NovelToon NovelToon
ANAK RAHASIA

ANAK RAHASIA

Status: sedang berlangsung
Genre:Balas Dendam / Lari Saat Hamil / One Night Stand / Single Mom / Hamil di luar nikah
Popularitas:2k
Nilai: 5
Nama Author: WikiPix

Rahasia kelam membayangi hidup Kamala dan Reyna. Tanpa mereka sadari, masa lalu yang penuh konspirasi telah menuntun mereka pada kehidupan yang tak seharusnya mereka jalanin.

Saat kepingan kebenaran mulai terungkap, Kamala dan Reyna harus menghadapi kenyataan pahit yang melibatkan keluarga, kebencian, dan dendam masa lalu. Akankah mereka menemukan kembali tempat yang seharusnya? Atau justru terseret lebih dalam dalam pusaran takdir yang mengikat mereka?

Sebuah kisah tentang pengkhianatan, dendam, dan pencarian jati diri yang akan mengubah segalanya.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon WikiPix, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

NARASI Episode 15

Di tempat lain, Kamala duduk di samping ranjang Reyna yang masih terbaring lemah. Jemarinya menggenggam tangan kecil anak itu, seolah takut kehilangan kehangatan yang masih tersisa.

Tatapan matanya penuh kegelisahan, pikirannya berkecamuk.

Sejak pertemuan dengan Indira, hatinya tidak tenang. Dirinya tidak tahu apa yang sedang ia cari pada dirinya, dan Reyna.

Tapi yang jelas saat ini, Reyna. Kesembuhan Reyna, tidak ada yang lain selain gadis kecil di hadapannya.

"Semoga kau cepat sembuh sayang," bisik Kamala sambil mengusap lembut kening Reyna. Ia menunduk, mencium tangan kecil anak itu dengan penuh kasih sayang.

Reyna masih terbaring dengan napas teratur, meski wajahnya masih terlihat pucat. Kamala menghela napas panjang, mencoba menenangkan hatinya.

Tiba-tiba, pintu kamar rumah sakit terbuka. Affan masuk dengan langkah pelan, membawa satu kantong berisi bubur hangat dan air mineral.

"Kau belum makan, kan?" tanyanya lembut.

Kamala hanya menggeleng pelan. "Aku tidak lapar," jawabnya singkat.

Affan meletakkan kantong makanan di meja kecil di samping ranjang, lalu duduk di kursi di sebelah Kamala. "Kau harus makan, Kamala. Kau tidak bisa menjaga Reyna kalau kau sendiri jatuh sakit."

Kamala terdiam. Ia tahu Affan benar, tapi hatinya masih terlalu cemas untuk memikirkan dirinya sendiri.

Affan menghela napas, lalu menatap Reyna yang masih tertidur. "Dokter bilang dia sudah melewati fase kritis. Kau tidak perlu terlalu khawatir."

Kamala mengangguk, meski kegelisahan masih menghantuinya. "Aku hanya ingin dia segera bangun, Affan…" suaranya nyaris bergetar.

Affan tersenyum tipis, mencoba menenangkan. "Dan dia akan bangun. Dia anak yang kuat, sama seperti ibunya."

Kamala menoleh, menatap Affan dengan mata yang sedikit berkaca-kaca. Kata-katanya seolah memberikan kehangatan yang sedikit meredakan ketakutannya.

Malam ini, mereka berdua tetap di samping Reyna, menunggu saat gadis kecil itu akan membuka matanya.

Beberapa jam berlalu, dan suasana di kamar rumah sakit mulai lebih tenang. Reyna masih tertidur, namun wajahnya sudah tidak sepucat tadi. Kamala terus menggenggam tangan anak itu, seolah takut kehilangan dirinya lagi.

Affan yang duduk di sampingnya melirik Kamala dengan perhatian. "Kau harus tidur sebentar," katanya lembut.

Kamala menggeleng. "Aku tidak bisa, Affan. Bagaimana kalau dia bangun dan aku tidak ada di sisinya?"

Affan menghela napas, lalu berdiri. "Baiklah. Kalau begitu, aku yang akan pergi sebentar untuk membeli kopi. Aku juga akan menanyakan perkembangan Reyna ke dokter."

Kamala hanya mengangguk tanpa banyak bicara. Pandangannya tetap tertuju pada Reyna.

Affan keluar dari kamar, meninggalkan Kamala berdua dengan anaknya.

Ia yang baru saja melangkah keluar dari rumah sakit tiba-tiba menghentikan langkahnya. Dari kejauhan, ia melihat seseorang yang tidak asing baginya.

Jack

Dahi Affan berkerut. Jack berjalan cepat dengan ekspresi serius, mengarah langsung ke kamar Reyna.

Tanpa berpikir panjang, Affan membalikkan badan dan mengikuti pria itu dengan langkah cepat.

"Jack!" panggilnya.

Jack tidak menghentikan langkahnya, seolah tidak mendengar.

Affan mempercepat langkah, hingga akhirnya berhasil meraih bahu Jack tepat sebelum pria itu sampai di depan pintu kamar Reyna.

"Apa yang kau lakukan di sini?" suara Affan penuh kewaspadaan.

Jack menoleh, menatap Affan dengan tajam. "Aku ingin bertemu Kamala."

Affan mempersempit matanya, tidak langsung mempercayai niat Jack. "Untuk apa?"

Jack terdiam sejenak, lalu berkata dengan suara rendah, "Karena aku ingin bertemu dengannya."

Affan menatap Jack dengan penuh kewaspadaan. Pria di hadapannya ini bukan sembarang orang, Jack adalah bagian dari masa lalu Kamala yang seharusnya sudah ia tinggalkan.

"Kau ingin bertemu Kamala?" ulang Affan dengan nada tajam. "Setelah sekian lama menghilang, kau pikir dia masih ingin melihatmu?"

Jack menyilangkan tangan di dadanya, ekspresinya dingin. "Aku tidak peduli apakah dia ingin atau tidak. Aku punya hak untuk bertemu dengannya. Dia pacarku."

Affan mendengus sinis. "Pacar?"

Jack mengangkat dagunya sedikit. "Ya. Aku dan Kamala punya hubungan sebelum semua kekacauan ini terjadi. Aku tidak akan membiarkanmu atau siapa pun menghalangi aku untuk menemuinya."

Affan mengepalkan tangannya. Ia tahu Jack bukan orang yang bisa dipercaya. "Kau sudah kehilangan hak itu sejak lama, Jack. Kamala bukan milikmu, dan kau tidak berhak datang begitu saja ke sini setelah meninggalkannya dulu."

Jack tersenyum miring. "Aku tidak pernah benar-benar meninggalkan Kamala."

Affan menatapnya tajam. "Kau pikir dia masih peduli padamu? Jangan bodoh, Jack. Dia sudah cukup menderita tanpamu. Dan sekarang, dia hanya peduli pada Reyna."

Jack terdiam, matanya sedikit bergetar mendengar nama Reyna disebut.

Affan tidak mau membuang lebih banyak waktu. Ia melangkah maju, berdiri lebih dekat dengan Jack. "Dengar baik-baik, Jack. Jika kau benar-benar peduli pada Kamala, maka tinggalkan dia sendiri. Jangan muncul di hadapannya lagi, apalagi dalam keadaan seperti ini."

Jack terdiam beberapa saat, tapi kemudian ia menghela napas dan melangkah mundur.

"Kita lihat saja nanti, Affan," katanya sebelum akhirnya berbalik pergi.

Affan memperhatikan kepergian Jack dengan sorot mata tajam. Ia tahu Jack tidak akan menyerah begitu saja, dan ia tidak bisa membiarkan pria itu mendekati Kamala, apalagi dalam keadaan seperti ini.

Tanpa berpikir panjang, ia berbalik dan berjalan cepat menuju kamar Reyna. Keinginannya untuk pergi ke warung kopi hilang begitu saja. Sekarang, yang lebih penting adalah memastikan Kamala baik-baik saja.

Begitu ia membuka pintu, ia melihat Kamala masih duduk di samping ranjang Reyna, menggenggam tangan kecil gadis itu. Pandangannya tidak lepas dari wajah anaknya yang masih tertidur lemah.

Kamala menoleh saat mendengar suara pintu terbuka. "Kau cepat sekali kembali," katanya pelan. "Kau tidak jadi pergi?"

Affan menutup pintu di belakangnya dan berjalan mendekat. Ia ragu sejenak, sebelum akhirnya duduk di kursi di sebelah Kamala. "Aku berubah pikiran."

Kamala menatapnya dengan heran. "Kenapa?"

Affan menghela napas, menatapnya dalam-dalam. Ia tidak ingin membuat Kamala semakin cemas, tapi ia juga tidak bisa menyembunyikan ini darinya.

"Ada seseorang yang mencoba datang ke sini," kata Affan akhirnya.

Kamala mengerutkan kening. "Siapa?"

Affan ragu sejenak, lalu berkata, "Jack."

Sejenak, wajah Kamala langsung berubah. Matanya membesar, tubuhnya menegang. Ia menatap Affan dengan tatapan tak percaya. "Jack?"

Affan mengangguk pelan. "Aku melihatnya di lorong. Dia ingin bertemu denganmu."

Kamala menghela napas panjang, menundukkan kepalanya. Ada rasa lelah yang semakin menumpuk dalam dirinya.

"Aku tahu dia akan datang lagi," gumamnya lirih.

Affan menatapnya dengan penuh perhatian, menunggu kelanjutan kata-kata Kamala.

"Jack… dia sudah beberapa kali menemuiku. Dan kau tahu sendiri, kemarin saat hujan deras itu, dia datang bersamaan denganmu."

Affan mengangguk pelan. "Ya, aku masih ingat itu."

Kamala tersenyum tipis, tapi senyum itu tidak mengandung kebahagiaan. Justru ada kepedihan yang tersembunyi di sana.

"Dia orang yang keras kepala, Affan. Dia tidak akan membiarkan apa pun yang sudah ia anggap miliknya pergi begitu saja. Dulu aku bodoh, mempercayainya dan menyerahkan hatiku padanya, berpikir bahwa dia bisa menjadi seseorang yang akan menjagaku. Tapi ternyata, aku salah."

Affan mengepalkan tangannya, menahan emosinya sendiri. "Aku sudah mengenalnya cukup lama, sejak kecil. Dulu, dia memang anak yang baik. Tapi seiring waktu, dia berubah. Dia menjadi seseorang yang keras kepala, selalu ingin menang sendiri, dan melakukan segala hal seenaknya, tanpa peduli pada perasaan orang lain."

Kamala menatap Affan dengan mata yang mulai berkaca-kaca. "Aku ingin dia berhenti, Affan. Aku ingin hidup tenang bersama Reyna. Aku tidak mau lagi ada bayangan masa lalu yang terus menghantuiku."

Affan menghela napas panjang, lalu menatap Kamala dengan penuh ketegasan. "Kau tidak sendiri, Kamala. Aku di sini. Dan aku tidak akan membiarkan Jack mengganggumu lagi."

Kamala menggenggam jemarinya erat, berusaha menenangkan dirinya sendiri sebelum akhirnya mengangkat wajah dan menatap Affan dengan serius.

"Dan aku ingin berkata jujur padamu sebelum semuanya terlambat…" suaranya terdengar pelan namun penuh keteguhan. "Reyna… dia bukanlah anak kandungku."

Affan terdiam, menatap Kamala dengan sorot mata terkejut.

"Aku tidak ingin kebenaran ini membuatmu salah paham tentang aku dan Reyna. Aku tahu selama ini kau mengira aku adalah ibu kandungnya, tapi kenyataannya tidak seperti itu," lanjut Kamala dengan suara yang sedikit bergetar.

Affan menarik napas dalam, mencoba mencerna kata-kata Kamala. Ada begitu banyak pertanyaan yang ingin ia lontarkan, namun ia memilih untuk tetap diam, memberi Kamala ruang untuk menjelaskan.

"Aku menemukan Reyna… atau lebih tepatnya, ibuku yang menemukannya. Saat itu, dia masih bayi… ditinggalkan di tempat yang tidak seharusnya. Aku tidak tahu siapa orang tuanya, aku tidak tahu mengapa dia ditinggalkan, yang aku tahu hanyalah… aku tidak bisa membiarkan dia sendirian. Setelah diriku tidak memiliki siapapun."

Mata Kamala mulai berkaca-kaca, kenangan masa lalu kembali menghantamnya.

"Sejak saat itu, aku merawatnya seperti anakku sendiri. Memberinya kasih sayang… dan berjanji pada diriku sendiri, bahwa aku tidak akan membiarkan siapa pun menyakitinya."

Affan menatap Kamala dalam diam, hatinya terasa berat mendengar kenyataan ini. Namun, yang lebih membuatnya tersentuh adalah ketulusan yang terpancar dari setiap kata yang diucapkan Kamala.

Setelah beberapa saat, Affan menghela napas panjang dan berkata dengan suara tenang, "Kau tidak perlu menjelaskan semua ini padaku, Kamala. Aku tidak peduli apakah Reyna anak kandungmu atau bukan. Yang aku lihat… kau adalah ibunya. Kau yang merawatnya, mencintainya, dan melindunginya. Itu jauh lebih berarti daripada sekadar hubungan darah."

Air mata akhirnya jatuh dari pelupuk mata Kamala. Ia tidak menyangka Affan akan mengatakan hal seperti itu.

"Terima kasih, Affan…" bisiknya, penuh rasa syukur.

"Aku benar-benar tidak tahu bagaimana cara membalas semua kebaikanmu. Kau telah banyak membantu aku dan Reyna selama ini. Jika bukan karena dirimu, aku tidak bisa membayangkan apa yang mungkin terjadi pada Reyna sekarang."

Affan menatap Kamala dengan lembut, lalu menggeleng pelan. "Kau tidak perlu berpikir tentang membalas kebaikanku, Kamala. Aku melakukan semua ini bukan karena mengharapkan balasan, tapi karena aku peduli padamu dan Reyna."

Kamala menundukkan kepala, menggenggam jemari kecil Reyna yang masih terbaring lemah. Matanya berkaca-kaca. "Aku hanya... merasa berhutang banyak padamu. Kau selalu ada setiap kali aku membutuhkan seseorang, kau membantu Reyna saat aku tidak tahu harus berbuat apa. Kalau tidak ada kau... mungkin aku sudah kehilangan dia."

Affan menghela napas, lalu tanpa ragu, ia mengulurkan tangan dan menyentuh pundak Kamala dengan lembut. "Kau tidak sendiri, Kamala. Aku di sini, dan aku akan selalu ada untuk kalian."

Kamala tersenyum tipis, meski kelelahan masih terpancar di wajahnya. "Aku beruntung bisa mengenalmu, Affan."

Affan hanya tersenyum, menyembunyikan perasaan yang ingin ia ungkapkan. 'Aku lebih beruntung bisa mengenalmu, Kamala,' batinnya.

Tapi sekarang bukan waktunya. Ia tahu Kamala masih memiliki banyak hal yang harus ia selesaikan, banyak luka yang belum sepenuhnya sembuh. Maka, ia akan menunggu. Menunggu saat yang tepat untuk mengungkapkan isi hatinya.

Untuk saat ini, yang terpenting adalah memastikan Kamala dan Reyna baik-baik saja.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!