Nadira terbaring koma, di ambang batas hidup, divonis tak akan bisa pulih oleh sang dokter akibat penyakit langka yang merenggut segalanya dengan perlahan.
Di sisa-sisa kesadarannya, ia menyampaikan satu permintaan terakhir yang mengubah hidup Mira, kakaknya: menggantikan posisinya untuk menikahi Revan, seorang pria yang bahkan tak pernah Mira kenal.
Tanpa cinta, tanpa pilihan, Mira melangkah menuju pelaminan, bukan untuk dirinya sendiri, melainkan demi memenuhi permintaan terakhir Nadira. Namun, pernikahan ini lebih dari sekadar janji. Itu adalah awal dari ujian berat, di mana Mira harus berjuang menghadapi dinginnya hati Revan dan penolakan keluarganya.
Ketika Mira mencoba bertahan, kenyataan yang lebih menyakitkan menghancurkan semua: Revan melanggar janjinya, menikahi wanita lain yang memiliki kemiripan dengan Nadira, semua dilakukan di balik punggung Mira.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon WikiPix, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kembali
Revan sedang duduk di meja makan, pandangannya kosong tertuju pada secangkir kopi yang sudah mendingin. Dalam benaknya, berbagai pikiran berkecamuk. Apa yang akan terjadi selanjutnya? Bagaimana ia harus menghadapi konsekuensi dari keputusan besar yang telah ia buat?
Langkah Mira terdengar mendekat, memecah keheningan. Wajahnya terlihat sedikit lebih tenang, meski jelas matanya masih sembab akibat tangis semalam. Di tangannya ada dua piring nasi goreng sederhana, yang aromanya memenuhi ruangan.
"Mas, sarapan dulu," ucap Mira lembut, berusaha menyembunyikan kegelisahan di suaranya.
Revan menoleh, lalu tersenyum kecil. Ia mengambil piring dari tangan Mira dengan hati-hati.
"Makasih, Sayang. Kamu nggak apa-apa?" tanyanya, nada suaranya penuh perhatian.
Mira mengangguk pelan, mencoba tersenyum meski jelas ada bayang-bayang kekhawatiran di matanya.
"Aku baik-baik aja, Mas. Cuma... aku masih kepikiran soal Ibu sama Ayah."
Revan menghela napas panjang, lalu meletakkan sendoknya. "Aku juga, Mira. Tapi aku nggak akan biarkan apa yang mereka katakan semalam memengaruhi kita. Kita sudah memilih jalan ini bersama, dan aku percaya pada pilihan kita."
Mira terdiam sejenak, lalu menggenggam tangan Revan yang tergeletak di atas meja.
"Mas, apa Mas yakin kita bisa melewati semua ini? Aku nggak mau jadi alasan Mas kehilangan keluarga. Aku takut..."
Revan menatap Mira dengan penuh kelembutan. Wajahnya tegas, tapi matanya memancarkan keyakinan yang dalam.
"Mira," katanya pelan, "kamu bukan alasan, tapi pilihan. Aku yakin kita bisa. Selama kita saling percaya, apa pun yang terjadi, kita pasti bisa melewatinya."
Mira tersenyum tipis, meski kegelisahan itu belum sepenuhnya pergi. Namun, dalam genggaman tangan Revan, ia menemukan secercah ketenangan. Mereka tahu bahwa perjalanan ini tidak akan mudah, tapi mereka telah memilih untuk menjalaninya bersama, apa pun rintangannya.
Setelah menghabiskan makanannya, Revan duduk sejenak, menatap piring kosong di depannya. Ia menghela napas panjang, mencoba mengumpulkan keberanian untuk langkah yang akan ia ambil hari ini. Mira, yang sedang merapikan meja, memandangnya dengan ragu.
"Mas, kamu yakin mau ke kantor hari ini?" tanya Mira, suaranya penuh kekhawatiran.
Revan menoleh, tersenyum tipis. "Aku harus, Sayang. Aku nggak bisa terus menggantungkan diri di sana. Sudah waktunya aku mengambil keputusan sendiri, keluar dari bayang-bayang keluarga."
Mira menghentikan pekerjaannya sejenak, menatap Revan dalam-dalam. "Aku percaya sama Mas, tapi aku tahu ini nggak akan mudah. Kamu yakin mereka nggak akan mencoba menghalangi?"
Revan mengangguk tegas. "Mungkin mereka akan mencoba, tapi aku sudah memutuskan. Aku akan ambil barang-barangku, menyerahkan semua tugas yang masih tersisa, dan selesai. Aku nggak mau terus bekerja di tempat yang membuat aku merasa terkekang."
Mira mendekat, menyentuh bahu Revan dengan lembut. "Kalau begitu, aku doakan semuanya lancar. Apa pun yang terjadi di sana, ingat, aku selalu ada di sini untuk Mas."
Revan menatap Mira dengan penuh rasa syukur. "Terima kasih, Sayang. Dukungan kamu berarti segalanya buat aku."
Tak lama kemudian, Revan bersiap-siap. Ia mengenakan kemeja sederhana, tak seperti biasanya ketika ia mengenakan pakaian formal untuk ke kantor keluarga. Kali ini, ia ingin menunjukkan bahwa ia benar-benar melepaskan diri dari beban masa lalu. Sebelum pergi, ia memeluk Mira erat, seakan mengambil kekuatan dari istrinya.
******
Di kantor keluarga, suasana semakin tegang seiring berita menyebar bahwa Revan sedang membereskan ruangannya. Para karyawan, yang selama ini terbiasa melihatnya sebagai penerus keluarga, mulai saling berbisik, penuh tanda tanya. Ada yang khawatir, ada pula yang hanya ingin tahu drama di balik keputusan besar ini.
Di ruangan utama, Arjuna duduk di kursi kerjanya, pandangannya kosong menatap meja. Tangan kirinya memegang pena, namun pikirannya melayang jauh. Ia sudah mendengar kabar bahwa Revan akan pergi dari perusahaan, dan meski ia mencoba bersikap tegar, hatinya tetap terasa berat.
Pintu ruangannya terbuka perlahan. Shinta masuk dengan ragu-ragu, membawa kabar yang sebenarnya sudah diketahui Arjuna.
"Ayah," panggilnya pelan, memecah keheningan.
"Kak Revan... dia sudah selesai mengemasi barang-barangnya."
Arjuna mendesah panjang, menaruh penanya dengan hati-hati di atas meja.
"Aku tahu, Shinta," katanya lirih.
"Apa dia mengatakan sesuatu padamu?"
Shinta mengangguk kecil. "Dia bilang dia ingin mencari jalannya sendiri, Ayah. Dia merasa tertekan di sini, dan... dia tidak mau terus hidup dalam bayang-bayang keluarga."
Arjuna terdiam, menatap Shinta dengan sorot mata yang sulit dibaca. Ia tampak seperti seseorang yang sedang berjuang menerima kenyataan pahit.
"Revan... selalu keras kepala. Tapi aku tidak menyangka dia akan sejauh ini," gumamnya, lebih kepada dirinya sendiri.
Sementara itu, di ruangan Revan, suasana berbeda. Revan memasukkan barang-barang terakhir ke dalam sebuah kardus kecil. Ia memandang ruangan itu untuk terakhir kalinya, mencoba mengabaikan rasa sentimental yang tiba-tiba menyerang. Setiap sudut ruangan ini menyimpan cerita, perjuangan, dan tekanan yang selama ini ia tahan.
Pintu ruangannya diketuk lagi, kali ini sedikit lebih keras. Revan membuka pintu, mendapati Shinta berdiri di sana dengan ekspresi bingung.
"Kak Revan," kata Shinta, suaranya sedikit bergetar, "kamu benar-benar mau pergi? Ini perusahaan keluarga. Kalau kamu pergi, kamu tahu konsekuensinya, kan?"
Revan menatap adiknya dengan lembut. "Shinta, aku tahu apa yang aku lakukan. Ini bukan keputusan yang mudah, tapi aku sudah memikirkannya matang-matang. Aku nggak bisa terus di sini, menjalani hidup yang bukan hidupku."
Shinta mendekat, ekspresinya berubah dari bingung menjadi sedikit marah. "Tapi kak, ini tanggung jawabmu. Ayah dan Ibu membangun perusahaan ini dengan harapan kamu yang akan melanjutkan. Kalau kamu pergi, kamu pikir mereka akan baik-baik saja?"
Revan menarik napas dalam-dalam, lalu mendekati Shinta. "Aku tahu mereka kecewa, dan aku nggak bisa mengubah itu. Tapi aku nggak mau hidup dalam bayangan harapan mereka. Aku ingin mencari jalanku sendiri. Kalau aku tetap di sini, aku nggak akan pernah merasa bahagia."
Shinta terdiam, menatap kakaknya dengan mata yang mulai berkaca-kaca. Ia tahu, Revan tidak akan mengubah keputusannya.
"Baiklah, Kak," katanya akhirnya, suaranya melemah.
"Kalau itu memang yang kamu inginkan, aku nggak bisa memaksa. Tapi... aku harap kamu tetap ingat bahwa kita ini keluarga. Apa pun yang terjadi, kita tetap saudara."
Revan tersenyum kecil, mengusap kepala adiknya seperti yang sering ia lakukan sejak mereka kecil.
"Tentu, Shinta. Aku nggak akan lupa. Kamu tetap adikku, dan Ayah sama Ibu tetap orang tuaku. Aku cuma butuh waktu untuk menemukan siapa diriku sebenarnya."
Setelah percakapan itu, Revan melangkah keluar dari ruangannya dengan kardus di tangan. Para karyawan menatapnya dengan berbagai macam ekspresi, kebingungan, hormat, bahkan simpati.
Namun, Revan tidak peduli. Ia melangkah keluar dari gedung dengan perasaan campur aduk. Ada rasa lega yang besar, namun juga kekhawatiran kecil tentang apa yang akan datang di masa depan.
Saat ia mencapai mobilnya, Revan berhenti sejenak, memandang ke arah kantor yang selama ini menjadi bagian besar dari hidupnya. Ia menarik napas panjang, lalu menghembuskannya perlahan.
Revan tidak langsung pulang ke rumah Mira setelah meninggalkan kantor. Dengan pikiran yang penuh gejolak, ia memutuskan mencari tempat yang bisa menenangkan hati dan pikirannya, sebuah bar kecil yang sudah lama tak ia kunjungi.
Tempat itu memiliki aura suram namun akrab, seperti membawanya kembali ke potongan masa lalunya yang kelam, masa ketika ia melarikan diri dari tekanan hidup melalui jalan yang tak pernah dibayangkan oleh keluarganya.
Revan melangkah masuk ke bar. Lampu remang-remang dan bau asap rokok langsung menyergap indra penciumannya.
Musik jazz tua mengalun pelan, menciptakan atmosfer yang tenang namun penuh rahasia.
Beberapa orang duduk dalam diam, sebagian lainnya berbicara dengan suara rendah, seolah tak ingin menarik perhatian.
Ia berjalan ke arah bar, memesan whiskey, lalu duduk sendirian. Dengan pandangan kosong, ia meneguk minumannya perlahan, membiarkan rasa pahit itu menyusup ke dalam dirinya, menyatu dengan beban di hatinya.
Beberapa saat kemudian, dua sosok mendekatinya dari sisi kanan.
"Revan!" seru salah satu dari mereka sambil menepuk pundaknya dengan keras.
"Gue nggak nyangka bakal ketemu lo di sini lagi!"
Revan menoleh pelan, mendapati Daniel dan Arman berdiri di sana dengan senyum sinis di wajah mereka.
Daniel, dengan perawakan tinggi dan rambut kusut, sementara Arman, yang lebih pendek namun memiliki aura intimidatif, menyalakan rokok sambil memandang Revan seperti sedang menilai seorang pemain lama yang kembali ke panggung.
Revan hanya tersenyum tipis, tak menjawab. Ia mengangguk kecil sebagai balasan, isyarat bahwa ia mengenali mereka.
Arman menarik kursi, duduk di sebelahnya dengan gerakan santai.
"Gue kira lo udah lupa sama kita," katanya sambil menghembuskan asap rokok.
"Sejak lo sibuk jadi orang kantoran, nggak ada kabar sama sekali. Padahal, dulu kita nggak bisa pisah, ya kan?"
Revan menghela napas panjang, lalu menjawab pelan, "Gue sibuk, itu aja. Nggak ada waktu buat dateng ke tempat kayak gini." Ia menatap gelasnya yang sudah hampir kosong sebelum melanjutkan, "Tapi sekarang semua udah selesai. Gue keluar dari kantor. Gue nggak akan balik ke sana lagi."
Daniel menaikkan alis, jelas terkejut. "Lo keluar? Serius? Itu kan perusahaan keluarga lo, Van. Apa yang sebenernya terjadi?"
Revan kembali meneguk whiskey-nya sebelum menjawab. "Gue muak. Muak hidup di bawah tekanan mereka. Gue nggak bisa terus jadi orang yang mereka mau. Gue pengen kebebasan, Dan, dan gue tahu itu nggak bakal bisa gue dapet di sana."
Arman tertawa kecil, nada sindirannya terdengar tajam. "Bebas? Jadi, sekarang lo balik ke sini, ke tempat di mana dulu lo lari dari semua omong kosong itu?" Ia memandang Revan lekat-lekat, seolah mencari jawaban yang lebih dalam.
Revan mengangguk pelan. "Gue nggak tahu harus ke mana lagi. Gue cuma... butuh sesuatu buat ngelupain semuanya."
Daniel, yang sejak tadi diam memperhatikan, akhirnya menyeringai. "Lo dateng ke tempat yang tepat, kawan. Dunia ini mungkin udah banyak berubah, tapi kita masih sama. Dan kalau lo butuh pelarian, gue yakin kita bisa kasih apa yang lo cari."
Arman menepuk bahu Revan sambil menyeringai. "Lo tahu sendiri, Van. Dunia ini nggak pernah benar-benar meninggalkan lo. Kalau lo mau, kita bawa lo balik ke jalan yang dulu. Jalan yang nggak ada aturan, nggak ada tekanan. Cuma kebebasan."
Revan menatap mereka bergantian, senyumnya samar tapi mengandung kepedihan. Ia tahu tawaran ini bukan jalan terbaik. Tapi di saat seperti ini, ketika semua jembatan ke masa lalunya terasa runtuh, ia merasa ini adalah satu-satunya arah yang tersisa.
Ia memandang gelas kosongnya, lalu berkata pelan namun penuh tekad, "Baik, kita lihat, seberapa jauh dunia ini bisa membebaskanku."
Daniel dan Arman tertawa kecil, terlihat puas. Mereka tahu, teman lama mereka telah kembali, siap untuk melangkah kembali ke dunia gelap yang dulu sempat ditinggalkannya.