, Kak. Kita nggak boleh begini," kata Rangga. Ia sempat berusaha menahan gejolak nafsunya.
"Aku tahu, Dek. Aku janji kita nggak akan melakukannya. Pokoknya ikuti saja arahanku, ya..." pinta Dita.
Rangga tercengang. Namun dia sigap mengangguk. Rangga akhirnya ikut bermain. Ia mainkan benda kenyal milik Dita yang menggantung kencang itu.
Rangga lebih mengerti dita sebaliknya juga begitu rasanya mereka cocok
mangats thor sllu ditunggu up nya setiap hari