Lintang Ayu Sasmita merasa terguncang saat dokter mengatakan bahwa kandungannya kering dan akan sulit memiliki anak. Kejadian sepuluh tahun silam kembali menghantui, menghukum dan menghakimi. Sampai hati retak, hancur tak berbentuk, dan bahkan berserak.
Lintang kembali didekap erat oleh keputusasaan. Luka lama yang dipendam, detik itu meledak ibarat gunung yang memuntahkan lavanya.
Mulut-mulut keji lagi-lagi mencaci. Hanya sang suami, Pandu Bimantara, yang setia menjadi pendengar tanpa tapi. Namun, Lintang justru memilih pergi. Sebingkai kisah indah ia semat rapi dalam bilik hati, sampai mati.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Gresya Salsabila, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Ningrum Keluar Kota
Setelah pulang dari rumah ibunya dan membawa hal baik dari sana, Pandu tak langsung kembali ke rumah. Dengan laju cepat dia meluncur menuju rumah Ningrum. Persetan dengan terik matahari yang makin menyengat, masa bodoh dengan cacing perut yang mulai bernyanyi, Pandu pantang berhenti sebelum urusannya dengan Ningrum kelar.
Karena jarak cukup jauh, Pandu menghabiskan waktu setengah jam lebih untuk tiba di rumah mertuanya. Namun, nasib baik ternyata tak berpihak pada Pandu. Rumah tersebut tertutup rapat, tak ada tanda-tanda keberadaan orang. Berulang kali Pandu membunyikan bel, tetapi tak ada respon dari dalam rumah. Apa mungkin Ningrum sedang bepergian?
"Nyari siapa, Mas?"
Pandu terkesiap. Lalu menoleh dan mendapati seorang wanita paruh baya sedang berjalan menghampirinya.
"Bu Ningrum tidak ada, Mas. Beliau sekeluarga bepergian ke luar kota. Kalau tidak salah ... Sidoarjo. Itu loh, Mas, ke rumah anaknya yang sulung."
Pandu terdiam sesaat. Pikirnya, untuk apa Ningrum dan Utari pergi ke sana? Apa ada kepentingan atau sekadar liburan?
"Sejak kapan mereka pergi, Bu?" tanya Pandu.
"Baru tadi pagi, Mas."
"Oh, begitu ya, Bu. Ya sudah, terima kasih untuk informasinya, Bu."
Dengan penuh kecewa Pandu menatap sekali lagi rumah mertuanya. Lantas, menarik napas berat sebagai bentuk kekesalan.
"Ya udahlah, datang lagi nanti kalau Ibu sudah pulang," batin Pandu sambil menaiki motornya lagi dan melaju pergi.
Jika urusan tempo hari, Pandu masih bisa menyelesaikannya lewat telepon. Namun, tidak untuk kali ini. Pandu ingin bicara langsung dengan Ningrum, sialnya masih harus menunggu sampai entah kapan. Mudah-mudahan saja tidak lama.
________
Pagi ini, ada yang berbeda dengan suasana di rumah Pandu dan Lintang. Mungkin, bisa disebut sebagai pagi yang istimewa. Pasalnya, ada seseorang yang ikut hadir di sana, dengan sejuta senyum dan kehangatan yang dia bawa.
Siapa lagi kalau bukan Wenda. Setelah semalam suntuk ia memikirkan kondisi Lintang dan kebahagiaan Pandu, pagi ini dia memutuskan untuk bertandang ke rumah anak dan menantunya itu. Tidak dengan tangan kosong. Ia datang sambil membawa ayam kecap lengkap dengan nasinya, juga sekantong apel dan jeruk yang segar-segar. Untuk pertama kalinya, dia membawa sesuatu tanpa embel-embel ini dan itu.
"Nggak usah masak, Lin, Mama bawakan sarapan untuk kalian. Ini ayamnya ada yang pedas ada yang nggak. Kamu dan Pandu tinggal milih, lebih suka yang mana," ucap Wenda ketika pertama kali menemui Lintang di dapur, yang saat itu sedang mengeluarkan sayur-sayuran dari dalam kulkas.
"Mama ... bawa sarapan?" Lintang bertanya dengan hati-hati, memastikan bahwa pendengarannya barusan tidak salah.
Benarkah Wenda membawakan sarapan untuknya? Sambil tersenyum? Tanpa menatap sinis? Apa mungkin Lintang masih bermimpi?
"Iya. Mama masak kebanyakan, nggak akan habis makan sendiri, makanya Mama bawa ke sini," sahut Wenda. "Pandu mana? Belum bangun?"
"Sudah, Ma, lagi mandi Mas Pandu."
"Oh."
Kemudian, Wenda meletakkan makanannya di meja dapur. Setelah itu, melenggang pergi dan duduk santai di ruang keluarga. Lintang menatapnya dengan heran. Jujur, pemandangan itu masih sulit dicerna oleh otaknya.
Setelah cukup lama tertegun sendiri, Lintang pun membuka makanan yang dibawa mertuanya. Ada dua kotak ayam kecap, satu pedas dan satunya lagi tidak, sesuai dengan ucapan Wenda tadi. Lalu ada kotak lain yang lebih besar, berisi nasi. Di kantong lain, ada jeruk dan apel yang masing-masing sekitar dua kiloan. Lintang tersenyum. Meski belum tahu dalam rangka apa mertuanya bersikap semanis itu, tetapi tak dipungkiri, Lintang merasa senang. Walaupun hanya perasaan senang sekilas.
Lintang belum berani jika harus berharap lebih. Ia tak mau menelan kecewa yang nantinya akan membuatnya sakit lebih dalam lagi.
'Pembawa aib!'
'Memalukan!'
'Anak beban! Nggak berguna!'
Makian itu masih terekam jelas di otak Lintang, terus mengingatkan betapa hina dan tidak berharganya dia. Itu sebabnya, dia takut berekspetasi tinggi pada Wenda kali ini. Ibu kandung saja menganggapnya tak ada arti, apalagi sekadar mertua yang baru kenal tiga tahunan. Mustahil akan benar-benar bersikap baik, apalagi selama ini sikapnya juga selalu ketus dan sinis.
"Mungkin Mama lagi khilaf. Lagi kangen Mas Juna dan Mbak Laras, tapi jauh, makanya ke sini," batin Lintang sambil menata lauk tersebut ke dalam mangkuk.
Bersambung...
semoga aja ada orang yang merekam dan melaporkan ke pihak kepolisian dan mengusut tuntas kebenaran nya itu dan orang2 yang terlibat ditangkap serta dihukum
Konspirasi apa lg tuh antara Alby dan Utari , Rayana sekarang kamu tahu siapa suami dan bapak mu