Damarius Argus Eugene (22 tahun), seorang Ilmuwan Jenius asli Roma-Italia pada tahun 2030, meledak bersama Laboratorium pribadinya, pada saat mengembangkan sebuah 'Bom Nano' yang berkekuatan dasyat untuk sebuah organisasi rahasia di sana.
Bukannya kembali pada Sang Pencipta, jiwanya malah berkelana ke masa tahun 317 sebelum masehi dan masuk ke dalam tubuh seorang prajurit Roma yang terlihat lemah dan namanya sama dengannya. Tiba-tiba dia mendapatkan sebuah sistem bernama "The Kill System", yang mana untuk mendapatkan poin agar bisa ditukarkan dengan uang nyata, dia harus....MEMBUNUH!
Bagaimanakah nasib Damarius di dalam kisah ini?
Apakah dia akan berhasil memenangkan peperangan bersama prajurit di jaman itu?
Ikuti kisahnya hanya di NT....
FYI:
Cerita ini hanyalah imajinasi Author.... Jangan dibully yak...😀✌
LIKE-KOMEN-GIFT-RATE
Jika berkenan... Dan JANGAN memberikan RATE BURUK, oke? Terima kasih...🙏🤗🌺
🌺 Aurora79 🌺
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aurora79, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
R.K.N-13 : BERSAMA KAISAR CARAUSIUS!
...----------------...
KLAP!
KLAP!
KLAP!
GWUUURHHH!
Sedangkan di luar sana, terdengar suara kepakan sayap-sayap liar dan suara badai yang bergemuruh.
Dan di dalam sebuah ruangan, lidah-lidah api kecil berpendar diantara tumpukkan kayu yang terbakar malam itu.
CRAAK!
CRAAK!
Untuk Kaisar Carausius, Damarius, dan Gildas...mereka saling duduk berhadapan di sekeliling meja.
Sementara Cullzen, si budak yang bertubuh aneh itu berbaring seperti seekor 4njing di samping perapian sambil menyentuh pelan apel-apel peraknya.
Damarius paham akan tindakan Kaisar Carausius yang mengusir pengawalnya dan memerintahkan mereka berdua untuk berkuda bersamanya, bukanlah dilandasi oleh keinginan dirinya yang berbuat sewenang-wenang.
Jauh di dalam dirinya, Damarius tahu bahwa akan ada sesuatu yang tidak pernah terjadi antara Kaisar dengan dua orang perwira yang paling junior di dalam pasukannya.
Ya....ini adalah sebuah malam yang sangat...ganjil.
Kaisar Carausius mendominasi percakapan malam itu seperti layaknya seorang pemimpin yang tangguh. Dia bercerita banyak mengenai masa lalunya.
Kaisar Carausius bukan hanya seorang KAISAR yang tumbuh dengan 'sendok emas' di dalam mulutnya.
Dia pernah menjadi seorang Nakhoda Kapal di Sungai Scaldis, Komandan Armada Romawi, Senturion di bawah Carns dalam Perang Persia, dan seorang bocah laki-laki yang dibesarkan di Laighin...sebuah daerah yang memakan waktu tiga hari perjalanan dari TARA milik para Raja.
Seakan merasa lelah dengan perbincangan masa lalunya, Kaisar Carausius bangkit dari duduknya dan berpaling pada ujung ruangan yang bertirai.
"Ah, sepertinya sudah cukup aku bercerita tentang masa laluku. Kalian berdua...kemarilah! Aku akan menunjukkan sesuatu kepada kalian!" ujar Kaisar Carausius pada Damarius dan Gildas.
KREIIIEK!
Suara kursi berderit di atas lantai ubin tersebut, Damarius dan Gildas segera berdiri di dekat bahu Kaisar Carausius yang tengah menyibakkan tirai mewah itu dan melangkah masuk bersama.
TAP!
TAP!
TAP!
Damarius mengikuti mereka paling belakang, dia menyadari bahwa ada sebuah jendela kelabu yang ditampar-tampar oleh badai....seakan-akan melam liar itu menerjang mereka sambil berteriak.
WHUUURR!
WHUUURR!
CRAAASHH!
Sejenak Damarius berdiri sambil memegangi lipatan-lipatan tirai yang tebal itu, dia tidak yakin...apakah mereka memerlukan penerangan dari ruangan belakang mereka apa tidak, untuk melihat apa yang ada di dalam sana.
Tiba-tiba Kaisar Carausius berkata...
"Biarkan tirai itu jatuh! Kamu tidak akan bisa melihatnya, jika cahaya lampu menari-nari pada kaca jendela!" ujar Kaisar Carausius.
SREEK!
Damarius langsung melepaskan tirai itu, dan membiarkan kegelapan menaungi ruangan itu.
CLAAAP!
Ketika tirai itu menutup dan cahaya lampu menghilang, dunia di luar jendela langsung menyembul keluar dari kegelapan. Dengan cepat berubah menjadi terang oleh cahaya bulan.
Mereka berdiri di depan sebuah jendela besar yang menjorok, menggembung keluar seperti sebuah lengkungan busur yang ditarik... Damarius belum pernah melihat hal seperti ini seumur hidupnya dulu.
Jendela itu merupakan sebuah menara pengawas dengan sarang-sarang burung Elang yang bergayut di pinggir tebing.
Jauh ke arah timur, pandangan Damarius menyusuri pantai...terlihatlah kelopak merah api yang bergantung di atas atap sebuah tanjung gelap.
"Ini adalah sebuah pos pengintaian milikku..." ujar Kaisar Carausius.
"Sebuah tempat yang bagus untuk mengawasi kedatangan dan kepergian kapal-kapal milikku. Dengan cahaya Dubris, Limanis, dan Rutupiae yang menuntun kedatangan dan kepergian mereka dengan aman!" tambah Kaisar Carausius.
Lalu Kaisar Carausius mengikuti arah pandangan Damarius.
"Itu adalah Mercusuar Dubris yang berada di atas tanjung. Sedangkan Cahaya Limanis bisa dilihat dari bukit di belakang rumah ini. Sekarang, pandanglah lautan...di sana...di pinggir dunia....arah tenggara!" ujar Kaisar Carausius.
Damarius memandang kesana, dan seketika badai salju meninggalkan lautan. Pandangannya menjadi jelas dan dia melihat, nun jauh di sana....sebuah kilau cahaya lain di atas garis langit.
"Itu adalah Gesoriacum..." ujar Kaisar Carausius.
Mereka terdiam sejenak...
Mengingat bahwa pada musim dingin yang lalu, ternyata Gesoriacum ini berada di wilayah lelaki yang berdiri di samping mereka.
TRING!
TRING!
TRING!
Dalam keheningan mereka, terdengar alunan melodi dari ruangan belakang mereka, alunan denting suara Ranting Perak milik Cullzen...merdu, lembut, dan terdengar sedikit...mengejek!
Lalu Gildas berkata dengan cepat, seakan-akan dia menjawab ejekan alunan melodi tersebut.
"Mungkin kita akan lebih baik tanpa Gesoriacum. Pos terpencil selalu menjadi semacam sebuah...beban!" ujar Gildas.
"HAHAHAHAHAHA..."
Kaisar Carausius tertawa kencang dengan suaranya yang parau.
"Hanya manusia-manusia pemberani yang berupaya menghibur Kaisar-nya atas kekalahan di masa lalu!" ujar Kaisar Carausius.
"Saya tidak bermaksud untuk menghibur... Saya mengucapkan apa yang saya yakini akan kebenarannya!" jawab Gildas dengan nada datar.
"Oh, benarkah begitu? Dan keyakinanmu...benar!" ujar Kaisar Carausius.
Damarius bisa mendengar samar senyum lebar di bibir terkatup milik Kaisar Carausius, saat dia berbicara kembali.
"Kebenaran-lah yang berbicara, di saat seseorang berupaya untuk memperkuat sebuah wilayah. Akan tetapi, suatu yang benar-benar berbeda itu adalah saat orang itu berbicara, ketika orang itu hendak memperkuat dan memperbesar cengkeramannya sendiri atas Kekaisaran!" ujar Kaisar Carausius.
Lalu Kaisar Carausius terdiam, wajahnya berpaling ke arah kilau cahaya itu...cahaya yang sudah meredup, ketika badai salju kembali menerjang lautan.
Kaisar Carausius kembali berbicara dengan nada muram, lebih ditujukan kepada dirinya sendiri.
"Ya, apapun itu...entah salah satu atau...keduanya. Rahasia sejatinya adalah pada kekuatan Armada Laut, itulah yang tidak pernah dipahami oleh Roma!" ujar Kaisar Carausius.
"Rahasianya ada pada Armada-armada besar, dengan para pelaut yang lebih baik! Kita harus mempunyai Legiun-legiun, tapi yang terpenting disini adalah...kekuatan laut! Karena posisi kita dikelilingi oleh lautan!" tambah Kaisar Carausius menjelaskan.
"Kita sudah mempunyai sebagian kekuatan laut itu, Kaisar! Dan Maximus mengetahuinya dengan cara yang buruk!" jawab Gildas.
Gildas menyandarkan bahunya pada kerangka jendela dan memandang ke arah bawah.
"Ya.... Dan Armada-armada Serigala Laut yang mempunyai layar hitam itu juga sudah mengetahuinya..." ujar Gildas.
"Tapi Serigala-Serigala itu berkelompok..." ujar Kaisar Carausius.
"Constantius muda akan mengalami kesulitan, jika membawa pasukan-pasukannya dari Perbatasan Jerman pada musim semi ini untuk mengusirku dari Gesoriacum..." tambah Kaisar Carausius.
"Selalu saja....dimana-mana.... Serigala-Serigala itu bergerombol di perbatasan-perbatasan....dan menunggu. Kita hanya perlu mengalihkan pandangan sejenak, maka mereka akan masuk untuk menjarah habis-habisan! Roma sedang mengalami kejatuhan, Anak-Anakku!" ujar Kaisar Carausius pelan.
Damarius yang sedikit paham akan sejarah Roma di masa lampau itu terdiam, lalu segera melirik ke arah sepupunya, Gildas. Akan tetapi, Gildas juga terdiam tanpa pergerakan. Seakan-akan dia sudah mengetahui, apa yang selanjutnya akan di ucapkan oleh Kaisar Carausius itu.
...****************...