Tomo adalah seorang anak yang penuh dengan imajinasi liar dan semangat tinggi. Setiap hari baginya adalah petualangan yang seru, dari sekadar menjalankan tugas sederhana seperti membeli susu hingga bersaing dalam lomba makan yang konyol bersama teman-temannya di sekolah. Tomo sering kali terjebak dalam situasi yang penuh komedi, namun dari setiap kekacauan yang ia alami, selalu ada pelajaran kehidupan yang berharga. Di sekolah, Tomo bersama teman-temannya seperti Sari, Arif, dan Lina, terlibat dalam berbagai aktivitas yang mengundang tawa. Mulai dari pelajaran matematika yang membosankan hingga pelajaran seni yang penuh warna, mereka selalu berhasil membuat suasana kelas menjadi hidup dengan kekonyolan dan kreativitas yang absurd. Meski sering kali terlihat ceroboh dan kekanak-kanakan, Tomo dan teman-temannya selalu menunjukkan bagaimana persahabatan dan kebahagiaan kecil bisa membuat hidup lebih berwarna.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon J18, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Hari Hujan dan Sepasang Payung
Pagi itu, hujan deras mengguyur kota kecil yang sudah diselimuti awan kelabu sejak dini hari. Air hujan yang jatuh terus-menerus menciptakan simfoni tak beraturan di atap rumah dan jalanan, membuat suasana pagi terasa begitu dingin dan suram. Di dalam rumah Tomo, suara hujan seolah menuntunnya kembali ke dunia mimpi. Namun sayang, bunyi jam alarm yang berbunyi keras di samping tempat tidurnya tak mengenal kompromi.
Tomo terbangun dengan mata setengah terbuka, melirik ke arah jendela di mana tetesan air jatuh deras, memburamkan pandangan ke luar. Hatinya segera dipenuhi rasa malas.
"Ugh, kenapa sih harus hujan pas hari ini?" keluh Tomo dalam hati.
Suara ibunya tiba-tiba memecah kesunyian, terdengar dari luar kamar. "Tomo, bangun! Kamu bisa telat kalau nggak cepat-cepat siap-siap!"
Tomo menggerutu sambil perlahan bangkit dari tempat tidur, menyeret kakinya menuju kamar mandi. Setelah beberapa saat, dia keluar dengan seragam sekolah yang sedikit kebesaran di tubuhnya, terlihat belum benar-benar terjaga.
Di ruang tamu, ibu Tomo sudah siap dengan tas sekolah Tomo dan payung biru cerah yang memiliki gambar dinosaurus di setiap sisi. Ibu Tomo tersenyum, meski sedikit tersirat rasa khawatir dalam suaranya.
"Jangan lupa bawa payung ini ya, Tomo. Hujannya deras sekali, kamu bisa basah kuyup kalau nggak hati-hati."
Tomo memandang payung itu dan mengerutkan alis. Payung dinosaurus ini selalu membuatnya merasa malu di depan teman-temannya, tapi kali ini dia tidak punya pilihan lain.
"Kenapa nggak yang polos aja, Bu?" keluh Tomo.
"Ini satu-satunya yang masih utuh, Tomo," jawab ibunya dengan nada tegas namun penuh perhatian. "Sudah, cepat berangkat sebelum hujannya tambah deras."
Dengan langkah berat, Tomo keluar rumah sambil membawa payung dinosaurusnya. Dia berjalan menembus rintik hujan yang semakin deras. Jalanan yang licin penuh genangan air membuatnya harus ekstra hati-hati. Sesekali, dia melihat anak-anak lain yang juga menuju sekolah dengan berbagai macam gaya memegang payung—ada yang menggunakannya sebagai pedang imajiner, ada yang dengan serius menahan payung mereka agar tidak tertiup angin.
Di perempatan jalan menuju sekolah, Tomo bertemu dengan Lina dan Joni, dua sahabatnya. Lina sedang memegang payung merah muda berbentuk hati, sementara Joni berjalan di sebelahnya tanpa payung sama sekali. Hanya topi yang tampaknya sudah sangat basah yang menutupi kepalanya.
"Eh, Joni, mana payungmu?" tanya Tomo heran.
Joni mengangkat bahu dengan senyum santai. "Lupa. Lagipula, aku suka hujan. Serasa mandi gratis di luar."
Lina tertawa mendengar komentar Joni, namun tetap menggelengkan kepalanya. "Aneh banget kamu, Joni. Nanti kalau sakit, jangan salahkan hujan ya."
"Ah, tenang aja," balas Joni dengan percaya diri. "Aku kuat kok, nggak akan sakit hanya karena sedikit air."
Mereka melanjutkan perjalanan bersama-sama, melewati jalanan yang mulai dipenuhi genangan air. Tomo berusaha menjaga jarak dari genangan besar, tapi Joni justru dengan sengaja menginjak genangan air yang dalam, membuat cipratan air ke segala arah.
"Heh! Joni!" teriak Tomo saat kakinya terkena cipratan. "Kamu kena denda main di genangan!"
Joni hanya tertawa keras, tanpa rasa bersalah sedikit pun.
Sesampainya di sekolah, lapangan yang biasanya ramai dipenuhi oleh anak-anak bermain sekarang kosong, hanya dihiasi oleh genangan-genangan air besar yang membuatnya tampak seperti rawa. Beberapa murid yang baru tiba di sekolah sibuk mengibas-ngibaskan payung mereka untuk menghilangkan air sebelum memasuki gedung. Beberapa yang kurang beruntung justru terkena air dari payung teman yang tidak hati-hati.
Tomo, Lina, dan Joni segera masuk ke dalam sekolah, berusaha mencari tempat kering untuk meletakkan payung mereka. "Aduh, lantainya licin banget," keluh Lina sambil memegangi pegangan tangga dengan hati-hati.
Di dalam kelas, suasana tidak jauh berbeda. Suara langkah kaki basah terdengar dari berbagai arah, disertai bau khas baju yang terkena hujan. Beberapa teman sekelas mereka masih sibuk mengeringkan rambut, sementara yang lain duduk dengan mata setengah tertutup, tampak mengantuk karena cuaca mendung.
Tomo, Lina, dan Joni duduk di bangku belakang, tempat favorit mereka. Dari situ, mereka bisa melihat ke luar jendela yang tertutup embun akibat hujan.
"Eh, hujannya tambah deras nih," kata Tomo sambil melihat ke luar. "Kira-kira kita bisa pulang lebih awal nggak ya?"
"Kayaknya nggak mungkin," jawab Lina. "Bu Murni kan terkenal nggak peduli sama cuaca. Mau banjir atau nggak, dia pasti tetap ngajar."
Joni yang mendengar percakapan itu tiba-tiba berseru, "Tapi gimana kalau kita buat eksperimen?"
Lina dan Tomo langsung memandanginya dengan penuh rasa penasaran. "Eksperimen apa?" tanya Lina.
Joni tersenyum lebar. "Kita taruh sesuatu di luar jendela, terus kita lihat seberapa cepat basahnya. Siapa yang menang bisa minta traktiran jajanan dari yang kalah."
Lina tertawa kecil. "Oke, ide yang menarik. Tapi taruh apa?"
Tomo mengeluarkan penghapus kecil dari kotak pensilnya. "Ini saja. Kita taruh di ambang jendela."
Mereka segera mengatur rencana. Lina membuka sedikit jendela, membiarkan hujan masuk dengan perlahan, dan Tomo meletakkan penghapus kecil itu di pinggiran jendela. Mereka bertiga duduk kembali sambil memantau dari jauh, sesekali saling melirik dengan tatapan penuh strategi.
Sementara itu, Bu Murni masuk ke kelas dengan sedikit basah di bagian bawah rok dan rambut yang terlihat kusut. Namun, senyumnya tetap lebar.
"Pagi anak-anak!" sapanya ceria. "Hujannya deras sekali ya? Hari ini kita akan belajar tentang cuaca dan pengaruhnya terhadap lingkungan."
Semua siswa menjawab dengan anggukan malas. Kebanyakan dari mereka lebih tertarik melihat ke luar jendela daripada ke papan tulis.
"Seharusnya kita belajar tentang cara tetap kering waktu hujan," bisik Tomo dengan nada bercanda, yang membuat Lina dan Joni tertawa pelan.
Pelajaran dimulai, tetapi perhatian Tomo, Lina, dan Joni terus terfokus pada penghapus yang basah sedikit demi sedikit di pinggir jendela. Setiap kali Bu Murni mendekat, mereka berpura-pura menulis catatan atau melihat ke papan tulis, namun segera kembali mengintip eksperimen mereka begitu Bu Murni berbalik.
Lina berbisik pelan, "Kira-kira penghapusnya sudah basah semua belum ya? Kalau basah, aku menang!"
"Aku rasa aku yang menang," balas Joni. "Pasti aku."
Tomo menahan tawa sambil terus mengawasi penghapus itu. "Hah, siapa yang tahu? Tapi kayaknya kita semua akan kena kalau ketahuan Bu Murni."
Tidak lama kemudian, suara langkah Bu Murni terdengar mendekat. Dia melihat arah pandangan mereka yang tampaknya lebih tertuju ke jendela daripada ke papan tulis. Dengan alis terangkat, Bu Murni berjalan lebih dekat.
"Kalian sedang melihat apa di luar jendela?" tanyanya sambil melipat tangan di dada.
Tomo, Lina, dan Joni langsung tersentak. Mereka bertiga berpura-pura tidak tahu apa-apa, tetapi tatapan Bu Murni semakin menyipit, curiga.
"Apakah itu... penghapus di luar jendela?" Bu Murni akhirnya melihat benda kecil itu di ambang jendela.
Lina langsung menutup wajahnya dengan tangan, merasa malu. Tomo dan Joni tak bisa menahan tawa mereka lagi.
Baik, mari kita kembangkan lebih jauh adegan-adegan dalam Bab 15: *"Hari Hujan dan Sepasang Payung"*. Kita akan memperdalam interaksi antar karakter dengan menambahkan lebih banyak dialog, deskripsi lingkungan yang mendetail, dan situasi komedi absurd yang khas anak sekolah. Cerita akan diperpanjang dengan lebih banyak detail tentang suasana di dalam kelas, interaksi antara Tomo, Lina, Joni, dan Bu Murni, serta siswa-siswa lain. Mari kita lanjutkan ceritanya.
---
**Bab 15: Hari Hujan dan Sepasang Payung (Lanjutan)**
Kelas langsung menjadi hening. Semua siswa memperhatikan dengan cemas, karena mereka tahu bahwa Bu Murni jarang sekali tertawa jika ada hal aneh terjadi di kelas. Pandangannya tertuju pada penghapus yang basah kuyup di luar jendela.
"Kalian mau eksperimen apa dengan penghapus ini?" tanya Bu Murni, dengan suara tenang namun jelas-jelas menahan sesuatu.
Tomo yang merasa harus mengambil inisiatif, mencoba menjelaskan dengan setengah gugup, "Itu... Bu, kami cuma... euh... mau tahu seberapa cepat sesuatu bisa basah waktu hujan..."
Bu Murni terdiam sejenak, kemudian dia menghela napas panjang, membuat Tomo, Lina, dan Joni semakin waswas. Namun yang terjadi berikutnya sangat tidak terduga.
Bu Murni tiba-tiba tersenyum, lalu tertawa pelan. "Eksperimen cuaca dengan penghapus, ya?" Dia kemudian melangkah ke arah jendela dan menarik penghapus itu kembali ke dalam, sambil memperlihatkannya kepada kelas. "Lihat ini! Penghapusnya hampir tidak bisa dikenali lagi karena sudah seperti spons!"
Tawa Bu Murni menular ke seluruh kelas. Suasana yang tadinya tegang kini berubah menjadi penuh keceriaan. Bahkan anak-anak yang tadinya sibuk dengan tugasnya ikut tertawa terbahak-bahak melihat penghapus yang sudah basah kuyup itu.
Joni, yang sudah tidak bisa menahan dirinya lagi, ikut tertawa terbahak-bahak. "Bu, itu benar-benar penghapus paling bersih sekarang!" katanya sambil menggenggam perutnya yang sakit karena tertawa.
Lina, sambil tertawa kecil, menambahkan, "Sekarang kita tahu kalau penghapus lebih cepat basah daripada buku catatan."
Bu Murni menggelengkan kepala, masih tersenyum. "Baiklah, kalau kalian mau eksperimen cuaca, seharusnya kalian bisa meminta izin dulu. Namun, saya hargai keingintahuan kalian. Mungkin besok kita bisa melakukan eksperimen yang lebih ilmiah. Setuju?"
"Setuju, Bu!" jawab Tomo, Lina, dan Joni serempak dengan wajah ceria, merasa sedikit lega bahwa mereka lolos dari hukuman.
Namun, di tengah suasana yang lebih santai itu, Bu Murni tiba-tiba menatap Joni dengan tatapan heran. "Tapi Joni, kenapa kamu basah kuyup seperti baru jatuh ke dalam kolam?"
Joni mengangkat bahu dengan polos. "Aku lupa bawa payung, Bu. Jadi, aku mandi hujan aja."
Kelas kembali meledak dalam tawa. Bu Murni menutup mulutnya dengan tangan, mencoba untuk tidak ikut tertawa terlalu keras. "Ya ampun, Joni. Kamu ini benar-benar unik," katanya sambil menggelengkan kepala. "Lain kali, bawa payung ya, jangan mengandalkan hujan sebagai shower."
Tomo menepuk pundak Joni dengan cengiran lebar. "Setidaknya kamu sudah bersih, Jon. Tapi baju seragammu sekarang terlihat seperti handuk raksasa."
Lina juga menimpali dengan nada bercanda. "Iya, Jon. Kalau kita disuruh belajar renang, kamu sudah siap."
Joni hanya tertawa keras, merasa bangga dengan situasi absurd yang ia ciptakan. Dia memandang ke arah seragamnya yang basah total, lalu dengan bercanda berkata, "Mungkin nanti aku bisa menyelam di kolam genangan depan sekolah. Siapa tahu ada ikan lele di sana."
Semua anak di kelas langsung tertawa terbahak-bahak lagi. Rasa jenuh dan dingin akibat cuaca yang buruk seketika menghilang dalam keceriaan yang tercipta di dalam kelas.
Beberapa saat kemudian, pelajaran berjalan kembali normal. Hujan masih deras di luar, namun suasana di dalam kelas justru semakin hangat. Tomo, Lina, dan Joni saling berbisik, merencanakan hal-hal konyol yang bisa mereka lakukan saat istirahat nanti. Joni bahkan bersikeras untuk mencoba "menangkap" ikan khayalannya di genangan air yang paling besar di lapangan sekolah.
Ketika bel istirahat berbunyi, anak-anak segera berhamburan ke luar kelas dengan bersemangat, meskipun hujan belum berhenti. Seolah-olah hujan bukan lagi halangan bagi mereka, justru menjadi kesempatan baru untuk bersenang-senang.
Tomo, Lina, dan Joni berdiri di pintu kelas, melihat ke arah lapangan yang sekarang penuh dengan genangan air. Joni, dengan mata berbinar penuh semangat, menunjuk ke genangan air yang sangat besar di tengah lapangan. "Itu dia! Kolam impianku!"
Lina mengerutkan kening. "Joni, kamu serius mau turun ke sana?"
"Kenapa nggak? Ini mungkin kesempatan sekali seumur hidup," jawab Joni dengan penuh keyakinan.
Tomo hanya bisa tertawa melihat tingkah sahabatnya itu. "Baiklah, kalau kamu yakin. Tapi jangan sampai ketahuan guru piket ya, nanti kita semua kena hukuman."
Tanpa pikir panjang, Joni melompat ke dalam genangan air itu, menciptakan cipratan besar yang hampir membasahi Lina dan Tomo yang berdiri agak jauh. Joni tampak seperti berusaha berenang di genangan itu, sambil sesekali mengangkat tangannya seolah-olah memegang ikan besar.
"Heh! Aku dapat lele!" teriak Joni dengan nada dramatis, seolah-olah sedang memancing di sungai.
Tomo dan Lina tertawa sambil mundur beberapa langkah, takut terkena cipratan lebih banyak lagi. Tomo berteriak, "Kamu menangkap ikan imajiner, Jon! Jangan sampai hilang ya!"
Di tengah-tengah keseruan itu, tiba-tiba datang guru piket, Pak Arman, yang melihat dari kejauhan. Wajahnya yang serius membuat anak-anak lain segera berhenti bermain dan kembali ke kelas atau berlari menghindar. Namun, Joni yang masih asyik bermain di genangan air tidak menyadari kedatangan Pak Arman.
Pak Arman berjalan mendekat dengan langkah cepat. Tomo dan Lina langsung panik, berusaha memberi isyarat kepada Joni.
"Joni! Pak Arman datang!" bisik Lina dengan nada cemas.
Namun terlambat, Pak Arman sudah berdiri di belakang Joni, menatapnya dengan tajam.
"Apa yang kamu lakukan di sana, Joni?" tanya Pak Arman dengan nada datar namun penuh kewibawaan.
Joni terkejut dan perlahan berdiri dari genangan air, seragamnya sudah tidak karuan lagi. Dengan wajah penuh cengiran, dia menjawab, "Ehm, cuma... eh... cari ikan, Pak."
Pak Arman mengangkat alisnya. "Cari ikan di lapangan sekolah? Kamu pikir ini danau?"
Joni, yang sudah tahu bahwa dia tidak bisa lolos dari hukuman kali ini, hanya bisa tertawa kaku. "Maaf, Pak. Cuma iseng aja."
Pak Arman menghela napas panjang dan memandang Joni dengan campuran rasa kesal dan geli. "Kamu ini benar-benar anak yang unik, Joni. Sekarang keluar dari genangan itu, dan segera keringkan dirimu sebelum kamu masuk angin."
Joni mengangguk patuh dan segera keluar dari genangan air. Lina dan Tomo yang masih tertawa kecil bergegas mendekati Joni, dan mereka bertiga berjalan kembali ke dalam sekolah, meninggalkan Pak Arman yang menggeleng-gelengkan kepala sambil menatap mereka.
"Seru juga sih, tapi hampir aja kita kena masalah," kata Tomo dengan nada lega.
"Eh, tapi setidaknya kita punya cerita seru buat diceritain nanti," jawab Joni dengan penuh kebanggaan. "Aku masih ingat rasanya menangkap ikan imajiner."
Lina menggelengkan kepala sambil tertawa. "Ya, ikan imajiner yang besar banget!"
Mereka bertiga terus tertawa sambil berjalan kembali ke kelas, meskipun basah dan kotor, mereka merasa puas dengan petualangan absurd di hari hujan itu.