Senja Maharani, seorang sekretaris muda yang cerdas, ceroboh, dan penuh warna, di bawah asuhan Sadewa Pangestu, seorang CEO yang dingin dan nyaris tak berperasaan. Hubungan kerja mereka dipenuhi dinamika unik: Maha yang selalu merasa kesal dengan sikap Sadewa yang suka menjahili, dan Sadewa yang diam-diam menikmati melihat Maha kesal.
Di balik sifat dinginnya, Sadewa ternyata memiliki sisi lain—seorang pria yang diam-diam terpesona oleh kecerdasan dan keberanian Maha. Meski ia sering menunjukkan ketidakpedulian, Sadewa sebenarnya menjadikan Maha sebagai pusat hiburannya di tengah kesibukan dunia bisnis.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Luckygurl_, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Petaka 'Renda'
To: Niken - Ken, aku harus gimana?
Maha menatap layar ponselnya dengan mata yang mulai berat. Ia menghela nafas panjang, berusaha menenangkan gejolak di dadanya yang terasa semakin sesak. Namun, pikirannya terus mengulang ucapan Sadewa yang terngiang di telinga nya.
Karena saya menganggap kamu adalah milik saya, Maha. Jadi, bukankah kamu sudah saya anggap seseorang yang spesial?
Maha menundukkan kepalanya, menatap lantai dengan pandangan kosong. Perasaannya campur aduk memenuhi hatinya, antara bingung, kesal, dan entah apa yang lainnya. Kata-kata Sadewa yang diucapkan dengan nada tegas itu terus mengganggunya.
Apa maksud dari semua itu?
Maha meremas ponselnya dengan gemetar, air matanya mulai mengalir tanpa bisa ia tahan lagi. Kesedihan yang selama ini ia coba pendam, akhirnya tumpah. Membuat pundaknya bergetar hebat, menanggung perasaan tertekan yang seolah tiada habisnya.
Kenapa aku selalu mengiyakan semua ucapan Sadewa? Kenapa aku seperti tidak punya pilihan? Batinnya pilu, serasa merasakan hati yang teriris perih. Maha memejamkan matanya, mencoba menghapus bayangan Sadewa yang terus menghantui pikirannya.
Sadewa, dengan segala sikapnya yang dingin dan mengintimidasi, seperti merenggut kebebasan Maha sedikit demi sedikit. Dan Maha, seperti seorang pion kecil yang hanya bisa mengikuti permainan pria itu tanpa daya.
Apa yang istimewa dari seorang gadis yatim piatu seperti ku? Apakah aku pantas diperlakukan seperti ini olehnya? Pikir Maha, tangisnya pecah semakin keras.
Di dalam kamarnya, Maha duduk ditepi ranjang sambil menggenggam erat ponselnya yang menjadi pelampiasan. Punggungnya berguncang, seiring dengan isakan yang tidak bisa ia redam lagi. Maha merasa terperangkap seperti burung kecil yang tidak mampu terbang keluar dari sangkar emas yang Sadewa ciptakan. Kamarnya seakan menjadi saksi bisu kesedihannya. Dinding-dindingnya yang dingin memantulkan suara isakan nya, membuat suasana semakin menyesakkan.
“Kenapa Sadewa mengincar ku? Aku ini bukan siapa-siapa… aku bahkan tidak punya apa-apa!” Maha mengusap wajahnya kasar, ingin menghapus semua jejak kesedihan yang membekas disana.
Perlahan Maha mengangkat wajahnya, airmata masih mengalir di pipinya, tapi ada sesuatu yang berubah. Entah dari mana datangnya, sebuah keberanian kecil mulai muncul, menggantikan rasa putus asa yang mendera.
“Miliknya, ‘kan? Baiklah kalau begitu. Kalau aku sudah terlanjur masuk kedalam kubangan keruh ini, kenapa tidak sekalian menyelam saja?” Bisiknya, suaranya pelan tapi mantap.
Maha berdiri dari tempatnya duduk. Melangkah pelan menuju cermin besar di sudut kamar. Ia menatap pantulan dirinya dengan mata yang sembab dan wajah yang lelah. Namun, perlahan, ia kembali mengusap sisa air mata di pipinya dengan kasar.
“Sesuai dengan isi kontrak itu, aku akan berperan sebagai ‘kekasih’ Sadewa dan memperlakukannya seperti pasangan. Aku akan ikuti permainannya dan menjalani peran sesuai aturannya.” Ucapnya pada pantulan dirinya di cermin. Suaranya terdengar lebih tegas, meskipun masih ada sedikit getaran di ujung kalimat.
Maha mencoba menenangkan detak jantungnya yang masih berdegup kencang. “Untuk apa aku terus mengelak? Kontrak ini akan berjalan selama satu tahun kedepan. Aku nggak mau ada kerutan di wajah ku, hanya karena stres mikirin hal-hal yang sudah jelas nggak bisa aku ubah. Lagipula, dia bayar aku mahal, ‘kan? Jadi seperti yang dia bilang, harus profesional.” Ia kembali berbicara pada dirinya sendiri, suara hatinya kini terdengar lebih rasional.
Maha mengusap wajahnya sekali lagi, tapi kali ini lebih lembut. Dibalik cermin, ia melihat bayangannya sendiri, bukan lagi gadis yang terlihat rapuh, tapi seseorang yang mencoba berdiri tegak meski sedang berada dibawah tekanan. Ia tidak ingin terus larut dalam kesedihan atau amarah yang tidak akan mengubah apapun. Bukan menyerah, tapi ia memilih untuk menerima situasi ini dengan cara yang lebih ringan. Toh, ada kompensasi besar yang ia terima dari Sadewa. Semua ini, pikirnya hanyalah soal waktu dan peran.
Setelah meluapkan emosinya di kamar, akhirnya Maha mengganti pakaiannya. Ia memilih kaos santai dengan celana pendek yang memamerkan kaki jenjangnya. Namun, saat hendak melangkah keluar. Ia tiba-tiba berhenti.
“Sadewa, 'kan, masih pakai baju kantor, ya? Apa aku pinjami kaos oversize-ku aja? Setidaknya dia lebih nyaman.” Pikir Maha, kemudian ia berbalik menuju walk in closet. Matanya menelusuri rak pakaian, mencoba mencari yang cocok. Ia mengambil sebuah kaos oversize berwarna abu-abu, melipatnya lebih kecil agar terlihat rapi. Lalu berjalan keluar kamar.
Begitu diruang tamu, pandangannya langsung tertuju pada Sadewa. Pria itu duduk santai di sofa, masih mengenakan kemeja meskipun dasinya sudah lepas. Sementara tangannya sibuk memegang ponsel dan matanya menatap layar dengan fokus. Ada aura tenang tapi berwibawa yang terpancar dari Sadewa, seolah seluruh ruangan adalah miliknya.
Maha melangkah mendekati Sadewa yang duduk tenang di sofa. “Sehari aja tanpa hape, emangnya nggak bisa, ya?” Gumamnya lirih, cukup pelan untuk dirinya sendiri. Dengan kaos oversize ditangannya, Maha berhenti di samping Sadewa. Ia berusaha menjaga ekspresinya tetap datar meski rasa canggung menyelinap di dadanya.
“Ini, ganti bajumu, Pak. Biar lebih nyaman kalau mau istirahat… mungkin,” cetus Maha sambil menyodorkan kaos itu.
Sadewa mengangkat wajahnya, menatap Maha dari bawah. Matanya dengan cepat menelusuri pakaian santai yang dikenakan gadis itu—kaos simpel dan celana pendek yang memamerkan kaki jenjangnya. Ada sebersit rasa senang muncul, meskipun ekspresi wajahnya tetap datar tanpa celah.
“Kamu berharap saya menginap disini, ya?” Balas Sadewa, sambil meletakkan ponselnya di meja.
Maha mendengus pelan, lalu memutar bola matanya dengan gerakan yang jelas terlihat. “Terserah Anda saja, Pak. Anda mau pindah ke sini juga, saya tidak peduli. Sesuai apa yang Anda katakan, saya harus bersikap profesional selama masa kontrak untuk jadi kekasih Anda. Iya, ‘kan?” Jawabnya,
Sadewa tersenyum tipis yang hampir tidak terlihat. Ada sesuatu dalam cara Maha berbicara yang menggelitik hatinya. Perlahan, ia berdiri, tubuhnya menjulang dihadapan Maha. Tangannya terulur untuk meraih koas yang dipegang gadis itu.
“Kamu benar, Maha. Tapi profesionalitas itu ada dua arah. Jadi, kalau kamu sudah berusaha menjalankan peranmu dengan baik, maka saya juga harus melakukan hal yang sama, bukan?” Ucap Sadewa dengan suara rendah namun tegas. Matanya menatap langsung ke arah Maha, membuat gadis itu merasa seolah di telanjangi oleh pandangan tajam itu.
Maha tidak menjawab, sebab tenggorokannya terasa kering dan untuk sesaat, ia hanya bisa menatap bayangan dirinya yang terpantul dari mata Sadewa. Ada sesuatu dalam sorot pria itu—entah itu rasa superioritas atau perhatian, ia tidak bisa melihatnya dengan jelas.
“Saya suka dengan gadis penurut seperti kamu, Maha. Karena kamu tahu, ‘kan? Saya paling tidak suka dengan seorang yang menolak permintaan atau berkata tidak pada saya? Iya, ‘kan?” bisik Sadewa, suaranya terdengar lembut, tetapi ada nada tegas yang terselip di dalamnya. Bisikannya itu begitu dekat, mengisi udara di antara mereka dengan kehangatan yang membuat Maha tersentak.
Maha baru saja hendak membalas, tetapi perhatiannya teralihkan oleh gerakan tangan Sadewa yang mulai membuka satu persatu kancing kemejanya. Hanya dalam beberapa detik, Maha membelalakkan matanya. Tubuh pria itu kini setengah bertelanjang, menampilkan dada bidang dengan otot-otot yang terpahat sempurna.
Astaga, Sadewa, gila! Kenapa dia kayak sengaja begini? Batin Maha gemuruh, berusaha mengalihkan pandangannya, tetapi matanya terlalu terpaku pada pemandangan di hadapannya, membuat jantungnya berdetak kencang, seperti genderang perang yang semakin riuh.
Maha juga manusia normal. Apalagi yang tengah berdiri di depannya adalah sosok pria dengan tubuh sangat ideal. Jelas sulit untuk tidak tergoda oleh pemandangan nyata yang terpampang begitu jelas di depan matanya. Namun, Maha bukan tipe yang menyerah begitu saja. Dengan segenap tenaga, ia mengalihkan pandangannya ke atas, bertemu dengan mata hitam legam Sadewa yang tengah menatapnya lekat-lekat.
“Iya, Pak, saya paham.” Jawab Maha akhirnya, ia mempertahankan ekspresi datarnya, meski dalam hati, benteng pertahanannya sudah runtuh.
Sadewa menyeringai kecil, sebuah ekspresi percaya diri yang nyaris mengintimidasi. Tanpa banyak bicara, ia melenggang pergi, langkahnya mantap mantap menuju kamar Maha.
“Saya butuh membersihkan tubuh, gerah.” Ujarnya santai. Tanpa permisi, Sadewa membuka pintu kamar dan menghilang begitu saja dibaliknya.
Maha mematung sejenak, matanya masih terpaku pada punggung lebar Sadewa yang kini lenyap dibalik pintu kamarnya. Ia mendesah berat. “Sadewa benar-benar tidak punya batasan, dan menganggap ini hubungan nyata? Dia bahkan berani masuk ke ruang pribadiku tanpa meminta izin terlebih dahulu,” keluhnya, suaranya terdengar frustasi. Ada keresahan yang membuatnya ingin melampiaskan kekesalannya, tapi ia memilih untuk menahan diri.
Namun, dibalik rasa kesalnya. Sebuah pertanyaan muncul tanpa bisa dicegah. “Tapi, kenapa harus aku? Apa mungkin Sadewa itu sebenarnya menyukai ku? Jadi ini alibinya saja? Astaga, sepertinya aku terlalu percaya diri!” Maha berdecak, tapi semburat rasa bingung di wajahnya tak mampu ia sembunyikan.
...****************...
Sadewa melangkah masuk kedalam kamar Maha, pandangannya segera menyapu seluruh ruangan yang memancarkan suasana elegan. Setiap pernak-pernik dan detail mencerminkan kepribadian pemiliknya yang sederhana namun penuh selera. Ia mendekati meja rias berlapis kaca, tangannya menyentuh permukaannya sambil tersenyum tipis.
“Jadi ini kamar… kekasih ku?” Bisik Sadewa pelan. Ada getaran aneh di dadanya, sebuah sensasi yang tidak biasa. Sebab, ini pertama kalinya ia berada begitu dekat dengan kehidupan Maha.
Matanya berhenti di ranjang berukuran king size dengan sprei berwarna pink, dihiasi motif bunga tulip. Warna itu kontras dengan dirinya, tapi anehnya, ia merasa cocok.
“Pink, manis sekali.” Sadewa tersenyum kecil. “Mungkin nanti saya bisa lebih sering berada disini, atau malah tinggal disini?” Candanya pada diri sendiri.
Sadewa berjalan mendekat, membiarkan jarinya menyentuh sisi ranjang. Ada sesuatu yang membuat pikirannya mulai berkelana, membayangkan hal-hal gila yang bahkan ia sendiri tahu tak pantas. Fantasinya mulai bermain saat membayangkan hari-hari dimana ruangan ini tidak hanya menjadi milik Maha, tetapi juga miliknya. Sebuah pemikiran yang tidak masuk akal, tapi berhasil membuatnya tersenyum.
“Astaga, Sadewa! Apa yang kamu pikirkan? Kenapa hal kotor seperti itu terlintas di otakmu?” Sadewa memukul pipinya sendiri dengan cukup keras, berharap kesakitan itu bisa menghapus bayangan dirinya yang bergulat dalam cinta di ranjang Maha.
Sadewa berusaha menenangkan pikirannya yang liar, ia tahu dirinya sudah terbiasa dengan dunia dewasa, bahkan menganggapnya sebagai hal yang biasa juga. Dengan usia yang menginjak pertengahan tiga puluh tahun, hubungan fisik dengan lawan jenis bukanlah sesuatu yang baru baginya. Tapi Maha? Maha itu adalah tipe idealnya, gadis yang mampu mengguncang logika dan emosinya. Membuat fantasinya lebih sering bermain ketika berada didekatnya.
Sesuai ucapannya pada Maha, Sadewa akhirnya melangkah menuju kamar mandi. Namun, langkahnya terhenti begitu pandangannya menangkap sesuatu di tepian ranjang. Sebuah thong panty kecil yang ia belikan untuk Maha terlihat tergeletak begitu saja disana.
Sadewa menatap underwear itu sejenak, membuat alisnya terangkat. Dengan penuh rasa penasaran, pun ia mendekat untuk mengambil thong panty itu. “Jadi ini yang membuat kekasih ku merasa tidak nyaman?” Gumamnya dengan senyuman.
Sejenak, ia menatap lekat-lekat thong panty renda itu dengan fokus. Seolah menikmati sensasi yang mengalir di tubuhnya. Tanpa ragu, Sadewa mendekatkan thong panty itu ke wajahnya dan mencium lembut kain tersebut. Ia memejamkan matanya, pun senyumnya mengembang. Aromanya yang menguar membuatnya terbuai dalam euforia yang sulit untuk dijelaskan.
Ketidaknyamanan yang mengganggu nya semakin kuat, dan setelah merasakan dampak dari ciuman tersebut. Sadewa merasa perlu secepatnya untuk mencari ketenangan. Tanpa membuang waktu, ia melangkah cepat menuju kamar mandi seraya membawa thong panty itu bersamanya, menginginkan kelegaan dari gejolak yang mulai tak tertahankan di dalam dirinya.