"Gue tahu gue salah," lanjut Ares, suaranya dipenuhi penyesalan. "Gue nggak seharusnya mengkhianati Zahra... Tapi, Han, gue juga nggak bisa bohong."
Hana menggigit bibirnya, enggan menatap Ares. "Lo sadar ini salah, kan? Kita nggak bisa kayak gini."
Ares menghela napas panjang, keningnya bertumpu di bahu Hana. "Gue tahu. Tapi jujur, gue nggak bisa... Gue nggak bisa sedetik pun nggak khawatir sama lo."
****
Hana Priscilia yang mendedikasikan hidupnya untuk mencari pembunuh kekasihnya, malah terjebak oleh pesona dari polisi tampan—Ares yang kebetulan adalah tunangan sahabatnya sendiri.
Apakah Hana akan melanjutkan balas dendamnya, atau malah menjadi perusak hubungan pertunangan Zahra dan Ares?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nunna Zhy, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 10
Hana melangkah masuk ke rumah Zahra, matanya langsung tertuju pada interior mewah yang membuatnya terkagum. Ruang tamu yang luas dengan lantai marmer mengkilap, lampu gantung kristal yang bersinar lembut, dan sofa besar berwarna krem yang tampak nyaman. Di salah satu dinding, sebuah pajangan besar mencuri perhatiannya—foto keluarga Zahra.
Di foto itu, Zahra terlihat tersenyum cerah, berdiri di tengah kedua orang tuanya. Sang ayah mengenakan seragam kepolisian dengan pangkat tinggi berwajah tegas namun ramah memegang pundak Zahra, sementara ibunya yang anggun melingkarkan tangan di pinggang anak semata wayangnya. Mereka terlihat seperti potret keluarga bahagia yang sempurna.
Hana terdiam sejenak, menatap foto itu.
"Han, ayo duduk sini." Suara Zahra memecah lamunannya.
"Oh, iya," Hana tersenyum tipis, mengangguk lalu berjalan menuju sofa tempat Zahra sudah menyiapkan minuman dan camilan.
"Lo lihat apa tadi?" Zahra bertanya sambil menuangkan teh ke cangkir Hana.
"Foto keluarga lo. Lo beruntung banget, Ra. Lo punya keluarga yang lengkap dan bahagia."
"Setiap keluarga punya ceritanya sendiri, Han. Kadang yang kelihatan sempurna dari luar, nggak selalu begitu di dalam. Tapi gue bersyukur sih, punya mereka."
Hana mengangguk kecil, mencoba menyembunyikan perasaan yang tiba-tiba muncul di hatinya.
Sementara itu, Ares yang sejak tadi mengamati mereka dari pintu masuk tersenyum tipis. Lalu meletakkan tas tunangannya. "Yang, aku balik dulu ya. Papa nyariin."
"Iya Mas, hati-hati."
Sebelum pergi, Ares menoel hidung tunangannya dengan jahil. "Love you."
"Love you to, Mas."
Setelah Ares keluar dari rumah, Dafa mesam mesem sendiri, "iyuh, co cwit banget sih kalian berdua. Mau deh punya cowok romantis gitu."
Pipi Zahra langsung memerah, "udah deh Fa, nggak usah ngeledek."
Tuing!
Hana menoyor kepala Dafa, "lo suka terong-terongan emang?"
"Ah, iya ya, gue kan cowok." Dafa terkekeh sambil mengusap tengkuknya.
"Dasar, labil!" Cibir Yuna.
"Tapi menggoda sekali tahu, Ra, Mas Ares bisa berotot gitu sih? Gemes deh gue pengen ngeduselin kepala gue di dadanya yang kekar itu."
Yuna mencolek dada Dafa, "sembarangan, jangan nodai punya Rara, euy."
"Ih Yu, lo berani banget pegang-pegang Rachel sama Samantha gue, sini bales!"
"Berani lo?" Tinju Yuna sudah terkepal kuat di udara.
Dafa langsung kicep seperti ayam sayur. "Enggak, Yu..." Cicitnya.
"Udah-udah, ayok buruan kita kelarin tugasnya. Keburu malam nih ngoceh mulu." Zahra menengahi.
***
Hana turun dari taksi online di depan rumahnya. Udara malam terasa sejuk, namun kelelahan sepanjang hari membuatnya hanya ingin cepat-cepat masuk ke dalam rumah.
Setelah melepas sepatunya, dan mengganti dengan sandal rumah, Hana berjalan menuju kamarnya di lantai atas. Ia mengambil handuk dari lemari, menuju kamar mandi yang terletak di sebelah kamarnya. Setelah memutar keran, air dingin menyentuh kulitnya, membawa sensasi menyegarkan yang langsung membuat rasa lelahnya berkurang.
Suara gemericik air mengisi kamar mandi, sementara Hana membiarkan pikirannya melayang. Pikirannya kembali pada Rico—senyumnya, tawanya, dan kenangan-kenangan yang mereka ukir bersama.
Air mata Hana bercampur dengan aliran air yang mengalir di wajahnya. Ia mencoba menghapus kenangan itu, tapi semakin ia berusaha melupakan, semakin jelas bayangan Rico di benaknya.
"Rico..." ucapnya, suaranya pecah karena tangis.
Tangan Hana bertumpu pada dinding kamar mandi, tubuhnya sedikit bergetar oleh isak tangisnya. Rasa kehilangan itu masih terasa begitu nyata, seperti luka yang belum sepenuhnya sembuh. Namun, di tengah tangisannya, Hana mengingat sesuatu. Sebuah janji yang ia buat pada dirinya sendiri setelah kehilangan Rico. Janji untuk mencari keadilan, bagaimanapun caranya.
Dengan gemetar, Hana mematikan keran air dan meraih handuk. Ia menatap bayangan dirinya di cermin kamar mandi. Wajahnya basah dan matanya memerah, tapi ada sesuatu yang mulai muncul di sana—sebuah tekad yang membara.
"Gue nggak akan lemah lagi," gumamnya. "Gue akan bikin mereka yang ngerusak hidup gue bayar semuanya."
***
Hana menarik napas panjang di depan pintu club. Jaket kulit hitamnya terasa berat di pundak, meskipun mungkin itu lebih karena beban mental daripada bahan pakaian itu sendiri. Topi yang menutupi sebagian besar wajahnya cukup untuk membuatnya tak dikenali, tapi tidak cukup untuk menghilangkan kegugupannya.
Lampu neon berwarna merah dan ungu menyala-nyala di atas pintu masuk, membentuk kata *"Inferno"*. Tempat ini bukan sekadar club biasa; ini adalah markas tidak resmi bagi anak-anak *Red Dragon*, geng motor yang terkenal dengan reputasi kelam di kota.
“Gue bisa,” gumam Hana pelan, mencoba meyakinkan dirinya sendiri.
Di dalam club, suasana langsung menghantamnya seperti gelombang besar. Musik EDM berdentum keras, membuat dada Hana bergetar. Cahaya strobo menari-nari, menciptakan bayangan aneh di dinding dan wajah para pengunjung. Asap tipis dari rokok elektrik melayang di udara, bercampur dengan aroma minuman mahal dan parfum yang terlalu menyengat.
Hana menelan ludah. Matanya bergerak cepat, mencari tanda-tanda keberadaan kelompok *Red Dragon*. Tak butuh waktu lama sebelum dia melihat mereka: sekelompok pria dengan jaket bergambar naga merah mencolok di punggung mereka. Mereka duduk di sofa VIP di sudut ruangan, terlihat santai tapi juga… berbahaya.
“Baiklah, Hana. Ini saatnya,” gumamnya sambil menguatkan diri. Dia melangkah pelan menuju meja bar untuk menyusun strategi.
Seorang bartender muda dengan rambut berwarna platinum menyapanya. “Mau pesan apa, Nona? Kita punya spesial malam ini, Dragon Blaze.”
“Air putih aja,” jawab Hana buru-buru.
Bartender itu menaikkan alis, tapi tidak berkata apa-apa. Dia mengambilkan segelas air putih dan menyodorkannya ke Hana.
Hana menghirup airnya pelan, mencoba menenangkan diri. Namun, sebelum dia sempat menyusun rencana, salah satu pria dari kelompok *Red Dragon* melirik ke arahnya. Matanya tajam, seperti sedang menilai sesuatu.
Hana berpura-pura sibuk dengan gelasnya, berharap tidak menarik perhatian. Tapi ternyata harapannya sia-sia. Pria itu berdiri dan berjalan ke arahnya.
“Hai,” katanya dengan suara rendah namun tegas. “Lo baru di sini?”
Hana mendongak, mencoba menyembunyikan kegugupannya di balik senyuman kecil. “Iya, cuma penasaran aja tempat ini kayak apa.”
“Tempat ini nggak cocok buat orang yang cuma penasaran. Jadi, apa yang sebenarnya lo cari?”
“Nggak ada…” Hana menarik napas dalam-dalam. “Gue cuma mau ngilangin setres aja.”
Pria itu tersenyum kecil, mengambil sebotol vodka dari meja, menuangkannya ke dalam gelas kosong, lalu mendorong gelas itu ke arah Hana.
“Kalau mau ngilangin stres, ini yang paling cocok,” katanya, suaranya rendah namun jelas terdengar meski di tengah dentuman musik yang memekakkan telinga. “Kalau cuma air putih, stres lo nggak bakalan hilang. Hidup itu butuh sedikit rasa panas.”
Hana menatap gelas itu, aroma tajam vodka menusuk hidungnya. Tangannya ragu-ragu terulur, tapi dia sadar bahwa menolak hanya akan membuat dirinya terlihat lemah—dan mungkin mencurigakan. Dengan terpaksa, dia mengambil gelas itu, genggamannya sedikit gemetar.
Pria itu menyandarkan diri ke kursi, senyumnya melebar. “Cobalah,” katanya dengan nada menantang.
“Gue… nggak biasa minum,” katanya pelan, mencoba mencari alasan.
“Ya, kelihatan,” jawab pria itu sambil terkekeh kecil. “Tapi malam ini, lo harus belajar. Di sini, semua orang minum. Kalau lo nggak minum, mereka bakal tahu lo orang luar.”
Kata-katanya membuat Hana merasa semakin terpojok. Dengan hati-hati, dia membawa gelas itu ke bibirnya dan menyesap sedikit. Rasa panas langsung membakar tenggorokannya, membuatnya hampir batuk, tapi dia menahannya.
Pria itu tertawa, jelas menikmati reaksi Hana. “Santai aja, nggak usah buru-buru. Kalau terlalu tegang, orang-orang di sini bakal curiga.”
Hana mencoba mengatur napas, meletakkan gelasnya di meja dengan hati-hati. “Jadi… gue dengar kalian tahu banyak hal. Tentang… apa pun yang terjadi di kota ini,” katanya, mencoba mengalihkan perhatian pria itu dari gelas di tangannya.
Pria itu mengangkat alis, senyumnya berubah menjadi tatapan penuh minat. “Oh, jadi lo bukan cuma anak polos yang tersesat di sini. Lo datang buat nyari sesuatu.”
Hana mengangguk, meski jantungnya berdegup kencang. “gue butuh infor—" kalimat Hana terhenti saat tatapan pria itu berubah dingin dalam sekejap, senyumnya lenyap. Dia mencondongkan tubuh ke arah Hana, menatapnya dalam-dalam. “Lo tahu nggak, nanya soal Red Dragon itu kayak main api? Kalau salah langkah, lo bisa kebakar.”
Hana menggenggam tangannya di bawah meja, mencoba menenangkan diri. “Gue tahu risikonya. Tapi ini penting.”
Pria itu terdiam sejenak, lalu tersenyum lagi—kali ini dengan tatapan penuh teka-teki. “Oke. Kita lihat seberapa jauh keberanian lo. Tapi gue kasih tahu dulu, nggak ada yang gratis di dunia ini. Kalau lo mau informasi, lo harus kasih sesuatu sebagai gantinya.”
Tepat saat pria itu selesai berbicara, Hana merasakan ruangan berputar. Kepalanya mulai berat, dan tubuhnya terasa seperti kehilangan kendali. Vodka yang baru saja dia minum ternyata lebih kuat dari yang dia perkirakan—atau mungkin ini karena dia benar-benar tidak terbiasa.
Pria di depannya memperhatikan dengan tatapan dingin, tapi sudut bibirnya tertarik membentuk senyuman kecil yang membuat Hana merasa semakin tidak nyaman.
“Gadis bodoh,” gumamnya sambil memiringkan kepala. “Lumayan, hari ini gue punya mainan baru. Kayaknya masih segel, nih?”
Hana mencoba melawan rasa pusingnya, tapi pandangannya mulai kabur. Dia tahu ada sesuatu yang tidak beres. Tubuhnya bergerak mengikuti tarikan pria itu yang sudah berdiri dan memegang lengannya.
“Hey… apa yang lo lakuin?” Hana mencoba memberontak, namun suaranya terdengar lemah, nyaris tenggelam oleh dentuman musik.
Pria itu tidak menjawab. Dia hanya menatap gadis buruannya dengan senyum penuh arti, lalu menarik keluar dari keramaian klub.
Dengan sekuat tenaga, Hana ingin melawan, tapi tubuhnya terasa terlalu lemah. Setiap langkah yang dia ambil semakin membuat kesadarannya memudar.
Di luar klub, udara malam terasa lebih dingin. Pria itu menyeret Hana menuju gang sempit di sebelah klub, menjauhi keramaian. Langkah-langkah mereka bergema di dinding bata yang suram.
"Lepas...."
Pria itu menyeringai, "lo masuk ke kandang singa, bitch! Nikmati saja, gue pastiin lo bakalan keenakan sama permainan ranjang gue."
Hana mencoba menarik lengannya dari genggaman pria itu, tapi sia-sia. “gue… gue nggak datang untuk masalah,” katanya dengan suara yang hampir tak terdengar.
Pria itu terkekeh. “Terlambat, manis. Semua orang yang datang ke sini cari masalah.”
Tawa pria itu benar-benar menyebalkan terdengar di telinganya. Dalam hati, Hana terus mengutuk dirinya sendiri karena terlalu ceroboh. Dia tahu ini tempat berbahaya, tapi dia tidak menyangka semuanya akan berakhir seperti ini.
Tepat saat Hana merasa semuanya akan berakhir buruk, suara langkah kaki mendekat. Pria itu menoleh dengan cepat, matanya menyipit ke arah gang.
“Sial, siapa lagi sekarang?” gumamnya.
Dari bayangan, seorang pria muncul. Tubuhnya tegap, wajahnya sebagian tertutup oleh bayangan, tapi tatapannya tajam seperti belati. “Lepaskan dia,” katanya dengan nada rendah namun tegas.
Pria yang memegang Hana tampak terkejut, lalu tersenyum sinis. “Oh, lo pikir lo bisa ikut campur urusan gue, ha? Ini nggak ada hubungannya sama lo.”
Pria yang baru datang itu mendekat, tangannya perlahan masuk ke dalam jaket. “Gue nggak suka ngomong dua kali. Lepasin dia sekarang, atau gue pastikan lo nggak akan bisa keluar dari sini.”
Tatapan pria pertama berubah ragu, lalu dia melepaskan Hana dengan kasar. Tubuh Hana terjatuh ke tanah, tapi sebelum dia sempat menyentuh lantai, pria yang baru datang itu menangkapnya.
“Lo nggak tahu siapa yang lo ganggu,” kata pria itu tajam, sebelum memutar tubuhnya dan membawa Hana pergi dari gang itu tanpa melihat ke belakang.
Dalam keadaan setengah sadar, Hana hanya bisa mendengar suara langkah kaki dan suara berat pria itu berkata pelan, yang tak bisa Hana dengar jelas. Perlahan, kesadarannya benar-benar menghilang.
***
Hana membuka matanya perlahan, merasa seperti baru saja dihantam truk. Kepalanya berat, dan rasa haus yang menggerogoti tenggorokannya membuatnya ingin menangis. Ia mencoba menggerakkan tubuhnya, tapi rasanya masih lemah.
“Air…” pintanya lirih, hampir seperti bisikan.
Tiba-tiba sebuah botol air mineral tersodor ke arahnya. Tanpa berpikir panjang, Hana langsung meraihnya. “Thanks,” gumamnya cepat sebelum menenggak isi botol itu dengan lahap.
Setengah botol habis dalam hitungan detik. Tapi kemudian sesuatu menyentak kesadarannya. Di mana gue? pikirnya. Ia menurunkan botol itu perlahan, lalu mendongak untuk melihat siapa yang memberinya air.
Matanya langsung membelalak. Pria di depannya berdiri dengan tubuh tegap, kulit kecokelatan yang berkilauan, otot perut yang menonjol seperti roti sobek, dan—yang paling mencolok—dia tanpa baju. Shirtless.
Refleks, air di mulut Hana tersembur keluar, langsung mengenai pria itu.
“Woi!” Pria itu mundur selangkah sambil menyeka wajahnya dengan tangan, jelas terkejut. “Apa-apaan lo?!”
Bersambung...