Bayangan gelap menyelimuti dirinya, mengalir tanpa batas, mengisi setiap sudut jiwa dengan amarah yang membara. Rasa kehilangan yang mendalam berubah menjadi tekad yang tak tergoyahkan. Dendam yang mencekam memaksanya untuk mencari keadilan, untuk membayar setiap tetes darah yang telah tumpah. Darah dibayar dengan darah, nyawa dibayar dengan nyawa. Namun, dalam perjalanan itu, ia mulai bertanya-tanya: Apakah balas dendam benar-benar bisa mengisi kekosongan yang ditinggalkan? Ataukah justru akan menghancurkannya lebih dalam?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon M.Yusuf.A.M.A.S, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pertarungan dalam Bayang
Malam itu, Ryan berdiri di tepi jurang di dimensi gelap yang diciptakan pria berjubah hitam. Di bawahnya, jurang itu seperti lautan bayangan yang berputar, siap menelannya kapan saja. Di tangannya, tanda tengkorak bersinar redup, memantulkan cahaya yang hampir tidak ada. Ryan tahu bahwa latihannya malam ini bukan hanya tentang mengasah kekuatan, tetapi juga menguji tekadnya.
“Kau siap, Ryan?” suara pria berjubah hitam menggema dari belakangnya.
Ryan menoleh, menatap pria itu dengan penuh tekad. “Aku harus siap. Jika aku tidak bisa melawan kegelapan ini, aku tidak akan bisa melindungi siapa pun.”
Pria berjubah hitam tersenyum tipis. “Bagus. Tapi ingat, Ryan, musuh terbesarmu bukan hanya Hery atau pengguna kegelapan lainnya. Musuh terbesarmu adalah dirimu sendiri.”
Sebelum Ryan sempat merespons, pria itu melambaikan tangannya, dan jurang di bawah mereka bergolak. Dari kedalaman bayangan, muncul makhluk-makhluk gelap dengan bentuk yang tidak menentu. Mata mereka bersinar merah, dan gerakan mereka seperti kabut yang bergerak cepat. Nafas makhluk itu terdengar seperti bisikan-bisikan yang menciptakan rasa dingin di udara.
“Ini adalah bagian dari kekuatan yang kau miliki,” kata pria berjubah hitam. “Mereka adalah manifestasi dari kegelapanmu. Jika kau tidak bisa mengendalikannya, mereka akan menghancurkanmu.”
Makhluk-makhluk itu melesat ke arah Ryan, gerakan mereka seperti bayangan yang mengiris udara. Nafas mereka menciptakan suara seperti desis ular, membuat bulu kuduk Ryan berdiri. Ryan mengepalkan tangannya, dan bayangan di sekitarnya berkumpul, membentuk perisai yang melindunginya dari serangan pertama. Namun, perisai itu bergetar, hampir runtuh di bawah tekanan makhluk-makhluk itu yang menggigit dan mencakar seperti binatang liar.
“Fokus, Ryan,” pria itu memperingatkan. “Bayangan adalah temanmu, bukan musuhmu. Kau harus belajar mengarahkan mereka, bukan hanya bertahan.”
Makhluk-makhluk itu terus menyerang, jumlah mereka tampaknya tidak berkurang. Ryan merasakan keringat dingin mengalir di dahinya. Suara-suara dari makhluk itu semakin keras, berubah menjadi bisikan-bisikan yang memanggil namanya, seolah mencoba merasuk ke dalam pikirannya. Di dalam kebisingan itu, Ryan mendengar sesuatu yang mengejutkan: suara dirinya sendiri, tetapi terdengar bengis dan penuh cemooh.
“Kau tidak cukup kuat, Ryan. Kau lemah. Kau tidak akan pernah bisa melindungi siapa pun.”
Kata-kata itu membuat Ryan terhuyung mundur, hampir kehilangan kendali atas perisainya. Salah satu makhluk berhasil menerobos, mencakar lengannya. Rasa sakitnya tidak hanya fisik; ia merasakan dingin yang menusuk jiwanya. Namun, ia tidak membiarkan rasa takut menguasainya.
Ryan mengepalkan tangannya lebih erat. Ia memikirkan Elma, cahaya yang selama ini membuatnya bertahan. Dalam pikirannya, ia tahu bahwa jika ia gagal malam ini, ia tidak akan bisa melindungi apa yang penting baginya.
Dengan napas dalam, Ryan melangkah maju. Ia menggerakkan tangannya, memanggil lebih banyak bayangan yang kini membentuk perisai baru, lebih kuat dari sebelumnya. Saat makhluk-makhluk itu menyerang lagi, perisainya bertahan. Suara-suara itu masih bergema di telinganya, tetapi ia mulai mengabaikannya. Ia tidak akan membiarkan kegelapan ini menang.
“Kau mulai memahami,” kata pria berjubah hitam dengan nada puas. “Tetapi ini baru awal, Ryan. Perjalananmu masih panjang, dan musuhmu akan jauh lebih menakutkan daripada ini.”
Makhluk-makhluk itu akhirnya mundur, kembali menyatu dengan jurang bayangan di bawahnya. Ryan jatuh berlutut, napasnya terengah-engah, tetapi ia tetap memegang kendali atas dirinya sendiri. Ia tahu bahwa pertempuran ini hanyalah permulaan.
Pria berjubah hitam mendekat, tatapannya serius. “Kau sudah lebih baik, Ryan. Tapi latihan ini baru permulaan. Jika kau ingin mengalahkan Hery, kau harus memahami apa yang sebenarnya kau hadapi.”
Ia mengangkat tangannya, dan di depannya kembalimuncul ilusi Hery. Tapi kali ini, Hery tidak seperti yang biasa Ryan lihat. Sosoknya memancarkan aura kegelapan yang lebih pekat, dan di tangannya ada senjata besar yang tampak seperti terbuat dari bayangan.
“Hery memiliki kekuatan yang dikenal sebagai Dark Dominator,” kata pria berjubah hitam. “Kekuatan ini adalah warisan keluarganya, sesuatu yang lebih tua dan lebih kuat daripada apa yang kau miliki saat ini.”
Ryan menatap ilusi itu dengan mata yang penuh tekad. “Aku akan menghentikannya.”
Pria itu tersenyum tipis. “Bukan hanya melawan, tetapi mengalahkannya. Jika kau tidak melakukannya, dia akan menggunakan kekuatannya untuk menghancurkan segalanya, termasuk orang-orang yang kau sayangi.”
Ryan menunduk, memikirkan Elma dan bahaya yang mungkin menantinya. Dalam hatinya, ia bertekad untuk menjadi lebih kuat, tidak peduli apa yang harus ia hadapi.
Pria berjubah hitam mengangkat satu tangan, menciptakan sebuah pintu besar yang terbuat dari bayangan pekat. "Di balik pintu ini adalah tantangan terakhir malam ini. Kau akan menghadapi sesuatu yang mencerminkan dirimu sendiri."
Ryan menatap pintu itu, ragu sejenak, tetapi akhirnya melangkah maju. Ketika ia mendorong pintu itu, ia menemukan dirinya berada di tempat yang asing, tetapi familiar. Di depannya, berdiri seorang pemuda yang identik dengannya, tetapi dengan mata yang bersinar merah dan senyuman dingin di wajahnya.
"Jadi, ini diriku?" bisik Ryan pelan, menatap sosok itu.
"Tidak, Ryan," suara pria berjubah hitam terdengar jauh. "Ini adalah kegelapanmu yang telah menjelma menjadi wujud nyata. Kau tidak bisa mengalahkannya dengan kekuatan. Kau hanya bisa mengatasinya jika kau memahami dirimu sendiri."
Ryan merasa jantungnya berdebar. Sosok di depannya tertawa pelan, langkahnya mendekat dengan setiap detik. "Apa yang akan kau lakukan sekarang, Ryan?" tanya sosok itu, suaranya menggema seperti bayangan yang berbisik. "Kau pikir kau bisa melindungi Elma? Kau pikir kau bisa mengalahkan Hery? Kau bahkan tidak bisa menghadapi aku."
Ryan mengepalkan tangannya, tetapi ia tidak menyerang. Ia hanya menatap sosok itu, mencoba mencari celah, mencoba memahami apa yang harus ia lakukan.
Di dunia nyata, Elma tiba-tiba merasa dadanya berat, seperti sesuatu menariknya. Wanita berjubah putih memandangnya dengan ekspresi serius. "Kau merasakannya, bukan? Pertempuran Ryan baru saja dimulai. Dan jika ia gagal... kau mungkin tidak akan pernah melihatnya kembali."
Elma menatap wanita itu dengan mata melebar. "Apa maksudmu? Apa yang terjadi padanya sekarang?"
Wanita itu tidak menjawab. Ia hanya memandang langit malam yang penuh bintang dengan tatapan kosong, sementara bayangan di kejauhan tampak bergerak, seolah-olah mengintai mereka dari tempat yang jauh.