Genre : Misteri, Thriller, Psikologis, Supranatural
Sinopsis :
Setelah suaminya meninggal didalam kecelakaan yang tragis. Elysia berusaha menjalani kehidupan nya kembali. Namun, semuanya berubah ketika ia mulai melihat bayangannya bertingkah aneh dan bergerak sendiri, berbisik saat ia sendiri, bahkan menulis pesan di cermin kamar mandinya.
Awalnya Elysia hanya mengira bahwa itu halusinasi nya saja akibat trauma yang mendalam. Tapi ketika bayangan itu mulai mengungkapkan rahasia yang hanya diketahui oleh suaminya, dia mulai mempertanyakan semuanya. Apakah dia kehilangan akal sehatnya ataukah ada sesuatu yang jauh lebih gelap yang sedang berusaha kuat untuk berkomunikasi dengannya.
Saat Elysia menggali hal tersebut lebih dalam dia menunjukkan catatan rahasia yang ditinghalkan oleh mendiang suaminya. Sebuah pesan samar yang mengarah pada sebuah rumah tua dipinggiran kota. Disanalah ia menemukan bahwa suaminya tidak mati dalam kecelakaan biasa. Akan kah Alena mendekati jawabnya???
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Azka Maftuhah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 26 - LABIRIN DALAM DIRI
Kali ini Elysia tengah duduk di depan cermin kecil di kamarnya. Matahari belum sepenuhnya terbit, dan dunia masih setengah tertidur. Tapi pikirannya… justru terjaga, liar, dan tak mau diam. Bayangan Resa, bisikan dari dunia cermin, bahkan sorot mata Edric—semuanya bergantian muncul dalam benaknya seperti parade kenangan yang tak kunjung usai.
Ia menatap dirinya sendiri. Tapi yang dilihatnya bukan hanya wajah yang lelah, atau sorot mata yang redup.
Ia melihat… dirinya yang lain.
Bukan bayangan. Bukan sosok asing dari cermin terkutuk. Tapi versi dari dirinya yang selalu ia hindari: gadis kecil yang terluka, remaja yang merasa tak cukup baik, wanita dewasa yang hidup di antara rasa bersalah dan tuntutan untuk kuat.
“Apa sebenarnya yang kau takutkan?” tanya dirinya dalam hati.
Dan seakan pikirannya menjawab, Elysia dibawa kembali pada satu momen—malam di mana Resa pertama kali menghilang dari rumah.
Ia masih ingat rasa dingin di jendela, suara hujan yang menampar kaca, dan dirinya yang memilih tetap di kamar… karena terlalu lelah untuk menanggapi tangisan adiknya.
“Aku pikir… dia hanya butuh waktu sendiri,” bisik Elysia pada dirinya sendiri. “Tapi ternyata dia butuh aku.”
Rasa bersalah itu seperti belenggu. Ia mencoba menebus semuanya setelahnya—dengan menjadi wanita kuat, istri yang mendampingi Edric, dan penyelidik kebenaran setelah kepergian Resa.
Namun sekarang ia sadar… ia tidak pernah benar-benar memaafkan dirinya sendiri.
“Maaf,” bisiknya lirih ke bayangannya di cermin. “Untuk semua waktu yang aku abaikan… semua kata yang tak sempat terucap.”
Cermin itu tidak menjawab, tapi sorot matanya… tampak lebih tenang.
Elysia berdiri, menatap ke luar jendela. Dunia luar masih kelabu, tapi di hatinya, ia mulai menyusun satu demi satu pecahan jiwanya yang selama ini berserakan.
Ia tahu, ketakutannya bukan pada cermin, bukan pada bayangan, bahkan bukan pada kematian.
Ketakutannya adalah… menghadapi dirinya sendiri.
Hari itu, Elysia mendatangi sebuah tempat yang dulu pernah ia hindari—ruang terapi psikologi tempat ia dulu menemani Resa. Kali ini, ia datang bukan sebagai pendamping. Tapi sebagai pasien.
Di dalam ruang beraroma lavender dan kursi empuk, ia duduk di hadapan seorang terapis.
“Apa yang membuat Anda memutuskan datang?” tanya sang terapis lembut.
Elysia menatap lantai, lalu berkata, “Saya ingin berhenti merasa bersalah karena masih hidup.”
Sang terapis tak langsung bicara. Tapi di ruangan itu, untuk pertama kalinya dalam waktu yang sangat lama, Elysia merasa tidak perlu menjadi kuat. Tidak perlu menjadi jawaban atas semuanya.
Ia hanya perlu… menjadi seseorang yang mau mendengar dirinya sendiri.
Malam itu, di kamarnya, Elysia kembali menatap cermin. Tapi kali ini bukan untuk mencari bayangan atau tanda-tanda gangguan dari dunia lain.
Ia hanya menatap dirinya sendiri. Perempuan yang telah terluka, kehilangan, bangkit, dan tetap berdiri.
Bukan karena tidak takut.
Tapi karena memilih untuk tidak lari lagi.
Beberapa hari setelah sesi terapi pertamanya, Elysia mulai menulis jurnal. Di atas kertas putih yang kosong, ia menumpahkan semuanya—tanpa sensor, tanpa editan, tanpa harus berpura-pura kuat.
> "Aku marah."
"Bukan hanya pada Resa, atau Edric, atau dunia—aku marah pada diriku sendiri."
"Kenapa aku harus terus hidup, sementara mereka yang lebih baik dariku pergi?"
Setiap tulisan terasa seperti membuka kotak lama yang terkunci di dalam pikirannya. Ia menemukan ingatan yang sempat ia tekan: tatapan kecewa ayahnya saat ia memilih meninggalkan rumah, suara ibu yang hanya memanggil Resa di saat-saat kritis, dan rasa iri yang pernah ia rasakan diam-diam terhadap adiknya—yang selalu tampak lebih ceria, lebih diperhatikan.
“Aku takut mengakuinya,” tulisnya. “Tapi kadang aku memang ingin Resa pergi. Bukan karena aku membencinya, tapi karena aku tak kuat terus jadi bayangan kakak sempurna yang tak pernah gagal.”
Elysia berhenti menulis. Tangannya gemetar. Tapi di balik rasa perih, ada kelegaan.
Terkadang, luka terbesar bukan dari kehilangan, tapi dari apa yang tidak pernah sempat kita katakan.
Malam berikutnya, Elysia berdiri di ruang tamu sendirian. Lampu temaram, suara jam berdetak, dan aroma teh melati mengisi udara. Ia menyalakan rekaman piano yang biasa dimainkan Resa semasa kecilnya. Lantunan nada-nada lembut memenuhi ruangan, membawa nostalgia yang manis dan menyakitkan di saat yang sama.
Sambil memejamkan mata, Elysia membayangkan Resa duduk di sebelahnya. Tertawa. Mengeluh karena jarinya salah tekan. Minta peluk hanya karena ingin merasa cukup.
Air mata Elysia menetes, jatuh perlahan di pipi.
“Kalau saja waktu bisa diulang…”
Tapi kemudian ia teringat kata-kata sang terapis:
> “Waktu tak bisa diulang. Tapi luka bisa diberi makna.”
Ia membuka matanya. Lalu berkata pelan, seolah pada Resa:
“Maafkan aku. Tapi hari ini… aku memilih berdamai. Bukan karena aku sudah sembuh. Tapi karena aku ingin hidup, bukan hanya bertahan.”
Pagi berikutnya, Elysia menatap ponselnya lama. Ia membuka kontak seseorang—psikolog anak—dan menulis pesan:
> “Saya ingin membuat ruang aman untuk anak-anak yang merasa tak didengar. Apakah saya bisa belajar jadi relawan di tempat Anda?”
Pesan itu ia kirim dengan jantung berdebar. Tapi untuk pertama kalinya, ia merasa langkahnya bukan karena rasa bersalah, tapi karena cinta. Cinta pada adiknya. Dan cinta pada dirinya sendiri.
"Mungkin, aku tidak akan pernah benar-benar utuh. Tapi aku bisa tetap berjalan—dengan lubang di hatiku, dan cahaya kecil yang tetap menyala di dalamnya."
"Cahaya yang dulu kutemukan dalam bayangan."
Beberapa hari setelah itu, Elysia duduk di bangku taman sendirian. Di sekelilingnya, dunia tampak biasa saja—anak-anak bermain, burung-burung berkicau, dan orang-orang sibuk dengan ponselnya.
Namun di dalam dirinya, ada dunia lain —tenang di permukaan, tapi dalam dan rumit di bawahnya.
Ia menggenggam liontin kecil yang tergantung di lehernya—liontin yang berisi foto kecil dirinya dan Resa waktu kecil. Wajah mereka penuh senyum, polos, dan belum ternoda oleh beban dunia.
> “Berapa banyak dari kita yang tumbuh dengan luka, tapi tidak tahu dari mana asalnya?”
“Berapa banyak dari kita yang terus tertawa, sambil perlahan hancur di dalam?”
Elysia mengingat betapa seringnya ia berpura-pura tegar. Betapa sering ia menyimpan tangis hanya agar terlihat kuat di mata orang lain. Ia tumbuh dalam tuntutan untuk sempurna, untuk selalu bisa mengatasi segalanya sendiri.
Tapi hari itu… ia memilih untuk tidak lagi menyembunyikan sisi rapuhnya.
Ia mengambil ponsel, membuka aplikasi media sosialnya, dan menulis sebuah unggahan:
> “Untuk kalian yang pernah merasa sendiri dalam rasa sakit—aku juga pernah di sana. Dan mungkin, aku belum sepenuhnya keluar. Tapi hari ini, aku memilih untuk tidak lagi memendam semuanya sendiri. Dan jika kalian merasa ingin menyerah—tolong, jangan. Dunia masih butuh cahaya dari luka-luka yang kalian sembuhkan.”
Ia mem-posting kata-kata itu, tanpa berharap siapa pun akan membacanya. Tapi dalam dirinya, ada satu hal yang berubah: ia telah memulai dialog dengan dunia—bukan sebagai orang yang sempurna, tapi sebagai manusia yang masih belajar memaafkan dirinya sendiri.
Malam itu, Elysia bermimpi.
Ia berdiri di ruang kosong, putih bersih. Tak ada langit, tak ada tanah. Hanya dirinya, dan seseorang yang duduk membelakanginya.
Ketika ia mendekat, sosok itu berbalik—dan ternyata adalah dirinya sendiri. Tapi lebih muda. Lebih polos. Lebih rapuh.
“Aku ingin kau tahu,” kata gadis muda itu, “aku tidak pernah marah padamu. Aku hanya… takut kau lupa siapa aku.”
Elysia berjongkok di hadapannya. Menatap matanya yang seperti cermin masa lalu.
“Aku tidak melupakanmu,” bisiknya. “Aku hanya terlalu sibuk bersembunyi dari rasa sakit.”
Sang gadis tersenyum, lalu perlahan memudar menjadi cahaya.
Ketika Elysia terbangun, hatinya terasa lebih ringan. Seperti ada bagian dari dirinya yang selama ini terkurung, kini bebas.
Dan untuk pertama kalinya setelah sekian lama, ia bisa bernapas tanpa merasa bersalah.
> “Mungkin kita tidak selalu bisa menyembuhkan semua luka. Tapi kita bisa memilih untuk tidak lagi membiarkannya mendikte seluruh hidup kita. Dan dalam proses itu—kita bisa menemukan siapa diri kita sebenarnya, di balik semua bayangan yang pernah menelan kita.”