Marsha Calloway terjebak dalam pernikahan yang seharusnya bukan miliknya—menggantikan kakaknya yang kabur demi menyelamatkan keluarga. Sean Harris, suaminya, pria kaya penuh misteri, memilihnya tanpa alasan yang jelas.
Namun, saat benih cinta mulai tumbuh, rahasia kelam terungkap. Dendam masa lalu, persaingan bisnis yang brutal, dan ancaman yang mengintai di setiap sudut menjadikan pernikahan mereka lebih berbahaya dari dugaan.
Siapa sebenarnya Sean? Dan apakah cinta cukup untuk bertahan ketika nyawa menjadi taruhan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ayyun, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kebebasan yang Semu
Hari libur selalu menjadi waktu yang paling membuat Marsha frustrasi. Bukannya bisa bersantai dan menikmati waktu luang, ia justru merasa seperti burung dalam sangkar. Ingin keluar rumah, tetapi malas berurusan dengan aturan ketat yang mengikatnya. Ingin menghabiskan hari dengan tidur, tetapi matanya tidak mengantuk.
Akhirnya, dengan langkah malas, ia memutuskan untuk berjalan-jalan di taman belakang. Taman itu sangat luas, bahkan lebih luas daripada yang pernah ia bayangkan ketika pertama kali pindah ke rumah ini. Ada berbagai macam bunga tertata rapi, pohon-pohon yang rindang, dan sebuah gazebo di tengahnya.
Marsha menghela napas pelan. Ia ragu apakah bisa menikmati tempat ini, mengingat dirinya masih merasa asing—baik di rumah ini maupun dalam kehidupannya sendiri.
Ia berjalan tanpa tujuan, membiarkan kakinya membawa ke mana saja. Saat melewati kolam kecil dengan air mancur yang gemericik lembut, pikirannya melayang pada sosok yang selama ini membuatnya semakin sulit bernapas—Sean.
Pria itu, bahkan di hari libur, tetap saja lebih banyak menghabiskan waktu di ruang kerjanya. Sejak pernikahan mereka, Marsha jarang sekali melihatnya bersantai. Seakan hidupnya hanya tentang pekerjaan, tanpa ada celah untuk menikmati waktu dengan lebih ringan.
Marsha menggeleng kecil. "Benar-benar aneh," gumamnya pelan.
Apa Sean tidak pernah ingin bersantai sejenak? Tidak pernahkah ia merasa lelah dengan semua yang ia jalani? Saat kembali mendekati rumah, Marsha melihat seorang pelayan berjalan tergesa-gesa, wajahnya tampak tegang.
"Kenapa?" tanyanya penasaran.
Pelayan itu sedikit terkejut melihatnya. "Maaf, Bu. Ada masalah di ruang kerja Pak Sean."
Marsha mengernyit. "Masalah?"
Tanpa berpikir panjang, ia mempercepat langkahnya menuju ruang kerja Sean. Begitu tiba di depan pintu, ia bisa mendengar suara Sean berbicara dengan nada rendah tetapi tajam.
"Aku tidak peduli alasan kalian. Aku mau semua laporan selesai hari ini."
Marsha menelan ludah. Ia mengenal nada itu—dingin, berwibawa, tetapi juga mengandung ancaman tersirat. Dengan sedikit ragu, ia mengetuk pintu.
Tidak lama kemudian, terdengar suara dari dalam. "Masuk."
Marsha membuka pintu perlahan dan melangkah masuk. Sean duduk di balik mejanya, tatapannya tajam menelusuri layar laptop di depannya. Seorang pria berpakaian formal berdiri di hadapannya, tampak tegang seperti baru saja mendapat teguran keras.
Begitu melihat Marsha, pria itu langsung menunduk sopan dan buru-buru keluar setelah mendapat isyarat dari Sean.
Marsha menutup pintu di belakangnya. "Ada apa?" tanyanya hati-hati.
Sean menghela napas dan menyandarkan punggungnya ke kursi. "Nggak ada yang perlu kamu khawatirkan."
"Itu nggak terdengar seolah 'tidak ada apa-apa'," balas Marsha sambil menyilangkan tangan di dada.
Sean menatapnya sejenak sebelum mengalihkan pandangannya. "Bisnis, Marsha. Selalu ada masalah yang harus diselesaikan."
Marsha berjalan mendekat dan duduk di sofa di depan meja kerja Sean. Ia memperhatikan pria itu yang tampak lelah, meskipun ia berusaha menyembunyikannya.
"Kamu benar-benar nggak bisa santai, ya?" Marsha berkata dengan nada lebih ringan, meskipun ada kelelahan dalam suaranya. "Setidaknya di hari libur, Sean. Hidup ini bukan hanya tentang pekerjaan."
Sean mengangkat kepalanya perlahan, tatapannya tajam tetapi samar-samar menunjukkan sesuatu—kelelahan yang selama ini berusaha ia tutupi. "Dan apa yang seharusnya aku lakukan di hari libur?"
Marsha mengangkat bahu. "Keluar, jalan-jalan, mungkin? Atau nggak, melakukan sesuatu yang tidak berhubungan dengan bisnis."
Sean menatapnya sejenak sebelum tersenyum tipis, tetapi senyum itu tidak sepenuhnya mengandung ejekan seperti sebelumnya—seolah ia mempertimbangkan sesuatu. "Kamu mau aku bersantai?"
"Emang itu terdengar seperti sesuatu yang aneh?"
Sean menghela napas pelan, jemarinya mengetuk meja kayu di depannya sebelum akhirnya berkata, "Ya."
Marsha mendesah, menyadari betapa keras kepalanya pria ini. "Aku nggak ngerti gimana kamu bisa hidup seperti ini."
Sean tidak menjawab. Ia hanya menatapnya dengan mata gelap yang selalu sulit diterjemahkan.
Setelah beberapa saat hening, Marsha akhirnya berdiri. "Kalau kamu nggak mau santai, aku akan pergi ke luar rumah sebentar."
Tatapan Sean langsung berubah tajam. "Ke mana?"
"Keluar," jawab Marsha ringan. "Mungkin ke kafe atau tempat lain. Aku butuh udara segar."
Sean mengetuk jarinya di meja, ekspresinya tidak menunjukkan setuju atau menolak.
"Sendiri?" tanyanya.
Marsha mengangguk. "Ya."
Sean menghela napas panjang sebelum akhirnya berkata, "Oke. Tapi bawa pengawal."
Marsha ingin membantah, tetapi ia tahu percuma. Setidaknya, Sean tidak melarangnya keluar. Itu sudah cukup baginya untuk saat ini.
Satu jam kemudian, Marsha duduk di sebuah kafe kecil di pusat kota, menikmati secangkir cokelat panas sambil melihat keluar jendela.
Meski tahu ada dua orang pengawal yang duduk tidak jauh darinya, ia mencoba mengabaikan mereka. Ia ingin menikmati momen ini, walaupun hanya sebentar.
Namun, kebebasannya yang singkat terganggu ketika seseorang berdiri di hadapannya.
"Marsha?"
Ia mendongak dan terkejut melihat Vano berdiri di sana. "Vano?"
Pria itu tersenyum. "Boleh aku duduk?"
Marsha ragu sejenak sebelum akhirnya mengangguk. "Silahkan."
Vano menarik kursi dan duduk di depannya. "Aku nggak nyangka bakal ketemu kamu di sini."
"Aku juga nggak nyangka kamu ada di sini," balas Marsha jujur.
Vano menatapnya, lalu tersenyum kecil. "Jujur aja, aku agak kaget lihat kamu waktu di kampus sama... suami kamu."
Marsha mengalihkan pandangannya, memainkan cangkir di tangannya. "Aku tahu."
"Aku nggak bakal tanya banyak," ujar Vano dengan suara lembut. "Tapi… kamu baik-baik saja?"
Pertanyaan sederhana itu membuat Marsha terdiam. Ia ingin mengatakan bahwa ia baik-baik saja, bahwa kehidupannya berjalan seperti seharusnya. Tapi apakah itu benar?
Setelah beberapa detik hening, Marsha akhirnya berkata, "Aku... masih menyesuaikan diri."
Vano tidak menekan lebih jauh. Ia hanya mengangguk pelan, seolah memahami bahwa Marsha tidak ingin membahasnya lebih lanjut.
"Kamu masih suka melukis?" tanya Vano, mencoba mengubah suasana.
Marsha tertegun. Ia bahkan sudah lama tidak memikirkan hobinya itu sejak menikah.
"Aku... nggak punya banyak waktu," akunya, suaranya terdengar lebih pelan dari yang ia harapkan.
Vano tersenyum tipis, tetapi ada sedikit rasa iba dalam sorot matanya. "Sayang sekali. Aku ingat gimana semangatnya kamu saat melukis dulu. Kamu selalu bilang kalau kanvas adalah tempat kamu merasa benar-benar bebas."
Marsha tertegun sejenak. Kata-kata itu menusuknya lebih dalam dari yang seharusnya. Sudah berapa lama sejak terakhir kali ia merasa benar-benar bebas?
Ia menghela napas, menatap jendela kafe dengan tatapan kosong. Ada bagian dari dirinya yang masih seperti dulu—Marsha yang penuh impian. Tapi ia tidak yakin apakah masih bisa menemukannya lagi.
Tapi apakah ia masih bisa menemukan dirinya yang dulu? Pertanyaan itu terus menghantui pikirannya, bahkan setelah ia kembali ke rumah dan berhadapan dengan sosok yang kini menjadi suaminya—Sean.
...***...