Di Kota Sentral Raya, kejahatan bukan lagi bayangan yang bersembunyi—ia adalah penguasa. Polisi, aparat, hingga pemerintah berlutut pada satu orang: Wali Kota Sentral Raya, dalang di balik bisnis ilegal, korupsi, dan kekacauan yang membelenggu kota ini.
Namun, ada satu sosok yang tidak tunduk. Adharma—pria yang telah kehilangan segalanya. Orang tua, istri, dan anaknya dibantai tanpa belas kasihan oleh rezim korup demi mempertahankan kekuasaan. Dihantui rasa sakit dan dendam, ia kembali bukan sebagai korban, tetapi sebagai algojo.
Dengan dua cerulit berlumuran darah dan shotgun di punggungnya, Adharma tidak mengenal ampun. Setiap luka yang ia terima hanya membuatnya semakin kuat, mengubahnya menjadi monster yang bahkan kriminal pun takut sebut namanya.
Di balik topeng tengkorak yang menyembunyikan wajahnya, ia memiliki satu tujuan: Menumbangkan Damar Kusuma dan membakar sistem busuk yang telah merenggut segalanya darinya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Saepudin Nurahim, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pagi Hari dengan luka
Sinar matahari pagi menyelinap masuk melalui celah tirai kamar, menyapu lembut wajah Sinta yang masih terlelap di sisi Darma. Udara pagi masih sejuk, namun suara ayam berkokok dan kendaraan yang mulai berlalu lalang di luar rumah menjadi tanda bahwa hari baru telah dimulai.
Darma masih tertidur lelap di sampingnya, wajahnya terlihat lebih tenang dibanding semalam. Sinta tersenyum kecil, mengingat percakapan mereka sebelum tidur. Ia tahu betapa kerasnya suaminya bekerja dan seberapa besar beban yang ia tanggung. Namun, saat ini, yang bisa ia lakukan hanyalah memastikan bahwa Darma memiliki tempat pulang yang nyaman—rumah yang penuh cinta.
Pelan-pelan, Sinta bangkit dari tempat tidur, berusaha tidak membangunkan suaminya. Ia melirik ke arah jam dinding. Sudah hampir pukul enam. Itu berarti sudah waktunya menyiapkan sarapan dan membangunkan Dwi untuk bersiap ke sekolah.
Sinta berjalan keluar kamar dan langsung menuju dapur. Ia menyingsingkan lengan bajunya dan mulai menyiapkan bahan-bahan untuk sarapan. Pagi ini, ia memutuskan untuk membuat nasi goreng sederhana dengan telur mata sapi—menu favorit Dwi.
Saat minyak mulai panas di wajan, terdengar suara pintu kamar kecil yang terbuka. Tak lama kemudian, langkah kecil terdengar mendekat.
“Ibu…”
Sinta menoleh dan tersenyum melihat Dwi berdiri di ambang pintu dapur, masih mengusap matanya yang mengantuk. Rambutnya berantakan, tetapi ekspresi polosnya tetap menggemaskan.
“Kamu sudah bangun, Sayang?” Sinta mendekat dan mengusap kepala putrinya lembut.
Dwi mengangguk pelan. “Aku mimpi tentang Ayah semalam,” katanya sambil tersenyum kecil.
Sinta tersenyum, menuntun putrinya duduk di kursi. “Mimpi apa?”
Dwi menguap kecil sebelum menjawab, “Ayah jadi pahlawan… dia lawan orang jahat.”
Sinta terkekeh. “Wah, Ayah pasti suka kalau dengar itu.”
Dwi tersenyum senang, lalu mengayunkan kakinya kecil-kecil sambil menunggu sarapan.
Sinta kembali ke dapur, menyelesaikan memasak nasi goreng dan menyiapkan segelas susu untuk Dwi. Tak lama kemudian, suara langkah berat terdengar dari arah kamar tidur mereka.
Darma muncul di ambang pintu dapur, mengusap matanya yang masih mengantuk. “Wangi apa ini?” tanyanya dengan suara serak.
“Nasi goreng,” jawab Sinta sambil tersenyum.
Darma melangkah mendekat dan mencium puncak kepala istrinya sebelum duduk di samping Dwi. “Pagi, Nak.”
“Pagi, Ayah!” jawab Dwi ceria.
Sinta menaruh piring berisi nasi goreng di meja. “Makan dulu sebelum berangkat kerja.”
Darma mengangguk dan mulai makan, sementara Sinta menyuapi Dwi yang masih setengah mengantuk. Suasana pagi yang hangat ini terasa begitu biasa—tetapi juga sangat berharga.
Namun, mereka tidak tahu bahwa momen-momen seperti ini akan segera menjadi kenangan terakhir yang paling berharga.
Darma berjalan menuju halte angkot setelah berpamitan dengan Sinta dan Dwi. Udara pagi masih terasa segar, tetapi pikirannya tetap dipenuhi oleh kekhawatiran terhadap keadaan kota ini.
Saat melewati gang sempit yang biasa ia lewati, Darma mendengar suara gaduh dari kejauhan. Ia mempercepat langkahnya dan melihat seorang pemuda sedang dikeroyok oleh tiga orang preman. Mereka terlihat mabuk, meskipun matahari baru saja naik.
“Hei, cukup!” seru Darma, mendekat dengan ekspresi tajam.
Para preman menoleh. Salah satu dari mereka—yang tubuhnya paling besar—menyeringai. “Wah, pagi-pagi sudah ada yang mau cari masalah.”
Pemuda yang mereka hajar tergeletak di tanah, wajahnya penuh luka lebam. Darma mengepalkan tangan. Ia bisa saja pergi dan berpura-pura tidak melihat, seperti kebanyakan orang di kota ini. Tapi itu bukan dirinya.
Salah satu preman melangkah maju dengan senyum meremehkan. “Mau sok jadi pahlawan, ha?”
Tanpa peringatan, pria itu melayangkan pukulan.
Darma menghindar dengan mudah, lalu menangkis tangan preman itu dan membantingnya ke tanah dengan gerakan cepat.
Dua preman lainnya tersentak. Namun, alih-alih mundur, mereka justru menyerang bersamaan.
Darma bergerak refleks. Sejak kecil, ia telah berlatih silat, dan pengalaman bertahun-tahun telah mengasah insting bertarungnya. Ia menangkis serangan pertama, lalu menyikut rahang lawannya dengan keras. Preman itu terhuyung ke belakang.
Namun, preman terakhir berhasil menyarangkan pukulan ke wajahnya. Darma tersentak ke belakang, merasakan darah mengalir dari sudut bibirnya.
Ia mengusap luka itu dengan punggung tangannya, lalu menatap preman yang tersisa dengan tatapan dingin. “Itu saja?” tanyanya datar.
Preman itu ragu sejenak, lalu mencoba menyerang lagi. Kali ini, Darma tak memberi kesempatan. Ia menendang lutut lawannya, membuatnya kehilangan keseimbangan, lalu melayangkan pukulan terakhir yang membuatnya tersungkur ke tanah.
Ketiga preman itu kini terkapar, merintih kesakitan. Darma menghela napas, lalu menghampiri pemuda yang masih tergeletak.
“Kau baik-baik saja?” tanyanya, mengulurkan tangan.
Pemuda itu mengangguk lemah dan menerima bantuan Darma untuk berdiri. “Terima kasih… kalau bukan karena Anda, saya mungkin sudah habis.”
Darma mengangguk kecil. “Lain kali, berhati-hatilah.”
Setelah memastikan pemuda itu bisa berjalan, Darma kembali melanjutkan perjalanannya ke kantor. Luka di wajahnya masih terasa perih, tetapi lebih dari itu—ia merasa semakin yakin.
Kota ini butuh seseorang yang bisa melawan kejahatan.
Dan mungkin, hanya dia yang bisa melakukannya.
Darma melangkah masuk ke kantor dengan langkah tenang, meskipun rasa perih di wajahnya masih terasa. Ia tidak terlalu peduli dengan luka itu, tetapi reaksi orang-orang di sekitarnya berbeda.
Begitu ia melewati pintu utama, beberapa rekan kerja yang sedang berbincang langsung menghentikan percakapan mereka dan menatapnya dengan mata membesar. Seorang wanita di bagian administrasi bahkan menutup mulutnya dengan tangan, terkejut.
“Darma! Wajahmu kenapa?” seru seorang rekan kerja, Anton, yang langsung menghampirinya.
Darma hanya mengusap darah kering di sudut bibirnya dan tersenyum kecil. “Kecelakaan kecil.”
Anton mengernyit. “Kecelakaan macam apa yang bisa bikin mukamu kayak gitu?”
Sebelum Darma sempat menjawab, supervisor mereka, Pak Jaya, keluar dari ruangannya dengan ekspresi serius. “Darma, masuk ke ruang saya.”
Ruangan itu sunyi sejenak. Rekan-rekan kerja Darma saling bertukar pandang, penasaran dengan apa yang terjadi.
Darma hanya mengangguk dan mengikuti Pak Jaya ke dalam ruangan. Begitu pintu tertutup, pria paruh baya itu menatapnya dengan tajam.
“Ada apa dengan wajahmu?” tanyanya langsung.
Darma menghela napas. “Saya membantu seseorang yang dikeroyok preman tadi pagi.”
Pak Jaya mengusap wajahnya dengan tangan. “Darma… saya tahu kamu orang baik, tapi kota ini bukan tempat untuk main jadi pahlawan. Preman-preman di sini bukan sekadar pengganggu jalanan. Mereka punya backing. Kamu bisa dalam masalah besar kalau berurusan dengan mereka.”
Darma terdiam. Ia tahu maksud atasannya itu. Kota Sentral Raya bukan tempat yang aman, dan hukum di sini lebih sering berpihak pada yang punya kuasa.
Pak Jaya menghela napas panjang sebelum melanjutkan, “Saya tidak ingin kehilangan karyawan terbaik saya. Lain kali, biarkan saja polisi yang menangani.”
Darma tersenyum tipis. “Polisi?” Ia tertawa kecil, tetapi tidak ada humor dalam suaranya. “Saya rasa mereka juga bagian dari masalah di kota ini.”
Pak Jaya terdiam. Ia tidak bisa membantahnya. Setelah beberapa saat, ia akhirnya berkata, “Kalau begitu, paling tidak, hati-hati.”
Darma mengangguk. “Tentu, Pak.”
Dengan itu, ia keluar dari ruangan dan kembali ke mejanya, mencoba menjalani hari seperti biasa. Tetapi di dalam hatinya, ia tahu—hari ini bukan hari biasa. Luka di wajahnya adalah pengingat bahwa kejahatan di kota ini nyata, dan seseorang harus melakukan sesuatu.