Zen Vessalius adalah nama yang pernah menggema di seluruh penjuru dunia, seorang pahlawan legendaris yang menyelamatkan umat manusia dari kehancuran total. Namun, waktu telah berubah. Era manusia telah berakhir, dan peradaban kini dikuasai oleh makhluk-makhluk artifisial yang tak mengenal masa lalu.
Zen, satu-satunya manusia yang tersisa, kini disebut sebagai NULL—istilah penghinaan untuk sesuatu yang dianggap tidak relevan. Dia hanyalah bayangan dari kejayaan yang telah hilang, berjalan di dunia yang melupakan pengorbanannya.
Namun, ketika ancaman baru muncul, jauh lebih besar dari apa yang pernah dia hadapi sebelumnya, Zen harus kembali bangkit. Dengan tubuh yang menua dan semangat yang rapuh, Zen mencari makna dalam keberadaannya. Mampukah ia mengingatkan dunia akan pentingnya kemanusiaan? Atau akankah ia terjatuh, menjadi simbol dari masa lalu yang tak lagi diinginkan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Zen Vessalius, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 14 JAMUAN TERTELAN
Tiga ajudan Zen dan Selvina—Kael, Lira, dan Theros—beserta rombongan prajurit mulai memasuki wilayah ras Beast dan Firlinione. Suasana di sana terasa berat dan penuh kewaspadaan. Udara terasa lebih panas, dipenuhi bau tajam dari hutan liar dan bebatuan yang menghiasi lanskap kasar wilayah itu. Para prajurit terus menggenggam senjata mereka dengan siaga, sedangkan ketiga ajudan bertukar pandang, menyiapkan diri untuk menghadapi situasi yang mungkin sulit.
Wilayah ras Beast tampak seperti benteng alami dengan tebing-tebing menjulang tinggi dan gua-gua yang mengintimidasi. Di kejauhan terdengar suara auman binatang buas, menggema di antara pegunungan. Theros, yang selalu waspada, memperhatikan gerakan bayangan di sekitar mereka.
“Kita diawasi,” bisiknya kepada Kael, yang hanya mengangguk kecil, tetap tenang meski matanya terus menyapu area di sekitar mereka. Lira menoleh ke belakang, memastikan rombongan prajurit tetap terkoordinasi dengan baik.
“Lakukan apa yang harus kita lakukan,” kata Lira. “Tetap tenang, dan jangan membuat gerakan tiba-tiba.”
Setelah perjalanan beberapa jam, mereka sampai di sebuah gerbang besar yang dijaga oleh prajurit ras Beast. Gerbang itu terbuat dari kayu besar dan dihiasi tanduk binatang. Penjaga di sana mengarahkan tombaknya ke arah mereka, memberi tanda untuk berhenti.
"Siapa kalian, dan apa tujuan kalian di wilayah kami?" tanya salah satu penjaga dengan suara serak dan nada yang tajam.
Kael maju, melangkah dengan percaya diri sambil mengangkat surat undangan. “Kami adalah utusan dari Raja Zen Vessalius dan Ratu Selvina Aelthor dari Lumoria. Kami datang membawa surat perdamaian untuk para pemimpin ras Beast dan Firlinione.”
Penjaga itu memperhatikan surat tersebut dengan penuh kecurigaan sebelum mengangguk perlahan. “Tunggu di sini. Kami akan melaporkan kedatangan kalian kepada pemimpin kami, Rokan.”
Mereka semua menunggu di depan gerbang dengan penuh kehati-hatian, menyadari bahwa setiap langkah mereka sedang dinilai. Sementara itu, di balik gerbang, mereka dapat mendengar suara gaduh dan gerakan prajurit ras Beast yang bersiap-siap, seolah kedatangan mereka menjadi topik besar di antara para penghuni wilayah itu.
Tak lama setelah itu, gerbang besar perlahan terbuka, menghasilkan suara gemeretak kayu dan rantai yang menggema di udara. Seorang penjaga mendekati rombongan mereka, dengan sikap lebih formal kali ini.
"Pemimpin Rokan akan menerima kalian di aula besar. Ikuti kami," katanya singkat.
Kael memberi isyarat kepada Lira, Theros, dan para prajurit untuk tetap waspada namun tenang. Mereka mengikuti para penjaga Beast melalui jalan setapak berbatu yang mengarah ke pusat wilayah tersebut. Suasananya dipenuhi dengan aura primal, di mana binatang buas berkeliaran bebas di sekitar kamp, dan suara geram serta auman membuat atmosfer semakin tegang.
Di tengah-tengah wilayah itu berdiri aula besar yang terbuat dari batu dan kayu, dihiasi tanduk dan tulang-tulang binatang raksasa, menunjukkan kekuatan dan keganasan ras Beast. Para ajudan melangkah masuk, dengan tatapan para prajurit Beast mengikuti setiap gerakan mereka.
Di dalam aula, Rokan, pemimpin ras Beast, duduk di atas takhta besar yang terbuat dari tulang dan kulit binatang. Sosoknya mengintimidasi, dengan tubuh besar berotot, bulu hitam yang tebal, dan mata tajam berwarna kuning menyala. Ia mengenakan mantel dari bulu serigala besar, dan sebuah tombak raksasa berdiri di sampingnya.
"Jadi, kalian adalah utusan dari Lumoria," kata Rokan dengan suara berat, penuh kewibawaan. Tatapan matanya menyapu Kael, Lira, dan Theros dengan penuh curiga. "Apa yang membuat Raja kalian berpikir bahwa surat ini akan membuat kami mempertimbangkan perdamaian?"
Kael maju selangkah, menahan napas untuk menjaga ketenangannya. Ia merendahkan tubuhnya dengan sopan, menunjukkan rasa hormat. "Raja Zen Vessalius menginginkan agar semua ras hidup dalam harmoni, tanpa saling menghancurkan. Kami mengerti bahwa ada kekhawatiran terhadap perubahan di Lumoria, terutama dengan raja baru. Namun, kami datang membawa harapan, bukan ancaman. Surat ini adalah permohonan tulus untuk dialog dan perdamaian, bukan perang."
Rokan mendengus, lalu menyandarkan tubuhnya ke belakang. "Kata-kata yang indah, manusia. Tapi kata-kata saja tidak cukup di dunia ini."
Sebelum Kael bisa menjawab, Lira maju, suaranya tenang namun tegas. "Kami tidak meminta Anda untuk memercayai kata-kata saja, Tuan Rokan. Namun, jika Anda mengizinkan pertemuan ini terjadi, kami percaya itu akan menjadi awal dari sesuatu yang lebih baik. Kami tidak mengharapkan keputusan instan, hanya kesempatan untuk membuktikan maksud baik kami."
Rokan memperhatikan Lira dengan tajam, lalu mengangguk kecil, seolah terkesan dengan keberaniannya. "Baiklah," katanya akhirnya. "Aku akan membaca surat ini dan mempertimbangkannya. Tapi ingat, jika ini jebakan, Lumoria akan membayar mahal untuk itu."
Theros, yang diam sejak awal, akhirnya angkat bicara. "Kami memahami risiko ini, dan kami bersedia membuktikan bahwa kami datang dengan niat baik. Apa pun keputusannya, kami akan menerimanya dengan hormat."
Rokan menyipitkan matanya, lalu melambai kepada salah satu pengawalnya untuk mengambil surat itu. Setelah membaca sekilas, ia tersenyum tipis, penuh arti. "Kalian boleh pergi untuk saat ini. Aku akan memanggil kalian kembali setelah aku membuat keputusan. Kalian akan ditempatkan di sebuah pondok untuk beristirahat."
Kael, Lira, dan Theros memberi hormat sebelum mundur perlahan, merasa lega bahwa tahap pertama dari misi mereka telah selesai. Mereka tahu, keputusan Rokan bisa menjadi kunci untuk menjaga perdamaian atau memulai perang besar.
Kael, Lira, dan Theros menghela napas lega saat keluar dari aula besar, namun rasa tegang tidak sepenuhnya hilang. Tatapan sinis para penghuni ras Beast, yang mengelilingi mereka di sepanjang jalan menuju pondok, terasa seperti pisau yang menusuk perlahan. Beberapa prajurit Beast bahkan berbisik pelan, tapi cukup keras untuk didengar, mengomentari kelemahan manusia dan menertawakan mereka.
“Jangan hiraukan,” bisik Theros sambil berjalan di belakang Kael. “Mereka hanya mencoba membuat kita kehilangan fokus.”
Kael mengangguk, meskipun rahangnya mengeras. Lira, yang biasanya lebih tenang, juga terlihat gelisah, namun dia tetap menjaga ekspresi anggun dan tidak menunjukkan kelemahan.
Sesampainya di pondok yang disediakan, Kael membuka pintu dengan sedikit ragu. Tempat itu kecil, dengan hanya beberapa tempat tidur kasar dan meja kayu tua di sudut ruangan. Tidak ada jendela yang layak, hanya lubang kecil yang memungkinkan sedikit cahaya masuk. Aroma lembap bercampur dengan bau kayu lapuk menyambut mereka.
“Setidaknya kita punya atap,” kata Lira, mencoba memecahkan suasana.
“Mungkin ini ujiannya,” tambah Theros, meletakkan barang-barangnya di salah satu sudut. “Mereka ingin melihat apakah kita bisa bertahan dengan situasi ini.”
Sementara itu, di aula besar, Rokan mengirim utusan ke wilayah Firlinione, meminta Aelaris untuk bertemu dengannya dalam waktu dekat. Surat dari Lumoria yang dibawa Kael telah membuka diskusi baru, dan meskipun Rokan masih ragu, ia tahu pentingnya melibatkan Firlinione dalam keputusan ini.
Hari demi hari berlalu. Kael dan dua ajudan lainnya, bersama para prajurit, beristirahat sebisa mungkin. Mereka menggunakan waktu luang untuk menyusun strategi, mengatur ulang dokumen, dan memastikan mereka siap menghadapi diskusi berikutnya.
Meskipun kondisi pondok tidak memadai, bantuan High Druid selama perjalanan sebelumnya terbukti sangat berharga. Mereka telah memberikan batu kristal yang tidak hanya memandu jalan di hutan tetapi juga melindungi mereka dari serangan yang tidak terduga.
“Setidaknya kita tidak perlu berurusan dengan binatang buas di malam hari,” ujar Theros, sambil memutar salah satu batu kristal di tangannya.
Kael mengangguk, mengingat peran besar yang dimainkan High Druid sejauh ini. Namun, ia juga menyadari bahwa misi ini belum selesai. Masih ada tantangan besar yang menunggu mereka, terutama ketika harus menghadapi Firlinione—ras yang dikenal dengan kecerdasan taktis dan kekuatan sihir yang sangat berbahaya.
“Ini baru awal,” gumam Kael sambil menatap api unggun kecil di sudut pondok. “Perjalanan kita masih panjang.”
Di wilayah Firlinione, suasana semakin tegang ketika para utusan dari ras Beast tiba membawa pesan dari Rokan. Pemimpin Firlinione, Aelaris, membaca surat tersebut dengan seksama. Isi surat itu meminta agar kedua ras segera berdiskusi bersama mengenai ancaman Lumoria dan keberadaan Zen. Aelaris setuju untuk bertemu dengan Rokan secara langsung, dan persiapan segera dilakukan.
Sementara itu, di wilayah Beast, para utusan Lumoria, termasuk Kael, Lira, dan Theros, masih bertahan di tengah lingkungan yang penuh ketegangan. Penduduk ras Beast terus memberikan tatapan dingin dan beberapa bahkan melakukan penghinaan secara verbal. Meski demikian, para ajudan tetap menjaga sikap profesional dan tidak membalas provokasi tersebut.
Ketegangan mencapai puncaknya ketika beberapa penduduk Beast mencoba menguji kesabaran prajurit Lumoria dengan membuat keributan kecil di sekitar penginapan mereka. Namun, para prajurit Lumoria tetap berdisiplin tinggi, menunjukkan bahwa mereka tidak datang untuk mencari konflik, melainkan untuk membawa pesan perdamaian. Sikap ini sedikit demi sedikit mulai menarik perhatian beberapa penduduk Beast yang diam-diam mengagumi ketenangan dan keberanian mereka.
Di sisi lain, perjalanan Aelaris ke wilayah Beast mulai dilakukan. Dengan pengawalan ketat dan menggunakan kereta kuda berhias lambang Firlinione, ia membawa rombongan kecil menuju tempat pertemuan yang telah ditentukan. Semua pihak kini menunggu hasil dari pertemuan tersebut yang akan menentukan nasib Lumoria di tengah ancaman peperangan ini.
Dua hari berlalu sejak perjalanan dimulai, dan akhirnya rombongan dari Firlinione tiba di wilayah ras Beast. Kedatangan mereka disambut dengan suasana formal namun tetap terasa tegang. Aelaris, pemimpin Firlinione, melangkah dengan percaya diri menuju aula besar di mana Rokan, pemimpin ras Beast, sudah menunggu.
Di sisi lain, Kael, Lira, dan Theros bersama para prajurit Lumoria merasa gelisah. Meskipun mereka menunjukkan ketenangan di permukaan, pikiran mereka dipenuhi dengan kekhawatiran akan hasil dari perundingan ini. Apakah langkah diplomasi yang dilakukan Zen akan membawa kedamaian, atau malah memicu perang yang tak terelakkan?
Di dalam aula, diskusi berlangsung dengan intens. Aelaris dan Rokan membahas surat dari Zen dan menganalisis niat Lumoria di bawah pemerintahan Zen. Ada argumen yang tajam, nada bicara yang meninggi, namun juga momen pertimbangan mendalam. Keduanya menyadari bahwa keputusan mereka akan membawa dampak besar bagi kedua ras, juga bagi keseimbangan dunia.
Sementara itu, di luar aula, para ajudan Lumoria menunggu dengan penuh kegelisahan. Ketika pintu aula akhirnya terbuka, seorang utusan dari Firlinione mendekati mereka dan menyampaikan pesan singkat, “Kalian diundang untuk mendengar keputusan bersama.”
Kael meneguk napas dalam-dalam sebelum mengangguk. Bersama Lira, Theros, dan prajurit lainnya, ia bergegas menuju aula. Pintu besar terbuka lebar, dan pandangan mereka tertuju pada Aelaris dan Rokan yang berdiri berdampingan di tengah ruangan. Suasana hening ketika mereka melangkah masuk, menunggu dengan saksama untuk mendengar hasil dari perundingan yang akan menentukan nasib Lumoria.
Ketika semua telah berkumpul di aula besar, suasana menjadi tegang. Kael, Lira, dan Theros berdiri di barisan depan bersama para prajurit Lumoria. Mereka menatap lurus ke arah Aelaris dan Rokan, yang berdiri dengan aura otoritas yang tak terbantahkan.
Rokan mengambil langkah maju, suaranya menggema di aula, “Setelah mempertimbangkan surat ini, kami, pemimpin ras Beast dan Firlinione, sepakat untuk menolak permintaan perdamaian dari Lumoria.”
Kata-kata itu membuat semua yang hadir terdiam. Kael mengepalkan tinjunya, berusaha menahan emosi. Namun, ia tak bisa membiarkan hal ini berlalu begitu saja. Dengan penuh rasa ingin tahu dan ketegasan, ia bertanya, “Mengapa kalian menolak? Apa alasan kalian untuk tidak memberi kesempatan kepada Raja Zen?”
Aelaris menatap Kael dengan mata dingin, suaranya tajam seperti bilah pedang. “Zen adalah manusia yang tidak kami kenal. Ia mungkin telah menyelamatkan Lumoria, tetapi bagi kami, ia adalah ancaman. Manusia memiliki sejarah panjang dalam menghancurkan, bukan melestarikan. Kami tidak akan menyerahkan nasib dunia ini pada entitas yang tidak bisa dipercaya.”
Rokan menambahkan, suaranya penuh kemarahan, “Zen mungkin tampak seperti pahlawan bagi kalian, tetapi kami melihat lebih dari itu. Ia memiliki potensi untuk menjadi penghancur, sama seperti cerita nenek moyang kami tentang kekuatan manusia yang tak terkendali. Kami tidak akan membiarkan sejarah kelam terulang!”
Kael menundukkan kepalanya, menyerap kata-kata mereka. Di sisi lain, Lira dan Theros saling bertukar pandang dengan cemas. Situasi ini telah melampaui sekadar diplomasi—ini adalah deklarasi perang.
Rokan melanjutkan dengan nada tegas, “Peperangan tidak dapat dihindari. Jika Lumoria bersikeras, maka kami akan menunjukkan kekuatan kami.”
Kael tahu bahwa ini adalah kabar buruk yang harus disampaikan kepada Zen dan Selvina. Namun, di dalam dirinya, ia juga tahu bahwa Lumoria tidak akan menyerah begitu saja. Ia menarik napas dalam-dalam, membungkuk sopan kepada kedua pemimpin ras, lalu berkata dengan tegas, “Jika itu keputusan kalian, maka kami akan menyampaikan ini kepada Raja kami. Namun, ketahuilah, Lumoria tidak pernah memulai konflik, tetapi kami akan selalu siap mengakhirinya.”
Dengan itu, para ajudan dan prajurit Lumoria meninggalkan aula, membawa berita suram ini kembali ke Zen dan Selvina. Di luar, langit mendung, seolah-olah dunia pun merasakan beratnya keputusan ini.
Setelah mendengar keputusan yang mengecewakan, suasana di aula semakin mencekam. Rokan dan Aelaris, dengan wajah tanpa ekspresi, langsung memerintahkan para penjaga untuk mengantar rombongan dari Lumoria keluar dari wilayah mereka.
“Kalian tidak lagi diterima di sini,” ujar Aelaris dingin, tatapannya seperti pisau yang menusuk. “Bawalah pesan ini kepada Raja kalian. Dan bersiaplah.”
Para ajudan dan prajurit Lumoria tidak diberi waktu untuk merespons lebih jauh. Penjaga ras Beast dengan cepat mendekat, mengarahkan mereka keluar dari aula besar. Suasana penuh ketegangan, tatapan sinis dari penduduk ras Beast mengiringi langkah mereka saat meninggalkan wilayah itu.
Kael, Lira, dan Theros saling bertukar pandang, mengetahui bahwa misi ini telah berakhir dengan kegagalan. Namun, mereka tidak punya waktu untuk larut dalam kekecewaan. Dengan tegas, Kael memberi isyarat kepada rombongan untuk bergerak cepat menuju tempat di mana kuda-kuda mereka ditambatkan.
Mereka segera bersiap untuk perjalanan pulang yang panjang. Kael, yang memimpin rombongan, berkata dengan nada tegas, “Kita harus kembali ke Lumoria secepat mungkin. Raja Zen harus mengetahui ini tanpa penundaan.”
Perjalanan kembali dimulai di tengah atmosfer yang berat. Para ajudan dan prajurit tahu bahwa kabar buruk yang mereka bawa akan menjadi pukulan bagi Lumoria. Namun, di balik kekhawatiran mereka, tekad untuk melindungi tanah air mereka semakin kuat.
Di kejauhan, langit mulai berubah mendung. Seolah-olah alam pun turut menyampaikan firasat buruk tentang konflik besar yang akan datang.
Di kastil Lumoria, Zen berdiri di balkon ruang kerjanya, tatapannya tertuju jauh ke cakrawala. Hembusan angin pagi yang biasanya menenangkan kini terasa dingin dan penuh kecemasan. Selvina, yang berada di sisinya, melihat perubahan ekspresi Zen dan memegang lengannya dengan lembut.
"Kau tampak gelisah," Selvina berbisik, suaranya penuh perhatian.
Zen menarik napas dalam, matanya masih terpaku pada horizon. "Aku memiliki firasat buruk tentang perundingan itu," jawabnya pelan. "Ras Beast dan Firlinione tidak pernah benar-benar percaya kepada kita, Selvina. Aku takut... mereka tidak akan menerima niat baik kita."
Selvina menggenggam tangannya lebih erat. "Tapi mereka harus tahu bahwa kita tidak ingin perang. Kau sudah melakukan yang terbaik dengan mengirimkan para ajudan. Kita harus percaya pada mereka," katanya mencoba menenangkan Zen, meski dalam hatinya ia juga merasa cemas.
Zen mengangguk, tetapi kegelisahan tidak hilang dari wajahnya. "Aku tahu. Tetapi jika mereka menolak, aku khawatir ini akan menjadi awal dari sesuatu yang jauh lebih besar. Kita harus siap menghadapi kemungkinan terburuk."
Beberapa jam berlalu, dan suasana di kastil semakin tegang. Para prajurit mulai mengencangkan pengawasan, sementara Eryon sibuk memeriksa ulang pertahanan dan strategi jika perang benar-benar pecah.
Selvina, yang biasanya selalu tenang, terlihat memimpin para pekerja kastil dengan lebih tegas. "Kita harus memastikan semua siap, bahkan untuk skenario terburuk. Takdir Lumoria ada di tangan kita," katanya kepada para pelayan dan pengawal.
Namun, di tengah semua persiapan, harapan tetap terjaga. Zen menolak menyerah sepenuhnya pada rasa putus asa, berharap bahwa para ajudannya bisa membawa kabar baik—meskipun firasatnya mengatakan sebaliknya. "Kita hanya bisa menunggu," pikir Zen, kembali menatap langit yang semakin mendung.
Bersambung!