"Assalamualaikum, ini pak Ahmad. Bapak, anak anda sedang tidak baik-baik saja. Bila anda mau bertemu langsung, dengan anak anda... Serahkan kepada saya 1M secepatnya, jangan banyak alasan. Ketemu di depan gedung Serbaguna"
"Apa! Apa maksud mu! Siapa kau!! "
....
Ahmad Friko, pengusaha sukses setelah ia mengadopsi anak panti asuhan, yang diberi nama Rara, pak Ahmad bekerja dengan serius sampai terkadang lupa dengan kewajibannya untuk mengurus anak. Hingga saat ia bangkrut, ia mendapat pesan dari seseorang bahwa anaknya sedang di sekap, ditawan dan dimintai uang satu milliar, yang jumlahnya tak biasa. Apa yang akan dilakukan Ahmad setelah ini?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Bu Alisa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 15-Putriku, ditawan preman satu milliar
Selamat membaca kawan-kawan ☺☺
Dep- dirinya membuka mata, saat itu pula suasana sangat gelap bahkan demi melihat sepinyit cahaya yang tak mungkin datang, wajah remaja itu langsung berkeringat sendiri, dirinya bisa berpikir, pikirannya mulai macam-macam, tak memiliki pendapat yang jelas.
Tubuhnya seakan terpaku di tempat, dibuatnya seperti patung Menokreo yang tak bisa digerakkan. Hati remaja itu berdebar, karena dirinya tak bisa ke mana-mana, dan terus seperti itu entah sampai kapan.
"Hiks-Hiks... "
Tiba-tiba saja dia mendengar suara anak kecil menangis, "Hiks-Hiks-" suara itu di ulang kedua kalinya, remaja itu menyipitkan pandangan ke arah kegelapan dirinya tak ingin memejamkan mata karena setiap suara tangis anak kecil mengalun terus, seperti sudah dalam kaset di gendang telinganya.
'Siapa dia? Siapa yang menangis?? '
Pikir perempuan itu, mencoba untuk melepaskan diri. Saat ia memejamkan mata, dirinya entah mengapa tiba-tiba berada di kelas. Dan kelas itu bukan miliknya, ini kelas anak SD yang seharusnya ia tak di sini, Remaja itu melihat sekitar, cat di dinding yang banyak lukisan anak-anak, dan dirinya sendiri duduk di meja yang seukuran dengan tubuhnya padahal remaja itu ingat tubuhnya tinggi.
Brak!
Eve menoleh kaget, remaja itu melihat ada beberapa anak kecil dengan wajah tak suka menghampirinya. Suara yang tak pernah terpikirkan oleh Eve keluar begitu saja melalui mulut, "Ada apa..."
"Heh! Bau! Jelek! "
"Bisa gak sih gak usah deket-deket sama Kiya? "
"Kiya itu punya Sindy! "
"Ngerti gak?! Kamu itu gak pantas dekat sama Kiya! "
Brak! Meja digebrak lagi oleh gadis kecil yang menyebut dirinya dengan nama Sindy. Sebenarnya Eve akan menggeleng, segera ingin keluar dari situasi ini, tapi entah mengapa mulutnya tak bisa dikontrol. "Kenapa sih maksa sekali kamu Sin? Memang Kiya nya mau main sama kamu? "
Tanya gadis itu, yang sering dipanggil bau dan jelek. Mereka semua di sana, Teman-teman Sindy ikut tak Terima dan menjambak rambut Eve sampai dibuatnya merintih kesakitan. Dalam hati Eve berkata, 'Aduh sakit! Sakit! Lepaskan! Lepaskan bocah nakal!! ' serunya tapi tak bisa dikeluarkan dengan kata-kata.
Sindy yang kepalang marah, mendorong tubuh Eve sampai jatuh terjungkal ke belakang, kursi yang dia duduki juga ikut jatuh alhasil kepalanya terbentur lantai sangat keras. Eve mengelus kepalanya sendiri, "Bau! Jangan banyak bicara lagi! "
"Kamu itu cuma anak pungut!! "
"Kamu gak punya orangtua! "
"Coba kamu hidup kayak Sindy, aku punya dua orangtua yang lengkap. Daripada kamu, mana orangtua mu Ra? "
"Selalu kan kamu cari perhatian ke Kiya soalnya ayahmu gak pernah pulang? "
Eve tak mengerti apa yang anak-anak bicarakan, Tiba-tiba pandangannya ditutup oleh tangannya sendiri dan ada suara cegukan dan tangisan yang dirinya buat, padahal Eve merasa biasa-biasa saja. 'Apa yang ku lakukan?? Kenapa aku menangis!! Apa yang mereka lakukan... Sebenarnya ada apa ini... ' bingung Eve tak bisa mencerna sama sekali, pikirannya kalut dan teredam air laut yang seakan gelombangnya mengombang-ambing dirinya.
Sindy dan gengnya menampar dan membuang sampah ke Rara, mereka sudah terbiasa menindas teman mereka itu, bahkan tak berhenti dari situ juga Sindy dengan liciknya mengambil gunting dan akan memotong rambut gadis itu, mata lancip Rara melotot, Eve ikut panik.
"Berhenti!! "
Terdengar ada suara anak yang menghentikan aksi gila Sindy, gadis pintar bahasa Inggris dan sok alim itu menoleh ke samping, wajahnya langsung ketakutan melihat Kiya tetangga nya sudah ada di kelas.,
"APA YANG KAMU LAKUKAN!! PERGI! PERGI!! "
Eve mengerjap mata lagi, akhirnya ada anak yang mau menyelamatkan dirinya, walau dia sendiri merasa janggal akan suasana aneh ini yang seperti dia memasuki tubuh anak kecil. Lalu waktu berganti, tempat dengan cepat mulai teralih bagai ia memasuki ruang mesin waktu. Kini Eve tak mengerti dimana dirinya, sekarang dia terbujur di keramik putih dan suasana rumah sangat berantakan.
"Ini bukan rumahku... " ucap Eve akhirnya remaja itu bisa berbicara normal, perempuan itu sudah takut-takut kalau dia tak bisa bicara tapi akhirnya lega juga. Remaja itu berdiri, demi melihat di manakah ia sekarang, Eve mengerjap mata tak henti dengan rumah yang sangat besar ini mungkin ada dua lantai.
"Ini rumahnya... "
"MAU KEMANA KAU RARA!!! "
"Huh? " gumam Eve kaget, remaja itu berteriak saat ada seorang pria tak ia kenal mendatangi dirinya membawa sabuk di genggaman pria itu, wajah orang itu juga sangat mengerikan seperti Eve melihat sosok iblis. Bahkan lebih mengerikan dari kakaknya, Eve mencoba berlari tapi entah kenapa setiap ia ingin melangkahkan kakinya lebih lebar ada rasa menjarum di telapak kaki kirinya, remaja itu terduduk tak tahan.
Cplash!
"MATI!! MATI!!! MATI!! "
"GARA-GARA ELO!!! GARA-GARA ELO RA!!! BARANG GUE DICURI!! "
Eve menggeleng cepat, ia tak tahu apa-apa sungguh. Rasanya sangat sakit, sakit sekali dirinya tak bisa pergi ke mana-mana, ini jauh lebih membekas daripada pukulan kakaknya yang selalu melampiaskan emosinya setiap malam pada Eve. Teriakan, dan sentakan seseorang yang tak Eve kenal selalu membuat remaja itu tak bisa berkata-kata.
"Tidak... Tidak.. Jangan.. Maafkan aku... "
Ucap Eve tapi teriakannya yang seharusnya di dengar pria itu tak di dengar sama sekali. Orang tak ia kenal namanya berjongkok saat Eve melindungi kepalanya, gadis itu menoleh kaku melihat pria itu malah tertawa psikopat seakan puas akan perbuatannya.
"Hahahahah!!! "
"Mati... Itu masih belum bikin elo mati!! "
"Mati!!! "
Eve melotot lebar saat kini tangan pria itu mendarat cepat ke arah lehernya, sama persis seperti cekikan sang kakak yang berbeda tapi mereka memiliki bayangan sama, dan kali ini perempuan itu tak memiliki nafas dalam hati ia mengira apakah mimpi senyata ini atau dirinya memang benar-benar memasuki tubuh anak kecil, dan mendapatkan kejadian ini. Jelas ia tak tahu, tapi cekikan pria yang dua kali lebih besar di depannya berhasil mematahkan semangat Eve untuk bertahan, perlahan kedua pandangan perempuan itu mulai menutup dan menutup.
Memasrahkan semua hidupnya dalam sedetik mata. "Aku juga berkata seperti itu pada ayahku, tapi dia tidak mau melepaskanku"
"Ayah benar-benar jahat bukan? "
"Huh~Huh~huh~huh... "
Perlahan kepala Eve tertoleh ke samping, tubuhnya ia raba sendiri dan melihat ke depan ada sebuah cermin berbentuk bulat terpajang di depannya saat dirinya bangun, dan saat ia bangun sekilas dirinya melihat seorang anak kecil memakai gaun pink, lalu merefleksikan tubuhnya sendiri yang masih memakai seragam.
"Aa! " kaget Eve, sedikit memundurkan badan. Kini penglihatannya sedikit menggelap, tapi rasanya hanya cermin ini saja yang bisa dia lihat di dalam kegelapan. "Siapa lo? "
"Apa kita kenal? " tanya Eve membenarkan rambutnya, bahkan remaja itu terus memompa jantung kencang karena mimpi-mimpi yang seolah terus membawanya ke kematian. Gadis di dalam cermin menggeleng, gadis itu nampak pucat pasi dan memiliki banyak lebam di mana-mana.
Eve menyipitkan mata, "Ku tanya lagi... Siapa dirimu, "
Gadis itu tersenyum kecil, senyumnya begitu indah di mata nya yang nampak lelah. Lalu berkata, "Aku tidak di mana-mana, tapi kakak akan tahu... "
"Kalau aku juga tetangga kakak, "
"Apa? Tetanggaku? "
"Hm.Itu yang bisa kuberitahu, " ucap gadis itu ambigu, Eve tak tahu apa yang dimaksud. Tapi kini remaja itu menggedor kaca seolah ingin keluar dari mimpi jurang dalam ini. "Keluarkan gue! Keluarin gue!!! "
"Kakak juga bosan kan? "
"Tidak ada yang peduli dengan kakak? "
"... " Eve mengerjap mata sebentar, lalu tak jadi memberontak. "Bagaimana... "
"Aku tahu? " tanya gadis itu terlebih dahulu, mendahului pertanyaan Eve yang menanyai dirinya. Gadis tanpa nama yang tak Eve ketahui siapa mulai mengingat kejadian-kejadian tak mengenakkan tadi, walau sebagian ada yang Eve lupakan yang paling membekas adalah tempatnya. Kelas, rumah dan seorang pria.
"Apakah itu... "
"Hm? "
"Ya... Aku tak tahu kalau akan sesakit itu kak.. Apa kakak juga merasakan sakit yang sama? "
"Em... "
Eve sedikit berpikir, wajahnya penuh pertanyaan namun tak lepas dari rasa curiganya akan tempat ini dan mimpi nyata ini. "Apa gue benar-benar mimpi atau cuma... "
Eve mencubit pipinya, rupanya ini kenyataan. Remaja itu tak bisa membayangkan, benarkah apa yang dia lihat sekarang? Atau cuma khayalannya saja?
"Kak... Tolong aku... " seru gadis itu mendekatkan diri, mengetuk-ngetuk cermin. Gadis itu meraba cermin pelan, "Kak... Bantu aku... Keluarkan aku dari sana kumohon.. "
"Da-darimana? Apa yang kau maksud itu?!! "
"Kak.... Lepaskan aku... Kak.. "
"Aku ingin keluar, aku... Uhuk! Uhuk! "
"Hei! Hei!! "
"Kak... "
"Bantu aku kak... "
"Kalau kakak membantuku, aku berjanji akan membantu kakak... "
Remaja itu menggeleng cepat, melihat luka dan lebam yang awalnya hanya sedikit malah semakin parah bahkan gadis di depannya ini seperti di kelilingi lalat yang entah keluar darimana. Gadis itu bersandarkan pada sisi cermin yang tak bisa Eve jangkau, tangan Eve mencoba mengambil, mencoba menggapai tapi sial... Rasanya ada yang menghalangi, Eve mencoba memecahkan kaca.
.
.
.
.
.
"Hei!! Hei!!! "
"Dek... Bangun... "
"Dek? "
"Hosh~Hosh~Hosh~"
"Kenapa dek? Kok kamu tidur di tanah? "
"Kenapa gak masuk ke dalam? "
"Aduh seragam kamu jadi basah lagi, apa keluargamu tak mengizinkanmu tidur di dalam? "
"Memang benar-benar ya... "
Eve menggenggam kedua lengannya erat merasa kedinginan, dan seorang ibu-ibu yang kebetulan masuk ke dalam kolong yang lama tidak di ketahui banyak orang, untungnya remaja itu di tolong. "Ayo ikut saya aja ya dek, kerumah ibuk"
"Ah... Saya... "
"Hatchim! "
Ibu-ibu itu menawarkan payung kuning, langit juga sudah membiru gelap, di pagi hari ini seharusnya remaja itu sekolah tapi karena suatu halangan, mungkin hari ini ia tak masuk dahulu untuk sehari.
"Ayo tak apa... Kita ke rumah ibuk aja ya.. "
"Menghangatkan tubuh mu, oke? "
Eve perlahan mengangguk, tak enak bila menolak penawaran orang apalagi sekarang dia butuh tempat beristirahat. Bercak dirinya yang penuh lebam, dan bekas merah di leher yang melingkar membuat si ibu prihatin, apa jangan-jangan anak ini mendapat kekerasan di rumahnya. "Kamu jangan tinggal disini lagi ya nak, disini sudah bahaya, tak layak ditempati, untuk sementara kalau anggota keluargamu itu masih mengusirmu tidur aja di rumah ibu... "
"Tap-tapi saya merepotkan... "
"Gak dek... "
"Tenang aja, yang penting kamu harus dirawat dulu. Ibuk bakal panggilan dokter, " kata si ibu membawa keluar remaja itu dengan payung di genggamannya, melihat awan mendung di jam sepagi ini.
Dalam hati Eve menatap kosong ke arah langit, dan merasa hatinya tak lagi berdebar. Tetapi suara anak kecil itu yang meminta pertolongan padanya, apakah benar bahwa dirinya dibutuhkan sedangkan Eve sendiri perempuan lemah dan cupu?
Bersambung...