Rania, seorang barista pecicilan dengan ambisi membuka kafe sendiri, bertemu dengan Bintang, seorang penulis sinis yang selalu nongkrong di kafenya untuk “mencari inspirasi.” Awalnya, mereka sering cekcok karena selera kopi yang beda tipis dengan perang dingin. Tapi, di balik candaan dan sarkasme, perlahan muncul benih-benih perasaan yang tak terduga. Dengan bumbu humor sehari-hari dan obrolan absurd, kisah mereka berkembang menjadi petualangan cinta yang manis dan kocak.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Zylan Rahrezi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Mengukir Jejak Baru
Bab 15: Mengukir Jejak Baru
Kemenangan dalam kompetisi kafe terbaik membawa perubahan besar bagi Rania dan Bintang. Kafe mereka yang dulunya hanya tempat sederhana untuk menikmati secangkir kopi, kini menjadi ikon di kota. Pelanggan dari berbagai tempat berdatangan, dan setiap sudut kafe dipenuhi dengan cerita dan tawa. Namun, meskipun luarannya tampak sempurna, Rania dan Bintang tahu bahwa perjalanan mereka belum selesai.
Suatu sore, saat kafe hampir tutup, Rania dan Bintang duduk bersama di meja yang sudah menjadi tempat favorit mereka untuk merencanakan masa depan. Di luar, hujan gerimis turun, memberikan suasana yang semakin tenang.
“Bintang, kita berhasil sampai sejauh ini. Tapi gue mulai merasa kafe kita butuh langkah lebih jauh lagi,” ujar Rania, menatap cangkir kopinya dengan penuh pemikiran.
Bintang menatapnya dengan serius. “Apa yang lo maksud?”
“Kita sudah menginspirasi banyak orang, tapi gue merasa kita bisa melakukan lebih. Kita bisa mengembangkan kafe ini menjadi sebuah gerakan yang lebih besar, bukan hanya untuk kami, tapi untuk orang lain juga.”
“Maksud lo, kita bikin kafe ini berkembang ke tempat lain?” tanya Bintang, matanya menyiratkan kegembiraan.
Rania mengangguk. “Bukan cuma itu. Gue pikir kita bisa membuka lebih banyak cabang, bukan sekadar untuk bisnis, tapi sebagai ruang bagi orang-orang untuk berkarya. Gue ingin kita menciptakan lebih banyak komunitas, lebih banyak peluang.”
Bintang terdiam, sejenak berpikir tentang ide besar ini. Meskipun rasa takut akan tantangan baru menghinggapinya, ia tahu bahwa Rania tidak akan pernah berhenti bermimpi lebih besar.
“Gue rasa lo benar. Gue setuju, kita harus membuat langkah besar. Ini bukan tentang keuntungan atau pertumbuhan bisnis semata, tapi tentang apa yang bisa kita berikan untuk dunia ini.”
Rania tersenyum. “Mungkin kita mulai dengan program yang lebih luas. Misalnya, mengadakan kursus bagi anak-anak muda yang ingin belajar tentang seni meracik kopi atau bahkan mengajarkan mereka keterampilan berbisnis. Dengan begitu, kita nggak hanya menjual kopi, tapi juga memberikan peluang untuk mereka yang ingin berkembang.”
Bintang mengangguk. “Dan kita bisa mulai memperkenalkan konsep kafe kita ke lebih banyak tempat, nggak cuma di kota ini, tapi di daerah-daerah lain juga. Mungkin kita bisa bekerja sama dengan komunitas lokal di tiap daerah untuk mengadakan event atau kelas-kelas yang akan membuat orang merasa terlibat.”
Mereka berdua terdiam, membayangkan semua kemungkinan yang ada. Saat itu juga, rasa takut yang sempat menghantui mereka mulai mereda, digantikan oleh semangat baru untuk terus maju.
---
Hari itu, beberapa bulan kemudian, kafe mereka akhirnya membuka cabang pertama di kota sebelah. Kafe tersebut membawa konsep yang sama: tidak hanya menyajikan kopi, tapi juga memberikan ruang bagi kreativitas dan belajar. Pelatihan tentang seni kopi, pelatihan kewirausahaan, dan berbagai kegiatan sosial lainnya diadakan di cabang baru ini. Komunitas lokal menyambut baik langkah ini, dan orang-orang yang datang ke kafe merasa bahwa mereka bukan hanya sekadar pelanggan, tetapi bagian dari suatu gerakan yang lebih besar.
Namun, seperti halnya dengan setiap pertumbuhan, tantangan baru muncul. Mereka harus mengelola dua cabang dengan berbagai aspek yang harus dipantau—operasional, sumber daya manusia, dan tentu saja menjaga kualitas yang mereka perjuangkan selama ini.
“Bintang, kadang gue merasa kita mulai kehilangan fokus. Kita terlalu banyak hal yang dikerjakan sekaligus,” ujar Rania, duduk di meja kantornya di cabang baru.
Bintang menatap Rania dengan penuh perhatian. “Lo merasa begitu? Tapi gue yakin kita bisa tetap jaga kualitas. Kita cuma perlu memastikan kita punya tim yang solid.”
Rania menghela napas panjang. “Gue sadar, ini bukan perjalanan mudah. Gue nggak mau semua yang kita bangun jadi terganggu. Kita harus punya visi yang jelas dan tim yang siap untuk terus mendukung.”
Bintang tersenyum dan meletakkan tangannya di bahu Rania. “Kita udah lewati banyak hal bersama. Lo bukan sendirian. Kita tetap tim, dan gue yakin kita bisa atasi ini.”
Dengan semangat yang tak pernah padam, mereka berdua kembali bekerja, mencari solusi dan membentuk strategi untuk mengatasi tantangan baru. Mereka mengadakan pelatihan intensif untuk para manajer dan staf di setiap cabang untuk memastikan standar pelayanan dan kualitas kopi tetap terjaga. Bintang juga mulai lebih sering turun ke lapangan, membantu memantau operasional, sementara Rania fokus pada pengembangan program sosial dan kursus-kursus yang semakin diminati.
---
Suatu hari, saat sedang merencanakan acara peluncuran program baru, Rania menerima sebuah pesan tak terduga dari seseorang yang telah lama hilang dari hidupnya: Ayahnya.
Rania terkejut melihat nama ayahnya muncul di layar ponselnya. Ia ragu sejenak, tapi akhirnya memutuskan untuk membuka pesan tersebut.
“Rania, aku minta maaf. Aku tahu aku telah meninggalkanmu begitu lama. Aku ingin bertemu denganmu dan berbicara tentang banyak hal. Aku berharap kau masih mau memberi kesempatan.”
Rania merasa bingung dan terombang-ambing antara perasaan marah dan harapan. Sudah bertahun-tahun sejak terakhir kali ia mendengar kabar dari ayahnya, dan kini ia dihadapkan pada keputusan besar—apakah ia siap untuk membuka kembali lembaran yang lama terkubur?
Dengan hati yang berat, Rania berbicara dengan Bintang. “Bintang, gue nggak tahu harus gimana. Ayah gue menghubungi gue setelah bertahun-tahun. Gue masih merasa ragu untuk bertemu.”
Bintang menatap Rania dengan bijak. “Rania, ini keputusan lo. Tapi lo harus tahu, nggak ada yang lebih berat dari membawa beban masa lalu sendiri. Kalau lo merasa siap untuk membuka halaman itu, mungkin ini saatnya.”
Rania mengangguk pelan, merasa sedikit lebih tenang dengan nasihat Bintang. Namun, ia juga tahu bahwa pertemuan dengan ayahnya bisa membawa banyak hal yang tak terduga.
---
Beberapa minggu kemudian, Rania memutuskan untuk bertemu dengan ayahnya. Mereka bertemu di sebuah kafe kecil yang sederhana, jauh dari hiruk-pikuk dunia luar. Rania duduk dengan canggung, menunggu ayahnya datang.
Saat ayahnya akhirnya muncul, suasana menjadi hening sejenak. Rania tak tahu harus berkata apa. Tapi akhirnya, ayahnya membuka percakapan.
“Rania, aku tahu aku tak pantas meminta maaf. Aku jauh dari menjadi ayah yang baik, dan aku menyesal atas semua yang telah terjadi. Tapi aku ingin kau tahu, aku bangga dengan apa yang kau capai sekarang. Kau sudah menjadi orang yang luar biasa.”
Air mata mulai mengalir di pipi Rania. Ia tidak tahu apakah ini saat yang tepat untuk memaafkan atau hanya menerima kenyataan yang ada. Tapi satu hal yang pasti, ia merasa ada kedamaian yang mulai mengisi ruang hatinya.
“Aku juga bangga, Ayah,” jawab Rania, suaranya bergetar. “Tapi, aku juga harus belajar untuk menerima kenyataan dan terus melangkah.”
---
Keputusan itu membuka lembaran baru dalam hidup Rania. Ia kembali ke kafe dengan semangat baru, merasa lebih lega setelah berbicara dengan ayahnya. Dengan Bintang di sisi, mereka siap menghadapi tantangan berikutnya. Mereka tahu bahwa setiap langkah yang mereka ambil akan meninggalkan jejak, dan mereka bertekad untuk melangkah lebih jauh, bersama-sama.
To be continued...